Pages

Subscribe:

Labels

Sabtu, 17 September 2016

DOMINASI BARAT DAN RESPON UMAT ISLAM



Oleh; Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.
 
DOMINASI BARAT DAN RESPON UMAT ISLAM

A.    Pengantar
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi sejak abad ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah konflik. Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan dominasi-subordinasi.
Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda “pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah peradaban dunia.
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris. Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk dijinakkan –lagi-lagi – demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan yang terjadi antara Barat dan Islam? Apa yang menyebabkan/melatarbelakangi begitu bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? bagaimana sebaiknya Islam merespon hegemoni Barat? Dan bagaimana peranan intelektual Islam dalam merespon Barat?
Makalah ini berdasarkan pada penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu usaha menyingkap, menggali dan menelaah serta menganalisis persoalan yang menjadi objek kajian dari kacamata sejarah. Disamping itu juga dipakai pedekatan sosiologis, terutama untuk menganalisa peradaban Islam yang dipengaruhi oleh penjajahan Barat.
Adapun sumber rujukan dalam penulisan makalah ini adalah Oksidentalisme terjemahan Hassan Hanafi, Hegemoni Kisten Barat karya Adian Husaini, Islam dan Tantangan Dalam Menghadapi Pemikiran Barat karya Mahmud Hamdi Zaqzuq, Pembaharuan Dalam Islam karya Harun Nasution, Demonologi Islam (Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam) karya Asep Syamsul, Sejarah Peradaban Islam karya Badri Yatim, dan beberapa buku referensi lainnya yang berkaitan dengan dominasi barat dan respon umat Islam.
Sistematika pembahasan dalam penulisan ini baik bahan, alat dan objek kajian akan mudah ditemukan setelah diurutkan dan ditata sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah. Sistematika pembahasan merupakan rangkaian pembahasan yang termuat dan tercakup dalam isi penulisan, antara satu bagian dengan bagian yang lain saling berkaitan sebagai suatu kesatuan yang utuh. Agar penulisan dapat dilakukan dengan runtut dan terarah, maka penulisan ini dibagi menjadi  4 bagian yaitu:
Bagian pertama: pengantar yang berisi tentang identifikasi permasalahan pendekatan dan sistematika yang dipakai, serta sumber rujukan yang dijadikan referensi. Bagian kedua pemaparan materi yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk penjajahan barat atas Islam, latar belakang penjajahan Barat terhadap dunia Islam, respon muslim terhadap barat, dan peranan intelektual Islam dalam merespon pengaruh barat. Bagian ketiga berisi tentang implikasi penjajahan Barat terhadap perkembangan peradaban Islam.Bagian keempat merupakan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan makalah ini.
B.     Pemaparan Materi
1.      Bentuk-Bentuk Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam (Termasuk Indonesia)
Negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Rusia dan lain-lain memang mempunyai tehnologi militer dan industri perang yang lebih canggih dibandingkan dengan negara Islam, sehingga mereka tidak segan-segan untuk menyerang dan mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam.[1]
Dari awal penjajahan Barat yaitu perang salib umat Islam telah kehilangan berbagai daerah yang semula telah dikuasai Islam, yang kemudian jatuh ke tangan orang Kristen, yang sukar untuk dikembalikan kembali. Jadi pada perang salib ini telah terjadi penaklukan dan penyerangan yang dilakukan oleh negara Barat untuk merebut wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Tidak terhingga kerugian yang diakibatkan oleh penjajahan tersebut, baik kerugian hasil budaya dan peradaban manusia maupun kerugian material maupun korban jiwa.[2]
Penaklukan yang dilakukan oleh negara-negara Barat antara lain adalah:
1820 Oman dan Qatar berada di bawah protektorat Inggris
1830-1857 Penaklukan Aljazair oleh Perancis 1839
1881-1883 Tunisia diserbu Perancis
1882 Mesir diduduki Inggris
1898 Sudan ditaklukkan Inggris
1900 Chad diserbu Perancis
Pada abad ke20 M Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika.
1960 Kesultanan muslim di Nigeria utara menjadi protektorat Inggris
1912-1913 Kesultanan Tripoli dan Cyrenaica diserbu Italia
1912 Marokko diserbu Perancis dan Spanyol
1914 Kuwait di bawah protektorat Inggris
1919-1921 Sisilia wilayah Turki diduduki Perancis
1920 Irak menjadi protektorat Inggris
1920 Syria dan Libanon di bawah mandat Perancis
1926-1927 Perebutan seluruh Somalia oleh Italia
Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Usmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin. Satu per satu pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti tergambar dalam daftar berikut:
1834-1859 Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
1853-1865 Serbuan pertama Rusia di Khoakand dan jatuhnya Tashkent
1866-1872 Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia
1941-1946 Pendudukan Anglo Rusia di Iran.[3]
Selain berupa penaklukan dan penyerangan negara-negara Barat juga banyak melakukan penindasan, penghisapan dan perbudakan, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penindasan dilakukan kepada wilayah-wilayah yang telah dikuasainya untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Penghisapan terutama pada hasil bumi dan kekayaan alam negara yang dijajahnya serta perbudakan banyak dialami oleh orang-orang Islam yang wilayahnya telah jatuh ke tangan negara-negara Barat.[4]
