Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 19 September 2016

Selektif Mengikuti Peradaban Barat

Kehadiran manusia di dunia ini merupakan hak Allah semata, tidak ada orang yang menghendaki agar lahir dan besar sesuai dengan keinginannya, demikian pula halnya tentang Timur dan Barat.Siapa yang menghendaki agar dia lahir di Barat dengan segala peradabannya begitu pula tidak ada yang menghendaki agar dirinya dilahirkan di Timur sehingga menerima peradaban Timur.Secara obyektif semuanya itu memiliki kelebihan dan kekurangan, bahkan ukuran baik dan taqwanya seseorang tidaklah ditentukan dengan Barat dan Timurnya, semuanya punya kesempatan untuk meraih kemuliaan, apakah kemuliaan itu diperoleh di Barat ataupun di Timur.
Salah satu tanda-tanda kiamat akan terjadi dinyatakan dalam hadits Rasulullah adalah ketika Matahari terbit di Barat, kita wajib mempercayainya itu, tapi ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud Matahari terbit di Barat adalah ketika itu Barat yang mayoritas non muslim, banyak yang mempelajari islam bahkan syiar islam semakin semarak di Barat dengan banyaknya orang Barat yang mendapat hidayah sehingga mereka masuk islam.
Dimanapun manusia berada sesuai dengan lingkungan, pendidikan dan pengembaraan intelektualnya akan melahirkan satu peradaban hasil dari kebiasan, adat yang dikerjakan selama ini bahkan hal itu merupakan pengulangan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.”  Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal.Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu.”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas.(SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika dikatakan menyebutkan, manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa, maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Itu adab kepada manusia.
Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar ”sopan santun”.  Jika dimaknai sopan santun, bisa-bisa ada orang yang menuduh Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, ”Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil  munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Padahal, dalam Islam, adab terkait dengan iman dan ibadah kepada Allah.Ukuran seorang beradab atau tidak ditentukan berdasarkan ukuran sopan-santun menurut manusia. Seorang yang berjilbab di kolam renang bisa dikatakan berperilaku tidak sopan, karena semua perenangnya berbikini,[Adian Husaini, Belajarlah, Agar Beradab! Hidayatullah,com.Senin, 03 Mei 2010 04:47].
Dengan sifat dan posisi agama Kristen, sebagai agama mayoritas bangsa Barat, semacam itu, maka Kebudayaan Barat sejatinya bukanlah berdasarkan pada agama, tetapi pada falsafah. Dalam hal ini, pandangan al-Attas sejalan dengan pandangan Iqbal, Sayyid Qutb, Ali an-Nadwi, Muhammad Asad, dan banyak cendekiawan Muslim lainnya. Namun, pandangan al-Attas tentang peradaban Barat ini tampak lebih mendalam dan sistematis, ketika ia berhasil meramu unsur-unsur pembentuk peradaban Barat itu dengan proporsional, terutama ketika mendudukkan posisi warisan Yunani Kuno, Romawi, dan Kristen dalam peradaban Barat… 
Secara singkat, al-Attas menyimpulkan sifat-sifat asasi Kebudayaan Barat, yaitu (1) berdasarkan falsafah dan bukan agama, (2) falsafah yang menjelmakan sifatnya sebagai humanisme, mengikrarkan faham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta, dan (3) Kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragic. Yakni, mereka menerima pengalaman ‘kesengsaraan hidup’ sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia.
Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, Al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia.Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.Al-Attas memulai tulisannya dalam ‘Dewesternization of Knowledge’ dengan ungkapan, bahwa sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini…
Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, al-Attas tampak berusaha keras memberikan keyakinan kepada kaum Muslimin, terutama para cendekiawannya, tentang keagungan konsep peradaban Islam, dibandingkan konsep peradaban lainnya.Ia sangat menekankan perlunya kaum Muslimin mengkaji dan memahami khazanah keilmuan yang telah dicapai para ulama Muslim yang agung di masa lalu. Ia menanamkan jiwa optimisme, meskipun Islam menghadapi serangan hebat dari berbagai penjuru. Tahun 1959, jauh sebelum menempuh jenjang pendidikan tinggi di Barat, al-Attas sudah mengamati kondisi kaum Muslimin yang memilukan. Ketika itu, ia menulis sebuah puisi: Muslim tergenggam belenggu kafir, Akhirat luput, dunia tercicir,Budaya jahil luas membanjir,Banyak yang karam tiada tertaksir.
