“Setiap manusia sangat rentan bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang tekun bertaubat.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).” Demikian Anas bin Malik mengawali hadits
yang pernah ia dengar langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wassallam mengenai kesalahan.
Masalah yang terlihat biasa ini bagi kebanyakan orang, akan begitu
terasa sukar jika yang mengalaminya adalah orang yang sudah terlanjur
di-ulama-kan, dijunjung tinggi ketokohannya, atau barangkali menempati
posisi-posisi penting di hati masyarakat. Ketika mereka bersalah,
mampukah hawa-nafsu ditaklukkan untuk mengakui kesalahan? Berikut ini,
adalah contoh dari ulama-ulama berjiwa besar yang mau mengakui
kesalahannya.
Ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dari suku Syamkh.
Pasca nikah, dia tertarik dengan ibunya. Ia pun mendatangi Ibnu Mas’ud
seraya bertanya, “Aku telah menikahi seorang perempuan, kemudian aku
tertarik pada ibunya. Aku belum menggaulinya, bolehkah aku ceraikan dia
lalu aku menikahi ibunya?” “Boleh,” jawabnya. Akhirnya ia pun
menceraikannya dan menikahi ibunya.
Saat Abdullah bin Mas’ud datang ke Madinah, ia bertanya kepada para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait masalah ini.
Mereka menjawab, “Tidak sah.” Kemudian ia pun mendatangi suku bani
Syamkh, lalu bertanya, “Di mana orang yang menikahi ibu perempuan yang
pernah dinikahinya?” “Di sini,” jawab mereka. Ibnu Mas’ud dengan tegas
menandaskan, “Ceraikanlah dia!” “Bagaimana mungkin, dia sudah hamil?”
tanya mereka. “Meski demikian, ceraikanlah dia. Sesungguhnya itu
diharamkan Allah subhanahu wata’ala.” (Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id
bin Manshur, bab: al-farā`idh, 1/234).
Imam Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (V/321) menceritakan
bahwa Makhlad bin Khufāf membeli budak kemudian dimanfaatkan. Dalam
perjalan waktu, dia menemukan aib pada budak itu. Akhirnya masalah ini
diadukan kepada Umar bin Abdul Aziz. Beliau pun memutuskan, Makhlad
wajib mengembalikannya dan membayar biaya pemanfaatannya. Makhlad pun
bertanya pada ‘Urwah mengenai masalah ini. Ia pun menyebutkan riwayat
‘Aisyah mengenai kasus seperti ini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memutuskan si penjuallah yang harus membayar jaminan. Saat Umar
diingatkan Makhlad, beliau berkomentar, “Aku anulir keputusanku, dan
akan kulaksanakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Imam Ibnu Jauzi menyatakan bahwa, ‘Dalam sejarah ulama salaf ada
orang yang jika dia mengetahui dirinya salah, maka dia tidak akan tenang
sebelum menyampaikan kesalahannya dan memberitahu orang yang diberi
fatwa.’ (Ta’dhīmu al-Futya, hal: 91). Masih dalam kitab yang
sama, Ibnu Jauzi menceritakan bahwa Hasan bin Ziyad al-Lu`lu`i dimintai
fatwa pada suatu masalah, kemudian dia salah. Pada waktu itu dia tidak
kenal pada orang yang meminta fatwa. Ia pun menyewa orang untuk
mengumumkan bahwa Hasan bin Ziyad telah diminta fatwa pada hari
demikian, kemudian salah. Beliau pun mengumumkan, “Siapa saja yang
memberi fatwa demikian, maka segera dicabut!”. Setelah beberapa hari
akhirnya beliau bertemu dengan orang yang meminta fatwa lalu
memberitahunya bahwa fatwanya salah. (hal: 92).
Saat Syekh Izzuddin al-Hikari pernah berfatwa mengenai suatu
permasalahan, kemudian dia baru mengetahui bahwa fatwanya salah. Ia pun
mengumumkan dengan keras di depan khalayak di Kairo, Mesir,
“Barangsiapa mendengar fatwa demikian, maka jangan diamalkan, karena itu
salah.” (Imam Subki, Thabaqāt al-Syāfi’iyyah, VIII/214).