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal memancapkan kekuasaannya karena kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga mudah dapat ditaklukkan.[5]
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang, yang kemudian disusul oleh Belanda, Inggris, Demark dan Perancis. Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera memonopoli perdagangan di Indonesia. Tentu kehadirannya ditantang oleh penduduk setempat. Oleh karena itu seringkali terjadi peperangan antara Belanda dengan penduduk, walaupun akhirnya peperangan dimenangkan oleh Belanda, yang terbesar diantaranya adalah perang Aceh, perang Paderi di Minangkabau dan perang Diponegoro di Jawa.
Penjajahan Barat di Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh faktor-faktor ekonomi, karena Indonesia adalah negara yang kaya akan hasil bumi berupa rempah-rempah yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran Eropa. Selain itu juga dilatarbelakangi oleh faktor misionaris, atau penyebaran agama, hal ini dapat dilihat sampai sekarang daerah-daerah tempat pertama kali negara-negara Barat datang ke Indonesia berpenduduk mayoritas Kristen
2.      Sumber permusuhan Islam dan Barat
Apa yang menjadi sumber permusuhan barat terhadap Islam dewasa ini sehingga mereka mengerahkan segala upaya dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim. Pada garis besarnya ada dua sebab:
a.      Dendam historis
Selama berabad-abad barat takluk di bawah hegemoni khilafah Islam. Kebencian kaum Kristen barat pernah meledak dalam bentuk pengobaran api perang terhadap umat Islam, yaitu dengan terjadinya perang salib (1096-1291M) yang brtujuan utam penghancuran islam. Akan tetapi melalui peperangan tersebut umat Islam gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan lebih banyak diraih oleh pasukan Islam. Trauma perang tesebut berdampak pada tertanamnya rasa antipati dan saling curiga di kedua belah pihak.
Perang salib membentuk fondasi pertama dan esensi untuk menerapkan sikap Eropa (barat) terhadap Islam. Dendam perang salib tersebut belum padam . kebencian dan permusuhan barat terhadap Islam itu muncul lagi ke permukaan setalah Perang Dingin berakhir.
b.      Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat barat umumnya melakukan kesalahan dalam memahami Islam. Hal itu terjadi karena masyarakat Barat umumnya memepelajari dan memahami Islam dari buku-buku para orientalis, sedangkan para orientalis mengkaji Islam dengan tujuan utnuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam, selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan Islam yang tidak lepasa dari ambisi imperialis Barat untuk mengetahui dunia Islam. Umumnya ketika berbicara mengenai Islam pandangan dan analisis      para orientalis tidak objektif dan tidak fair sudah bercampur dengan subjektivisme dan kepentingan tertentu. Karenanya pandangan mereka biased dan berat sebelah. Hasilnya adalah kesalahpahaman terhadap Islam di dunia Barat. Citra Islam yang tampak di dunia Barat adalah kekejaman, kekerasan, fanatisme, kebencian, dan keterbelakangan.
Hal itu diperparah dengan sajian media massa mereka yang menampilkan Islam tidak secara utuh. Bahkan Islam yang mereka kenalkan bukan Islam kebanyakan (Sunni), melainkan Islam Syi’ah (Iran) yang hanya dianut oleh 10% kaum Muslim dunia.
Kekeliruan Barat dalam memahami Islam yang lain adalah menyamakan Islam dengan perilaku individu umat Islam yang melakukan kekerasan, cap “teroris” pun dilekatkan pada Islam tanpa mau tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya, populerlah istilah “Terorisme Islam”.
Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi dengan gencarnya serangan propaganda Barat melalui berbagai media massanya untuk memojokkan agama dan umat Islam (demonologi Islam). Dalam pengemasan berita tentang umat Islam kerap mengekspos cap-cap seperti “fundamentalisme”, “militanisme”, “ekstremisme”, “radikalisme” dan bahkan “terorisme” yang arahnya jelas: untuk mendiskreditkan Islam.
Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah produk utama propaganda media massa Barat (demonoloogi Islam). Parahnya lagi fobi tersebut tidak hanya melanda masyarakat Barat, tetapi juga sebagian besar umat Islam. Mereka merasa ngeri bila hukum Islam diberlakukan karena frame yang ada dikepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina , hukum cambuk bagi pemabuk, hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh. Isu-isu hukum Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam. 
Revolusi Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika kekuatan Islam naik ke puncak kekuasaan di suatu Negara, pemerintahan Negara itu akan menerapkan syari’at Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika. Adapun kepentingan Barat di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi barat yang terbentang dari Maroko sampai Merauke letak geografisnya sangat strategis bagi kepentingan politik dan militer. Kekayaan alamnya, khususnya minyaknya, merupakan kebutuhan vital bagi industri-industri barat. Bisa dikatakan bahwa roda-roda perekonomian Negara-negara barat sangat bergantung pada minyak yang ada di sebagian Negara-negara Islam. Timur tengah sebagai tempat kelahiran dan “pusat Islam” merupakan pemasok terbesar kebutuhan minyak dunia. Itulah salah satu alasan mengapa barat merasa “wajib” menaklukkan dunia Islam.[6]
3.      Respon Muslim Terhadap Barat (Dialog atau Melawan Hegemoni)
Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni.[7]
Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.[8]
Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah utopia di tengah nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia.
Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif – umat Islam Islam – terhadap yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan civil society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi terhadap manusia.[9]
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology) yakni neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa.
Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.
4.      Peranan Tokoh Intelektual Islam Dalam Merespon Pengaruh Barat
a.        Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab
Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.
Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
Seperti Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
Selain kedua figur itu, ada Thaha Husayn (1889-1971), seorang sejarawan dan filosof, yang amat mendukung gagasan yang mulai dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah pembela gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan modern bukan saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai perwujudan kebudayaan. Inilah pandangan sekularis sejati yang meminggirkan peran agama, dan mengunggulkan positivisme ilmu pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan ini mendapat dukungan yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan intelektual Kristen.
Untuk menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting di dunia Arab pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil (1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup dalam pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan. Beberapa pemikir lain – Muslim maupun Kristen – tampil membela Syumayyil.
Debat historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science in The Arab World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930), diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu terutama mempolarisasikan pemikir “religius” dengan “sekularis” secara hitam-putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa dasawarsa terakhir.
Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup memuaskan mereka.[10]
b.        India: Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal
Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah pemikir yang paling menonjol yang menyerukan “saintifikasi” masyarakat Muslim. Seperti halnya dengan al-Afghani, ia menyerukan Muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Tetapi lebih jauh dari al-Afghani ia melihat adanya “kekuatan yang membebaskan” dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di antara “kekuatan pembebas” itu adalah penjelasan peristiwa dengan sebab-sebab terdekatnya, yang bersifat fisik-materiil. Di Barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari takhayul dan cengkeraman kekuasaan Gereja. Kini, dengan semangat yang sama, Ahmad Khan merasa wajib “membebaskan” Muslim dengan melenyapkan unsur supranatural – yang “tak ilmiah” – dari al-Qur’an. Ia amat serius dengan upayanya ini, hingga menciptakan sendiri metode penafsiran al-Qur’an baru. Hasilnya adalah “teologi baru” yang memiliki karakter “ilmiah”.
Generasi setelah Sir Sayyid, di awal abad ke-20, adalah Mohammad Iqbal (1877-1938), salah seorang Muslim pertama di anak benua India yang sempat mengkaji pemikiran Barat modern dan mempunyai akses yang mendalam pada tradisi intelektual Islam. Kedua hal inilah yang muncul dari karya utamanya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam) diterbitkan tahun 1930. Dengan penggunaan istilah reconstruction (pembangunan kembali) tujuan utama Iqbal telah tergambar. Reconstruction berarti mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan Islam dalam bahasa modern, untuk konsumsi generasi baru Muslim yang telah berkenalan dengan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat Barat abad ke-20. “Bahasa modern” pun berarti bahasa konseptual yang terbentuk akibat perkembangan tersebut.
Kepeduliannya sama dengan pendahulunya, Sir Sayyid, karena keduanya menghadapi masalah yang sama. Tetapi sementara Sir Sayyid mengupayakan pemecahan apologetis – dengan menunjukkan kesesuaian ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern, hingga ke tingkat perumusan ulang teologi Islam – Iqbal bergerak lebih jauh. Ia menerima ilmu pengetahuan modern lebih dari sekadar sebagai alat, tanpa merasa harus menerima nilai-nilai Barat.
Ia menunjukkan bahwa kesesuaian agama, khususnya Islam, dengan ilmu pengetahuan tak hanya ada pada permukaan dan tak pula hanya menyangkut penemuan mutakhir ilmu pengetahuan. Aaktivitas ilmuwan adalah sebentuk ibadah. Karena itulah sampai tingkat tertentu, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan agama, yakni pencapaian Kenyataan Sejati. Baginya ruh Islam yang anti-klasik – yang menekankan pada hal-hal yang kongkrit, seperti yang tampak dalam revolusi intelektual melawan tradisi abstrak Yunani di masa awal perkembangan filsafat Islam – adalah serupa dengan ruh yang melahirkan ilmu pengetahuan modern. Namun, meskipun bertujuan sama, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan struktur sesuatu, dan tak mampu berbicara tentang hakikat akhir dari segala sesuatu yang memiliki struktur itu.