Jika Barat maju secara fisik dengan membuang dan mengebiri agamanya, kaum Muslimin tidak perlu mencontoh mereka.Sebab, Islam memang berbeda dengan Kristen. Dengan mengkaji Barat dengan baik, dan juga Islam dengan baik, menurut al-Attas, maka kaum Muslim tidak akan mengalami sikap rendah diri. Sebab mereka memiliki ajaran agama dan Kitab Suci yang agung.[Adian Husaini, MA, Mengapa Minder terhadap Barat? (2),Hidayatullah.com.Selasa, 09 November 2004].
DR. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Islam Peradaban Masa Depan (Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1996) menjelaskan beberapa sisi lemah peradaban Barat yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin saat kaum muslimin berinteraksi dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat.
1. DEKADENSI MORAL
Permisifisme (paham serba boleh) merupakan pangkal dari kerusakan moral dan akhlaq ummat manusia saat ini, sehingga perlu diwaspadai dan ditangkal.Kehidupan yang individualistik dan bebas tanpa batas, sehingga menabrak aturan-aturan Islam serta tidak lagi memperhatikan halal dan haram telah menimbulkan akumulasi kerusakan yang belum pernah dialami sepanjang sejarah ummat manusia. Berbagai masalah psikososial bermunculan seperti depresi, stress, drop-out, terlibat pemakaian obat terlarang dan minuman keras, kehamilan pra-nikah, kekejaman fisik, tidak betah di rumah, tidak ingin diatur dan yang paling memprihatinkan adalah berbagai penyakit seksual seperti siphilis serta HIV/AIDS [1].
WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap hari jumlah infeksi baru bertambah 8.500 orang, 1000 diantaranya bayi dan anak-anak.Dan saat ini tidak ada sebuah negara pun yang benar-benar terbebas dari HIV/AIDS. Di Indonesia menurut WHO diperkirakan pada th 1997 sudah mencapai 35.000 - 50.000 orang [2], sementara menurut Komisi Penanggulangan AIDS nasional dan beberapa lembaga di UI diperkirakan sudah mencapai 40.000 - 100.000 orang yang terinfeksi AIDS [3].
2. KERETAKAN KELUARGA
  • No Child Double Income yaitu suatu ajaran dari materialisme yang menolak untuk memiliki anak berdasarkan banyak investasi yang harus dikeluarkan, artinya jika tidak punya anak maka pendapatan akan bisa dinikmati sepuasnya.
  • Children without Parents/broken home, yaitu fenomena anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orangtuanya, sehingga mencari perhatian dengan menghambur-hamburkan uang, narkoba, tawuran, sex bebas, dan sebagainya.
  • Suami menuntut mantan istri dan sebaliknya. Fenomena kerusakan institusi keluarga di Barat sudah sedemikian parahnya, sehingga terjadinya saling tuntut antara suami istri yang bercerai (misalnya: kasus Jane Seymour, Jane Fonda, Kim Bassinger, Susan dan Joane Collins, perancang busana Mary Mc Vaden, dan bahkan diantara ”suami-istri” lesbian Martina Navratilova dengan “pasangannya”).
  • Ibu Sewaan. Hal lain yang mengerikan dari peradaban Barat yang sedang “sakit parah” adalah berkembangnya lembaga yang menyewakan “rahim” untuk menampung hasil pembuahan dari pasangan yang ingin punya anak, tapi “malas” mengandungnya. Menurut penelitian antara 1976-1986 ada 600 bayi yang dilahirkan melalui tabung dan wanita sewaan, diperkirakan masa datang “pusat penetasan” ini semakin berkembang karena 15% pasangan suami istri Amerika tidak subur dan mandul.
