Pages

Subscribe:

Labels

Kamis, 15 September 2016

Kebesaran Jiwa Ulama dalam Mengakui Kesalahan

“Setiap manusia sangat rentan bersalah,  dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang tekun bertaubat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).” Demikian Anas bin Malik mengawali hadits yang pernah ia dengar langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam mengenai kesalahan.
Masalah yang terlihat biasa ini bagi kebanyakan orang, akan begitu terasa sukar jika yang mengalaminya adalah orang yang sudah terlanjur di-ulama-kan, dijunjung tinggi ketokohannya, atau barangkali menempati posisi-posisi penting di hati masyarakat. Ketika mereka bersalah, mampukah hawa-nafsu ditaklukkan untuk mengakui kesalahan? Berikut ini, adalah contoh dari ulama-ulama berjiwa besar yang mau mengakui kesalahannya.
Ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dari suku Syamkh. Pasca nikah, dia tertarik dengan ibunya. Ia pun mendatangi Ibnu Mas’ud seraya bertanya, “Aku telah menikahi seorang perempuan, kemudian aku tertarik pada ibunya. Aku belum menggaulinya, bolehkah aku ceraikan dia lalu aku menikahi ibunya?” “Boleh,” jawabnya. Akhirnya ia pun menceraikannya dan menikahi ibunya.
Saat Abdullah bin Mas’ud datang ke Madinah, ia bertanya kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait masalah ini. Mereka menjawab, “Tidak sah.” Kemudian ia pun mendatangi suku bani Syamkh, lalu bertanya, “Di mana orang yang menikahi ibu perempuan yang pernah dinikahinya?” “Di sini,” jawab mereka. Ibnu Mas’ud dengan tegas menandaskan, “Ceraikanlah dia!” “Bagaimana mungkin, dia sudah hamil?” tanya mereka. “Meski demikian, ceraikanlah dia. Sesungguhnya itu diharamkan Allah subhanahu wata’ala.” (Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur, bab: al-farā`idh, 1/234).
Imam Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (V/321) menceritakan bahwa Makhlad bin Khufāf membeli budak kemudian dimanfaatkan. Dalam perjalan waktu, dia menemukan aib pada budak itu. Akhirnya masalah ini diadukan kepada Umar bin Abdul Aziz. Beliau pun memutuskan, Makhlad wajib mengembalikannya dan membayar biaya pemanfaatannya. Makhlad pun bertanya pada  ‘Urwah mengenai masalah ini.  Ia pun menyebutkan riwayat ‘Aisyah mengenai kasus seperti ini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan si penjuallah yang harus membayar jaminan. Saat Umar diingatkan Makhlad, beliau berkomentar, “Aku anulir keputusanku, dan akan kulaksanakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Imam Ibnu Jauzi menyatakan bahwa, ‘Dalam sejarah ulama salaf ada orang yang jika dia mengetahui dirinya salah, maka dia tidak akan tenang sebelum menyampaikan kesalahannya dan memberitahu orang yang diberi fatwa.’ (Ta’dhīmu al-Futya, hal: 91). Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Jauzi menceritakan bahwa Hasan bin Ziyad al-Lu`lu`i dimintai fatwa pada suatu masalah, kemudian dia salah. Pada waktu itu dia tidak kenal pada orang yang meminta fatwa. Ia pun menyewa orang untuk mengumumkan bahwa Hasan bin Ziyad telah diminta fatwa pada hari demikian, kemudian salah. Beliau pun mengumumkan, “Siapa saja yang memberi fatwa demikian, maka segera dicabut!”. Setelah beberapa hari akhirnya beliau bertemu dengan orang yang meminta fatwa lalu memberitahunya bahwa fatwanya salah. (hal: 92).
Saat Syekh Izzuddin al-Hikari pernah berfatwa mengenai suatu permasalahan, kemudian dia baru mengetahui bahwa fatwanya salah. Ia pun mengumumkan dengan keras  di depan khalayak di Kairo, Mesir, “Barangsiapa mendengar fatwa demikian, maka jangan diamalkan, karena itu salah.” (Imam Subki, Thabaqāt al-Syāfi’iyyah, VIII/214).
Lebih dari itu, Syekh Abu al-Fadhl al-Jauhari sampai mengumumkannya kesalahannya di atas mimbar setelah diingatkan oleh Muhammad bin Qasim al-‘Utsmani mengenai masalah talaq, dhihar [mengatakan pada istri, kamu seperti punggung ibuku, sebagai tanda talaq di zaman jahiliyah) dan ila [suami bersumpah tidak mencampuri istrinya]. Karena dia telah berpendapat bahwa nabi pernah melakukan ketiganya sekaligus, padahal nabi tidak pernah dzihar(Ibnu ‘Arabi, Ahkāmu al-Qur’an, I/249).
Itu beberapa contoh dari ulama luar negeri. Di dalam negeri pun ada banyak contoh yang bisa diteladani. Misalnya, Pangeran Diponegoro.  Di samping dikenal sebagai ulama yang jantan di medan tempur, ternyata beliau juga tidak malu mengakui kesalahan jika memang melakukannya. (H.M. Nasruddin Anshoriy, ‘Bangsa Inlander’ Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara,128).
Kisah A Hassan
Adalah cerita tentang kebesaran jiwa Ahmad Hassan. Ada kisah menarik dari ulama yang dikenal sebagai “Guru Utama Persis” ini. Alkisah, seorang dari Sumedang Jawa Barat bernama H. Ali Muhammad Siraj pernah mengunjungi A. Hassan ketika berada di Banyuwangi. Dalam kunjungan tersebut ia selalu membawa sepeda untuk mempermudah perjalanan keliling kota atau di kampung-kampung.
Selanjutnya ia mengisahkan perjalanannya dengan A. Hassan. Di pinggir ban sepeda itu tertulis kata-kata “inflate hard“. Tuan Hassan menanyakan apa arti kata-kata itu. Saya menjawab, “Pompalah keras-keras, maksudnya supaya ban lebih awet dipakainya dan tak mudah kempes,” jawab saya. “Bukan itu arti kalimat tersebut. Artinya ialah ban ini dibikin sangat teratur, tak usah khawatir,” jawab beliau. Mendengar arti yang diberikan beliau itu, saya tidak membantah, karena saya tahu bahwa Tuan Hassan lebih faham berbahasa Inggris.
Tapi tengah malam, pintu kamar saya diketok beliau dan berseru nama saya berkali-kali. Saya terbangun lalu membukakan pintu. Beliau masuk dan segera mengucapkan minta maaf atas kesalahannya membuat arti kalimat tersebut. Arti itu tidak benar, yang benar ialah arti dari saudara tadi. Mata saya tak mau dipicingkan sejak tadi, karena saya merasa bersalah dan belum minta maaf, “Saya khawatir kalau tidak malam ini juga saya minta maaf, siapa tahu besok kita tak bertemu lagi, karena meninggal salah seorang kita.” (Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal, hal: V dan Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, hal: 64). Perhatikan bagaimana jawaban A. Hassan. Jawaban ini menunjukkan betapa besar jiwanya untuk mengakui kesalahannya.
Dari murid A. Hassan pun ada kisah menarik mengenai pengakuan kesalahan. Dikisahkan bahwa di waktu anak kedua M. Natsir akan lahir -mereka lima orang bersaudara- Natsir diperkarakan orang yang punya gedung sekolah, sebab sudah banyak menunggak sewa. Sudah tentu Natsir mengaku salah. Memang hutang belum terbayar. (Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, hal: 38). Demikian besarnya jiwa Natsir sehingga beliau tidak gengsi mengakui kesalahannya.
Masih dalam masalah mengakui kesalahan, ada kata bijak dari Buya Hamka. Terkait masalah ini, beliau pernah berujar, “Berterus terang adalah sikap pahlawan, tetapi berani mengakui kesalahan lebih ksatria.” (Personal Quality Management, E. Widijo Hari Murdoko, hal: 165). Tepat sekali pernyataan beliau, orang yang berani mengakui kesalahannya adalah ksatria.
Demikianlah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama memiliki jiwa besar dan lapang, sehingga ketika melakukan kesalahan, mereka tidak sungkan-sungkan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Mereka melakukan demikian karena terinspirasi dari Rasulullah yang tak sungkan mengaku salah dalam hal pengawinan kurma dengan mengucapkan, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bis shawab.

0 komentar:

Posting Komentar