Untuk itu, teori ilmu pengetahuan perlu ditafsirkan untuk membantu menjelaskan gagasan filosofis yang berbicara tentang Kenyataan Sejati. Sementara ilmu pengetahuan sendiri, dalam anggapan Iqbal, yang bertentangan dengan kecenderungan banyak ilmuwan modern, tak dapat menciptakan teori yang selengkapnya menggambarkan realitas. Ini karena ilmu pengetahuan adalah “kumpulan pandangan yang sepotong-sepotong tentang realitas.”
Tak berhenti di sini, Iqbal menunjukkan penguasaannya atas teori-teori fisika mutakhir masa itu dengan menunjukkan bagaimana pandangan ilmuwan seperti Einstein dan Heisenberg mesti ditafsirkan untuk mendapat gambaran utuh tentang realitas. Tujuan akhirnya, membangun suatu teologi rasional yang memanfaatkan temuan ilmu pengetahuan tentang realitas alam.
Iqbal tidak menganggap ilmu pengetahuan (modern) sebagai sesuatu yang asing bagi Islam. Seringkali ia menyebutnya sebagai “ilmu manusia”. Artinya, ilmu pengetahuan adalah universal dan milik umat manusia. Semua masyarakat memiliki sumbangannya masing-masing. Dalam pencarian kebenaran, setiap orang memiliki tujuan yang sama, dan menghadapi masalah yang sama. Dalam kasus peradaban Barat, Eropa telah belajar dari Islam banyak hal yang membantunya menjadi “peradaban modern”. Maka kini bukanlah aib jika Muslim belajar dari Eropa. Sebelumnya, Muslim juga belajar dari peradaban Yunani , Persia , dan India . Bahwa pada akhirnya arah sejarah intelektual Muslim berbeda dengan mereka membuktikan bahwa sikap kritis masih dapat dipertahankan. Hal yang sama seharusnya terjadi saat ini.
Meski beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai dasar bagi suatu epistemologi Islam kontemporer, namun dengan itu ia tak berniat menciptakan suatu “ilmu pengetahuan Islam”, yang menjadi kecenderungan beberapa dasawarsa sesudahnya.[11]
C.    Implikasi Penjajahan Barat Terhadap Perkembangan Peradaban Islam.
Serbuan kaum salib ke negeri-negeri Islam tidak hanya menggunakan pedang, besi dan api, tetapi juga melalui peradaban mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan hanya peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan pengajaran, dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu sosial, modal dan lain-lain.
Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran bagi kaum muslimin akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak mereka, tetapi setan berada di hati mereka.
Dahulu kaum muslimin menghayati peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama berabad-abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka. Inti peradaban Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih mudah meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan siara radio Eropa dan lain sebagainya.
Pada saat barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban, persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, sedangkan yang kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak menuntut ilmu ke Inggris.
Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah, terutama pada intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang dijumpai pada tiap negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Pandangan pertama berpegang pada sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat. Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian Barat.
Memang benar bahwa peradaban Barat memainkan peranan besar dalam memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu masih seperti keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa peradaban Barat tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah menjauhkan dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam bukan lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.
D.    Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting terkait dengan dominasi barat dan respon umat Islam yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa sumber permusuhan Barat terhadap Islam pada garis besarnya ada dua sebab, yaitu dendam historis dan kesalahpahaman masyarakat barat terhadap Islam. Ketiga, Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan dua cara yang ditawarkan beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni dengan bersikap kritis terhadap Barat, termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini, Hegemoni Kisten Barat, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Asep Syamsul,  Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Huntington, Samuel. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia , terj. M. Sadat Ismail. Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002.
John Cooper,Pemikiran Islam  Dari Sayyid Ahmad  Khan  Hingga Nasir Hamid Abu Zayd, Jakarta: Gema Insani, 2002.


[1] Samuel Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia , terj. M. Sadat Ismail  (Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002),22
[2] Adian Husaini, Hegemoni Kisten Barat (Jakarta: Gema Insani, 2006), 56
[3] Ibid.,
[4]Asep Syamsul,  Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000), 36
[5] Ibid., 40
[6] Asep Syamsul, Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2000), 8
[7] Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000), 84
[8] Hadirukiyah2. blogspot.com. diakses tanggal 26 maret 2012
[9] Ibid.,
[10]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992),51
[11] John Cooper,Pemikiran Islam  Dari Sayyid Ahmad  Khan  Hingga Nasir Hamid Abu Zayd (Jakarta: Gema Insani, 2002), 20 

0 komentar:

Posting Komentar