  • Keluarga sejenis. Salah satu rekomendasi keputusan dari Konferensi Modern Kependudukan dan Demografi Dunia di Kairo, adalah agar negara dunia khususnya negara berkembang mendorong “hak” para pasangan dari 1 jenis kelamin untuk “menikah” sebagaimana hak manusia lainnya. dan Berkembangnya “keluarga” 1 jenis kelamin ini jelas menentang fitrah manusia yang sehat dan menimbulkan sakit, baik fisik (diantaranya AIDS) maupun mental (abnormal) dan secara jelas ditentang dan diharamkan oleh Islam sampai akhir zaman (QS 26/165-166). [Abi AbduLLAAH  Islam dan Peradaban Dunia (4) Al-Ikhwan.net, 7 December 2005, 5 Dzulqaidah 1426 H]
Di era pasca renaissance, dengan berkuasanya sistem liberalisme ekonomi dan politik di Barat, muncul pula arus liberalisme budaya.Negara-negara Barat telah berubah jauh dengan keberhasilannya meraih kemajuan pesat di berbagai bidang. Kesejahteraan di negara-negara ini juga jauh melebihi negara-negara lain.
Keperkasaan inilah yang lantas mengubah negara-negara Barat menjadi kekuatan imperialis yang selama beberapa abad melakukan penjajahan di berbagai kawasan dunia dan merampok kekayaan bangsa-bangsa lain. Kesejahteraan bangsa Eropa Barat yang diperoleh dengan memanfaatkan kelemahan dan keterbelakangan bangsa-bangsa lain di dunia, telah mengubah tatanan sosial di Barat yang berbuntut pada perubahan nilai-nilai moral dan etika.
Budaya Barat saat ini telah menyatu dengan budaya yang tidak terkontrol.Manusia di Barat tidak berhadapan dengan batasan-batasan untuk mengecap kenikmatan di luar etika.Sayangnya, rezim-rezim di Barat bukan hanya tidak membatasi praktik asusila warganya, tetapi malah ikut memberikan label resmi pada praktik-praktik semacam ini.
Praktik homoseksual yang pada beberapa dekade lalu dipandang sebagai praktik menjijikkan dan pelakunya pasti akan dikucilkan oleh masyarakat, kini didukung oleh pemerintah dan mendapat pengesahan.
Di Barat, setiap tahunnya pada hari-hari tertentu, kaum gay dan lesbi dengan turun ke jalan-jalan, menuntut pengakuan hak-hak mereka secara resmi dari pemerintah. Dekadensi moral yang di Barat sudah sedemikian parahnya, sehingga sejumlah tokoh politik dan pemerintahan tidak lagi merasa risih untuk mengaku bahwa dirinya adalah seorang homoseksual.
Layak dicatat bahwa kondisi ini bahkan telah merambah negara-negara dengan jumlah pemeluk agama Katolik di atas 90 persen.Jelas, kondisi ini dipandang gereja sebagai tanda-tanda buruk yang harus segera ditangani, sehingga memaksa gereja untuk mengambil sikap tegas meski sikap itu dinilai bertentangan dengan wewenang lembaga keagamaan di Barat.
Amat disayangkan, gereja Katolik terkesan lamban dapat bersikap menghadapi krisis moral di Barat. Meski berhasil menggalang ratusan ribu umat untuk turun ke jalan menentang undang-undang perkawinan kaum homoseksual, namun nampaknya, gereja tidak akan mampu menghentikan laju keruntuhan sendi-sendi moral di Barat. 
Sebab, opini umum di Barat sudah tidak lagi memandang hal ini sebagai penyimpangan etika, tetapi hanya sebuah masalah yuridis yang harus dicarikan penyelesaiannya.Pertanyaan yang ada di tengah masyarakat Barat adalah, “Hak apa yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kecenderungan seksual menyimpang?Artinya, apakah secara hukum, pasangan homoseksual memiliki hak layaknya pasangan suami istri?”
 Meskipun pemerintah Barat tidak kunjung menyadari betapa besar dampak dari dekadensi moral, namun kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Barat sudah cukup menderita akibat sikap hidup yang bebas tanpa batas ini.Kejahatan, obat bius, prostitusi, penyakit AIDS, penyakit kejiwaan, anak-anak yang lahir tanpa bapak, adalah di antara dampak-dampak mengerikan dari kebobrokan moral.[Gereja dan Krisis Moral di Barat, Hidayatullah.com.Senin, 04 Juli 2005].
