Pages

Subscribe:

Labels

Kamis, 15 September 2016

Teladan Umar dalam Kasus Penggusuran Lahan

KETIKA jumlah umat Islam semakin banyak di masa Umar bin Khattab, masjid pun kian sempit. Untuk memperluasnya, beliau berinisiatif membeli tanah di sekeliling masjid, selain rumah Abbas dan kamar istri Nabi Shallallahu `alaihi Wasallam.
Umar bertanya kepada Abbas, “Wahai Abu Fadhl, masjid umat Islam sudah sedemikian sesak. Aku sudah membeli rumah di sekelilingnya untuk perluasan masjid, kecuali rumahmu dan istri-istri Nabi. Kalau rumah istri nabi, jelas tidak bisa. Sedangkan rumahmu, (kalau engkau berkenan) juallah kepadaku agar aku bisa memperluas masjid mereka!”
Dengan berat hati Abbas menjawab, “Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu.” Umar pun menimpalinya, “Kamu boleh memilih tiga opsi. Pertama, kamu bisa menjualnya dengan harga sesuai dengan yang diinginkan, nanti akan diambilkan dana dari Baitul Maal milik umat Islam. Kedua, bangunan dan tanah akan diganti sesuai dengan kota yang kau kehendaki yang diambil dari dana Baitul Maal. Ketiga, kamu sedekahkan rumahmu untuk perluasan masjid.”
Abbas tetap pada pendirannya, “Aku tidak memilih satu opsi pun.” Umar kembali menganggapi, “Pilihlah orang yang engkau kehendaki untuk memutuskan masalah antara aku dan kamu!” Abbas pun menjawab, “Ubay bin Ka`ab.”
Akhirnya, mereka berdua pergi menemui Ubay bin Ka’ab kemudian menceritakan problem yang sedang dihadapi.
Dengan sangat bijak Ubay memecahkan solusi. “Maukah kalian berdua aku ceritakan hadits yang pernah aku dengar langsung dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam?” “Baik, silahkan!” jawab keduanya.
Sahabat yang dikenal sebagai ahli Qur`an dan penulis wahyu ini pun melanjutkan, “Aku pernah mendengar Nabi bersabada, “Sesungguhnya Allah pernah mewahyukan kepada Daud: “Buatlah untukku rumah agar Aku diingat di dalamnya!”
Lalu Daud mulai merancang batas pembangunan masjid. Ternyata garis yang dicanangkan mengenai rumah salah seorang dari Bani Israil. Nabi Daud `alaihissalam pun memintanya agar sudi menjual tanah beserta rumahnya. Orang itu menolak permintaannya. Sempat terlintas pada benak Daud untuk mengambilnya (secara paksa).
Allah tak membiarkan Daud melakukan perbuatan itu, kemudia Ia mewahyukan, “Wahai Daud, Aku memberi mandat kepadamu untuk membuat rumah ibadah agar Aku diingat, sedangkan kamu hendak memasukkan dalam rumahku gashab (sesuatu yang diambil secara paksa). Merampas tanah, bukanlah perintahku. Sebagai sanksi atasmu, maka kamu tidak boleh membangunnya.” Daud berkata, “Wahai Tuhanku, demikian juga anakku?” “Demikian juga anakmu.”
Umar pun memegang baju Ubay dengan kedua genggam tangannya seraya berkata, “Aku datang membawa persoalan yang hendak diselesaikan, sedangkan kamu malah membuatnya semakin parah.” Akhirnya Umar membawanya menuju halaqah (lingkaran) para sahabat, kemudian mengklarifikasi riwayat Ubay bin Ka`ab. Waktu itu, di antaranya ada Abu Dzar al-Ghifari. Ternyata, Abu Dzar membenarkan riwayat itu, demikian juga sahabat-sahabat lainnya. Kemudian Umar melepaskan Ubay.
Merasa tidak terima dengan perlakuan Umar, Ubay pun mencoba membela diri, “Wahai Umar apakah engkau menuduhku memalsu hadits Rasulullah?” Beliau menjawab, “Demi Allah, sama sekali tidak demikian wahai Abu Mundzir. Aku hanya khawatir periwayatan hadits dari Rasulullah menyebar begitu saja tanpa ada klarifikasi.