Lebih dari itu, Syekh Abu al-Fadhl al-Jauhari sampai mengumumkannya
kesalahannya di atas mimbar setelah diingatkan oleh Muhammad bin Qasim
al-‘Utsmani mengenai masalah talaq, dhihar [mengatakan pada istri, kamu
seperti punggung ibuku, sebagai tanda talaq di zaman jahiliyah) dan ila
[suami bersumpah tidak mencampuri istrinya]. Karena dia telah
berpendapat bahwa nabi pernah melakukan ketiganya sekaligus, padahal
nabi tidak pernah dzihar(Ibnu ‘Arabi, Ahkāmu al-Qur’an, I/249).
Itu beberapa contoh dari ulama luar negeri. Di dalam negeri pun ada
banyak contoh yang bisa diteladani. Misalnya, Pangeran Diponegoro. Di
samping dikenal sebagai ulama yang jantan di medan tempur, ternyata
beliau juga tidak malu mengakui kesalahan jika memang melakukannya.
(H.M. Nasruddin Anshoriy, ‘Bangsa Inlander’ Potret Kolonialisme di Bumi
Nusantara,128).
Kisah A Hassan
Adalah cerita tentang kebesaran jiwa Ahmad Hassan. Ada kisah menarik
dari ulama yang dikenal sebagai “Guru Utama Persis” ini. Alkisah,
seorang dari Sumedang Jawa Barat bernama H. Ali Muhammad Siraj pernah
mengunjungi A. Hassan ketika berada di Banyuwangi. Dalam kunjungan
tersebut ia selalu membawa sepeda untuk mempermudah perjalanan keliling
kota atau di kampung-kampung.
Selanjutnya ia mengisahkan perjalanannya dengan A. Hassan. Di pinggir ban sepeda itu tertulis kata-kata “inflate hard“.
Tuan Hassan menanyakan apa arti kata-kata itu. Saya menjawab, “Pompalah
keras-keras, maksudnya supaya ban lebih awet dipakainya dan tak mudah
kempes,” jawab saya. “Bukan itu arti kalimat tersebut. Artinya ialah ban
ini dibikin sangat teratur, tak usah khawatir,” jawab beliau. Mendengar
arti yang diberikan beliau itu, saya tidak membantah, karena saya tahu
bahwa Tuan Hassan lebih faham berbahasa Inggris.
Tapi tengah malam, pintu kamar saya diketok beliau dan berseru nama
saya berkali-kali. Saya terbangun lalu membukakan pintu. Beliau masuk
dan segera mengucapkan minta maaf atas kesalahannya membuat arti kalimat
tersebut. Arti itu tidak benar, yang benar ialah arti dari saudara
tadi. Mata saya tak mau dipicingkan sejak tadi, karena saya merasa
bersalah dan belum minta maaf, “Saya khawatir kalau tidak malam ini juga
saya minta maaf, siapa tahu besok kita tak bertemu lagi, karena
meninggal salah seorang kita.” (Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung,
Pemikir Islam Radikal, hal: V dan Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan,
hal: 64). Perhatikan bagaimana jawaban A. Hassan. Jawaban ini
menunjukkan betapa besar jiwanya untuk mengakui kesalahannya.
Dari murid A. Hassan pun ada kisah menarik mengenai pengakuan
kesalahan. Dikisahkan bahwa di waktu anak kedua M. Natsir akan lahir
-mereka lima orang bersaudara- Natsir diperkarakan orang yang punya
gedung sekolah, sebab sudah banyak menunggak sewa. Sudah tentu Natsir
mengaku salah. Memang hutang belum terbayar. (Muhammad Natsir 70 Tahun:
Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, hal: 38). Demikian besarnya
jiwa Natsir sehingga beliau tidak gengsi mengakui kesalahannya.
Masih dalam masalah mengakui kesalahan, ada kata bijak dari Buya
Hamka. Terkait masalah ini, beliau pernah berujar, “Berterus terang
adalah sikap pahlawan, tetapi berani mengakui kesalahan lebih ksatria.”
(Personal Quality Management, E. Widijo Hari Murdoko, hal: 165). Tepat
sekali pernyataan beliau, orang yang berani mengakui kesalahannya adalah
ksatria.
Demikianlah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama memiliki
jiwa besar dan lapang, sehingga ketika melakukan kesalahan, mereka tidak
sungkan-sungkan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Mereka
melakukan demikian karena terinspirasi dari Rasulullah yang tak sungkan
mengaku salah dalam hal pengawinan kurma dengan mengucapkan, “Kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bis shawab.
Kamis, 15 September 2016
Kebesaran Jiwa Ulama dalam Mengakui Kesalahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar