Kehadiran manusia di dunia
ini merupakan hak Allah semata, tidak ada orang yang menghendaki agar lahir dan
besar sesuai dengan keinginannya, demikian pula halnya tentang Timur dan Barat.Siapa
yang menghendaki agar dia lahir di Barat dengan segala peradabannya begitu pula
tidak ada yang menghendaki agar dirinya dilahirkan di Timur sehingga menerima
peradaban Timur.Secara obyektif semuanya itu memiliki kelebihan dan kekurangan,
bahkan ukuran baik dan taqwanya seseorang tidaklah ditentukan dengan Barat dan
Timurnya, semuanya punya kesempatan untuk meraih kemuliaan, apakah kemuliaan
itu diperoleh di Barat ataupun di Timur.
Salah satu tanda-tanda kiamat
akan terjadi dinyatakan dalam hadits Rasulullah adalah ketika Matahari terbit
di Barat, kita wajib mempercayainya itu, tapi ulama menafsirkan bahwa yang
dimaksud Matahari terbit di Barat adalah ketika itu Barat yang mayoritas non
muslim, banyak yang mempelajari islam bahkan syiar islam semakin semarak di
Barat dengan banyaknya orang Barat yang mendapat hidayah sehingga mereka masuk
islam.
Dimanapun manusia berada
sesuai dengan lingkungan, pendidikan dan pengembaraan intelektualnya akan
melahirkan satu peradaban hasil dari kebiasan, adat yang dikerjakan selama ini
bahkan hal itu merupakan pengulangan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Prof.
Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan
sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat
dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat
semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal.Maka, pengenalan
tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti
amal tanpa ilmu.”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan
keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,”
demikian Prof. Naquib al-Attas.(SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu
pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam,
tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini
dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham
bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya.
Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada
Allah. Jika dikatakan menyebutkan, manusia yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang paling taqwa, maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat
kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Itu
adab kepada manusia.
Adab terkait dengan iman dan
ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar ”sopan santun”. Jika dimaknai
sopan santun, bisa-bisa ada orang yang menuduh Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang
yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, ”Sesungguhnya aku
melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi,
jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil
munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Padahal, dalam Islam,
adab terkait dengan iman dan ibadah kepada Allah.Ukuran seorang beradab atau
tidak ditentukan berdasarkan ukuran sopan-santun menurut manusia. Seorang yang
berjilbab di kolam renang bisa dikatakan berperilaku tidak sopan, karena semua
perenangnya berbikini,[Adian Husaini, Belajarlah, Agar Beradab! Hidayatullah,com.Senin,
03 Mei 2010 04:47].
Dengan sifat dan posisi agama
Kristen, sebagai agama mayoritas bangsa Barat, semacam itu, maka Kebudayaan
Barat sejatinya bukanlah berdasarkan pada agama, tetapi pada falsafah. Dalam
hal ini, pandangan al-Attas sejalan dengan pandangan Iqbal, Sayyid Qutb, Ali
an-Nadwi, Muhammad Asad, dan banyak cendekiawan Muslim lainnya. Namun,
pandangan al-Attas tentang peradaban Barat ini tampak lebih mendalam dan
sistematis, ketika ia berhasil meramu unsur-unsur pembentuk peradaban Barat itu
dengan proporsional, terutama ketika mendudukkan posisi warisan Yunani Kuno,
Romawi, dan Kristen dalam peradaban Barat…
Secara singkat, al-Attas menyimpulkan sifat-sifat asasi
Kebudayaan Barat, yaitu (1) berdasarkan falsafah dan bukan agama, (2) falsafah
yang menjelmakan sifatnya sebagai humanisme, mengikrarkan faham penduaan
(dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat
semesta, dan (3) Kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragic.
Yakni, mereka menerima pengalaman ‘kesengsaraan hidup’ sebagai suatu
kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia.
Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak
berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, Al-Attas sampai
pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah
hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat
manusia.Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat
manusia.Al-Attas memulai tulisannya dalam ‘Dewesternization of Knowledge’
dengan ungkapan, bahwa sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak
tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang
lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini…
Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, al-Attas tampak
berusaha keras memberikan keyakinan kepada kaum Muslimin, terutama para cendekiawannya,
tentang keagungan konsep peradaban Islam, dibandingkan konsep peradaban
lainnya.Ia sangat menekankan perlunya kaum Muslimin mengkaji dan memahami
khazanah keilmuan yang telah dicapai para ulama Muslim yang agung di masa lalu.
Ia menanamkan jiwa optimisme, meskipun Islam menghadapi serangan hebat dari
berbagai penjuru. Tahun 1959, jauh sebelum menempuh jenjang pendidikan tinggi
di Barat, al-Attas sudah mengamati kondisi kaum Muslimin yang memilukan. Ketika
itu, ia menulis sebuah puisi: Muslim tergenggam belenggu kafir, Akhirat
luput, dunia tercicir,Budaya jahil luas membanjir,Banyak yang karam tiada
tertaksir.
Jika Barat maju secara fisik dengan membuang dan mengebiri
agamanya, kaum Muslimin tidak perlu mencontoh mereka.Sebab, Islam memang berbeda
dengan Kristen. Dengan mengkaji Barat dengan baik, dan juga Islam dengan baik,
menurut al-Attas, maka kaum Muslim tidak akan mengalami sikap rendah diri.
Sebab mereka memiliki ajaran agama dan Kitab Suci yang agung.[Adian Husaini,
MA, Mengapa Minder terhadap Barat? (2),Hidayatullah.com.Selasa,
09 November 2004].
DR. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Islam Peradaban Masa
Depan (Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1996) menjelaskan beberapa sisi lemah
peradaban Barat yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin saat kaum muslimin
berinteraksi dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat.
1. DEKADENSI MORAL
Permisifisme (paham serba boleh) merupakan pangkal dari
kerusakan moral dan akhlaq ummat manusia saat ini, sehingga perlu diwaspadai
dan ditangkal.Kehidupan yang individualistik dan bebas tanpa batas, sehingga
menabrak aturan-aturan Islam serta tidak lagi memperhatikan halal dan haram
telah menimbulkan akumulasi kerusakan yang belum pernah dialami sepanjang
sejarah ummat manusia. Berbagai masalah psikososial bermunculan seperti
depresi, stress, drop-out, terlibat pemakaian obat terlarang dan minuman keras,
kehamilan pra-nikah, kekejaman fisik, tidak betah di rumah, tidak ingin diatur
dan yang paling memprihatinkan adalah berbagai penyakit seksual seperti
siphilis serta HIV/AIDS [1].
WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap hari jumlah
infeksi baru bertambah 8.500 orang, 1000 diantaranya bayi dan anak-anak.Dan
saat ini tidak ada sebuah negara pun yang benar-benar terbebas dari HIV/AIDS.
Di Indonesia menurut WHO diperkirakan pada th 1997 sudah mencapai 35.000 -
50.000 orang [2], sementara menurut Komisi Penanggulangan AIDS nasional dan
beberapa lembaga di UI diperkirakan sudah mencapai 40.000 - 100.000 orang yang
terinfeksi AIDS [3].
2. KERETAKAN KELUARGA
- No Child Double Income yaitu suatu ajaran dari materialisme yang menolak untuk memiliki anak berdasarkan banyak investasi yang harus dikeluarkan, artinya jika tidak punya anak maka pendapatan akan bisa dinikmati sepuasnya.
- Children without Parents/broken home, yaitu fenomena anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orangtuanya, sehingga mencari perhatian dengan menghambur-hamburkan uang, narkoba, tawuran, sex bebas, dan sebagainya.
- Suami menuntut mantan istri dan sebaliknya. Fenomena kerusakan institusi keluarga di Barat sudah sedemikian parahnya, sehingga terjadinya saling tuntut antara suami istri yang bercerai (misalnya: kasus Jane Seymour, Jane Fonda, Kim Bassinger, Susan dan Joane Collins, perancang busana Mary Mc Vaden, dan bahkan diantara ”suami-istri” lesbian Martina Navratilova dengan “pasangannya”).
- Ibu Sewaan. Hal lain yang mengerikan dari peradaban Barat yang sedang “sakit parah” adalah berkembangnya lembaga yang menyewakan “rahim” untuk menampung hasil pembuahan dari pasangan yang ingin punya anak, tapi “malas” mengandungnya. Menurut penelitian antara 1976-1986 ada 600 bayi yang dilahirkan melalui tabung dan wanita sewaan, diperkirakan masa datang “pusat penetasan” ini semakin berkembang karena 15% pasangan suami istri Amerika tidak subur dan mandul.