Singkat cerita, Umar berkata kepada Abbas, “Silahkan pergi aku tidak akan mengusik rumahmu.”
Dengan elegan dan bijak Abbas menyahutinya, “Jika engkau melakukan demikian, maka aku sedekahkan rumah dan lahan kepunyaanku untuk perluasan masjid umat Islam. Tapi kalau engkau memusuhiku, maka aku tak mau.” Kemudian Umar membangunkan rumah sebagai ganti untuknya dari biaya Baitul Mâl. (Ibnu Sa`ad, al-Thabaqôtu al-Kubrâ, 4/15).
Bijak menjadi Pemimpin
Dari kisah ini ada pelajaran yang luar biasa baik bagi pemimpin mau pun yang dipimpin. Bagi yang dipimpin misalnya –dalam hal ini Umar- ketika menetapkan kebijakan publik, terkait perluasan masjid, ada beberapa tahap yang harus dilaluinya.
Pertama, mempunyai tujuan yang kongkrit berdasarkan kebutuhan riil yang sedang dibutuhkan umat. Melihat masjid yang semakin tidak muat, Umar menginisiasi perluasan masjid. Ini berarti, Umar mengeluarkan kebijakan ini bukan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu, tapi untuk kemaslahatan sosial bagi Umat.
Kedua, melakukan dialog dan negoisasi dengan pihak yang akan digusur tanahnya demi perluasan masjid. Sebagai Kepala Negara, beliau tidak menyalahgunakan wewenanganya dengan melakukan tindakan otoriter. Beliau tetap mengupayakan dialog dan nego dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, ketika dialog buntu, pemimpin adil yang berjuluk al-Fârûq ini juga tidak geram, tapi mau menempuh jalur hukum. Terbukti, ketika itu beliau menerima Ubay bin Ka`ab sebagai hakim yang memutuskan perkara ini.
Keempat, dalam persidangan, beliau sempat mengkroscek data yang dibeberkan Ubay, namun setelah terbukti bahwa kebenaran ada di pihak Abbas, maka beliau segera taat hukum. Akhirnya, dengan legowo ia menerima keputusan hakim.
Kelima, ketika Ibnu Abbas menyedekahkan rumah beserta hannya, Umar pun tak sekedar menerima, tetapi membangun kembali rumahnya di tanah lain. Jadi di sini Umar memberikan teladan baik, bukan saja mengeksekusi tanah warganya, tetapi juga memberi solusi dengan cara memberi ganti yang layak kepada pihak yang digusur tanahnya.
Bagi pihak yang dipimpin, dalam hal ini Abbas, juga mencontohkan hal yang baik. Paman Rasul ini tidak menerima mentah-mentah kebijakan pemimpin tetapi melalui tahapan yang cukup baik untuk diteladani. Pertama, mengapresiasi kebijakan pemimpin. Kedua, bersedia melakukan dialog dan negoisasi. Ketiga, menguji sejauh mana maslahat kebijakan pemimpin bagi kepentingan publik. Keempat, tak segan-segan menggunakan jalur hukum bila memang merasa tidak puas dengan kebijakan. Kelima, pada akhirnya, ketika dia yakin bahwa kebijakan murni untuk kepentingan publik, maka dia dengan suka hati menyedekahkan tanahnya.
Peristiwa antara Umar dan Abbas ini merupakan teladan yang patut dijadikan acuan antara pemimpin dan yang dipimpin, yang dalam hal ini terkait masalah penggusuran.
Dengan akhlak mulia dan hukum yang disepakati bersama, keduanya sama-sama ikhlas dalam menjalankan harmoni selama itu untuk kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan syariat. Kehidupan bernegara pun menjadi tenang, aman, sentausa, tentram dan dan sejahtera. Wallahu a`lam bi al-Shawab.

0 komentar:

Posting Komentar