Bagaimanapun juga, Timur dan Barat sulit untuk bisa disatukan karena peradaban yang berbeda, sejarah yang tidak sama, namun demikian sebagai muslim yang memiliki peradaban sendiri yaitu peradaban islam, kita punya sikap yang bijak terhadap peradaban siapapun, apakah peradapan itu datangnya dari Barat dengan berbagai positif dan negatifnya ataupun peradaban itu dari Timur dengan segala budayanya, paling tidak ada tiga sikap yang timbul terhadap semua peradaban itu yaitu;
1. APRIORI
Sikap sebagian kaum muslimin yang menolak mentah-mentah terhadap nilai-nilai Barat beserta konsekuensi-konsekuensinya, sehingga mereka mengisolasi diri dari dinamika modernisasi sama sekali. Dampaknya adalah mereka mengalami kemunduran & kejumudan serta keterasingan dalam kehidupan.Sikap ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an & As-Sunnah (lih. QS Ali-Imran 190-191), HR Turmudzi (Ilmu itu milik kaum muslimin yang hilang, dimana saja ia dapatkan maka ia lebih berhak atasnya) & Sirah Nabi SAW serta Shahabat ra.
Sikap ini masih nampak pada sebagian kaum muslimin, seperti menolak mentah-mentah mempelajari ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat, sarana teknologi dan segala sesuatu yang bersumber dari Barat adalah haram.Sikap ini terlihat seperti pada sikap menolak speaker di sebagian mesjid, tidak mau menterjemahkan khutbah saat shalat Jum’ah, dan sebagainya.
2. PERMISIF
Ini merupakan sikap yang dominan di masyarakat, sikap menyerah kalah, tunduk patuh & silau, sehingga menjiplak habis-habisan tanpa proses penyaringan lagi. Sikap ini diikuti dengan sikap memandang rendah terhadap semua yang berasal dan berbau Islam.Mereka menganggap hukum-hukum Islam telah ketinggalan jaman, mereka mengalami inferiority complex syndrome terhadap Islam.Sikap ini terutama dialami oleh sebagian kaum pemuda & kaum intelektual muda yang dididik dg pengetahuan Barat tanpa dibekali dengan kerangka berfikir yang Islami.Dampaknya adalah terjadinya kerusakan disegala bidang kehidupan (korupsi, kolusi, sex-bebas, ectassy, tawuran, dan sebagainya), akibat keringnya bidang-bidang tersebut dari orang-orang yang memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam.
3. SELEKTIF
Menerima & melaksanakan proses filterisasi kebudayaan Barat dengan paradigma berfikir Islami, mana yang sesuai dengan hukum dan nilai Islam diambil & mana yg bertentangan ditolak & dijauhi. Ini merupakan pemahaman yang benar dan dianut oleh para cendekia dan pemikir muslim mutakhir, sejak era kebangkitan Islam akhir-akhir ini, yg dipelopori oleh Rasyid Ridha (Mesir), Muhammad Iqbal (Palestina), Muhammad Abduh (Mesir), Abul A’la Maududi (Pakistan) & Hasan al-Banna (Mesir).
Menurut pemahaman ini bahwa ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat banyak yang bermanfaat, asal dibingkai dengan nilai-nilai Islami, karena ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut asalnya dipelajari ilmuwan Barat dari kaum muslimin juga. [Abi AbduLLAAH ,Islam dan Peradaban Dunia (1) Al-Ikhwan.net | 7 December 2005 | 5 Dzulqaidah 1426 H].
Dengan islam kita dituntut untuk punya peradaban sendiri dan hal itu sudah terbukti keunggulannya dibandingkan dengan peradaban manapun, yaitu peradaban yang bersumber dari nilai-nilai tauhid, wallahu a’lam [Cubadak Solok, 28 Juli 2011.M/ 26 Sya’ban 1432.H].

0 komentar:

Posting Komentar