- Keluarga sejenis. Salah satu rekomendasi keputusan dari Konferensi Modern Kependudukan dan Demografi Dunia di Kairo, adalah agar negara dunia khususnya negara berkembang mendorong “hak” para pasangan dari 1 jenis kelamin untuk “menikah” sebagaimana hak manusia lainnya. dan Berkembangnya “keluarga” 1 jenis kelamin ini jelas menentang fitrah manusia yang sehat dan menimbulkan sakit, baik fisik (diantaranya AIDS) maupun mental (abnormal) dan secara jelas ditentang dan diharamkan oleh Islam sampai akhir zaman (QS 26/165-166). [Abi AbduLLAAH Islam dan Peradaban Dunia (4) Al-Ikhwan.net, 7 December 2005, 5 Dzulqaidah 1426 H]
Di era pasca renaissance, dengan berkuasanya sistem
liberalisme ekonomi dan politik di Barat, muncul pula arus liberalisme budaya.Negara-negara
Barat telah berubah jauh dengan keberhasilannya meraih kemajuan pesat di
berbagai bidang. Kesejahteraan di negara-negara ini juga jauh melebihi
negara-negara lain.
Keperkasaan inilah yang lantas
mengubah negara-negara Barat menjadi kekuatan imperialis yang selama beberapa
abad melakukan penjajahan di berbagai kawasan dunia dan merampok kekayaan
bangsa-bangsa lain. Kesejahteraan bangsa Eropa Barat yang diperoleh dengan
memanfaatkan kelemahan dan keterbelakangan bangsa-bangsa lain di dunia, telah
mengubah tatanan sosial di Barat yang berbuntut pada perubahan nilai-nilai
moral dan etika.
Budaya Barat saat ini telah menyatu
dengan budaya yang tidak terkontrol.Manusia di Barat tidak berhadapan dengan
batasan-batasan untuk mengecap kenikmatan di luar etika.Sayangnya, rezim-rezim
di Barat bukan hanya tidak membatasi praktik asusila warganya, tetapi malah
ikut memberikan label resmi pada praktik-praktik semacam ini.
Praktik homoseksual yang pada
beberapa dekade lalu dipandang sebagai praktik menjijikkan dan pelakunya pasti
akan dikucilkan oleh masyarakat, kini didukung oleh pemerintah dan mendapat
pengesahan.
Di Barat, setiap tahunnya pada
hari-hari tertentu, kaum gay dan lesbi dengan turun ke jalan-jalan, menuntut
pengakuan hak-hak mereka secara resmi dari pemerintah. Dekadensi moral yang di
Barat sudah sedemikian parahnya, sehingga sejumlah tokoh politik dan
pemerintahan tidak lagi merasa risih untuk mengaku bahwa dirinya adalah seorang
homoseksual.
Layak dicatat bahwa kondisi ini
bahkan telah merambah negara-negara dengan jumlah pemeluk agama Katolik di atas
90 persen.Jelas, kondisi ini dipandang gereja sebagai tanda-tanda buruk yang
harus segera ditangani, sehingga memaksa gereja untuk mengambil sikap tegas
meski sikap itu dinilai bertentangan dengan wewenang lembaga keagamaan di
Barat.
Amat disayangkan, gereja Katolik
terkesan lamban dapat bersikap menghadapi krisis moral di Barat. Meski berhasil
menggalang ratusan ribu umat untuk turun ke jalan menentang undang-undang
perkawinan kaum homoseksual, namun nampaknya, gereja tidak akan mampu
menghentikan laju keruntuhan sendi-sendi moral di Barat.
Sebab, opini umum di Barat sudah
tidak lagi memandang hal ini sebagai penyimpangan etika, tetapi hanya sebuah
masalah yuridis yang harus dicarikan penyelesaiannya.Pertanyaan yang ada di
tengah masyarakat Barat adalah, “Hak apa yang dimiliki oleh orang-orang yang
memiliki kecenderungan seksual menyimpang?Artinya, apakah secara hukum,
pasangan homoseksual memiliki hak layaknya pasangan suami istri?”
Meskipun pemerintah Barat
tidak kunjung menyadari betapa besar dampak dari dekadensi moral, namun
kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Barat sudah cukup menderita akibat sikap
hidup yang bebas tanpa batas ini.Kejahatan, obat bius, prostitusi, penyakit
AIDS, penyakit kejiwaan, anak-anak yang lahir tanpa bapak, adalah di antara
dampak-dampak mengerikan dari kebobrokan moral.[Gereja dan Krisis Moral di
Barat, Hidayatullah.com.Senin, 04 Juli
2005].
Bagaimanapun
juga, Timur dan Barat sulit untuk bisa disatukan karena peradaban yang berbeda,
sejarah yang tidak sama, namun demikian sebagai muslim yang memiliki peradaban
sendiri yaitu peradaban islam, kita punya sikap yang bijak terhadap peradaban
siapapun, apakah peradapan itu datangnya dari Barat dengan berbagai positif dan
negatifnya ataupun peradaban itu dari Timur dengan segala budayanya, paling
tidak ada tiga sikap yang timbul terhadap semua peradaban itu yaitu;
1. APRIORI
Sikap sebagian kaum muslimin yang menolak mentah-mentah
terhadap nilai-nilai Barat beserta konsekuensi-konsekuensinya, sehingga mereka
mengisolasi diri dari dinamika modernisasi sama sekali. Dampaknya adalah mereka
mengalami kemunduran & kejumudan serta keterasingan dalam kehidupan.Sikap
ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an & As-Sunnah (lih. QS Ali-Imran 190-191),
HR Turmudzi (Ilmu itu milik kaum muslimin yang hilang, dimana saja ia dapatkan
maka ia lebih berhak atasnya) & Sirah Nabi SAW serta Shahabat ra.
Sikap ini masih nampak pada sebagian kaum muslimin, seperti
menolak mentah-mentah mempelajari ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat,
sarana teknologi dan segala sesuatu yang bersumber dari Barat adalah
haram.Sikap ini terlihat seperti pada sikap menolak speaker di sebagian mesjid,
tidak mau menterjemahkan khutbah saat shalat Jum’ah, dan sebagainya.
2. PERMISIF
Ini merupakan sikap yang dominan di masyarakat, sikap
menyerah kalah, tunduk patuh & silau, sehingga menjiplak habis-habisan
tanpa proses penyaringan lagi. Sikap ini diikuti dengan sikap memandang rendah
terhadap semua yang berasal dan berbau Islam.Mereka menganggap hukum-hukum
Islam telah ketinggalan jaman, mereka mengalami inferiority complex syndrome
terhadap Islam.Sikap ini terutama dialami oleh sebagian kaum pemuda & kaum
intelektual muda yang dididik dg pengetahuan Barat tanpa dibekali dengan
kerangka berfikir yang Islami.Dampaknya adalah terjadinya kerusakan disegala
bidang kehidupan (korupsi, kolusi, sex-bebas, ectassy, tawuran, dan sebagainya),
akibat keringnya bidang-bidang tersebut dari orang-orang yang memahami dan
mengaplikasikan nilai-nilai Islam.
3. SELEKTIF
Menerima & melaksanakan proses filterisasi kebudayaan
Barat dengan paradigma berfikir Islami, mana yang sesuai dengan hukum dan nilai
Islam diambil & mana yg bertentangan ditolak & dijauhi. Ini merupakan
pemahaman yang benar dan dianut oleh para cendekia dan pemikir muslim mutakhir,
sejak era kebangkitan Islam akhir-akhir ini, yg dipelopori oleh Rasyid Ridha
(Mesir), Muhammad Iqbal (Palestina), Muhammad Abduh (Mesir), Abul A’la Maududi
(Pakistan) & Hasan al-Banna (Mesir).
Menurut pemahaman ini bahwa ilmu
pengetahuan yang bersumber dari Barat banyak yang bermanfaat, asal dibingkai
dengan nilai-nilai Islami, karena ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
asalnya dipelajari ilmuwan Barat dari kaum muslimin juga. [Abi AbduLLAAH ,Islam dan Peradaban Dunia (1) Al-Ikhwan.net | 7 December 2005 | 5 Dzulqaidah 1426 H].
Dengan islam kita dituntut
untuk punya peradaban sendiri dan hal itu sudah terbukti keunggulannya
dibandingkan dengan peradaban manapun, yaitu peradaban yang bersumber dari
nilai-nilai tauhid, wallahu a’lam [Cubadak Solok, 28 Juli 2011.M/ 26 Sya’ban
1432.H].
0 komentar:
Posting Komentar