Tafsir Tarbawi, Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an
Pendidikan memiliki peran penting pada
era sekarang ini. Karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi
dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Demikian
halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam
pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu
melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa
melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan
ilmiah.
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education).
Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan
dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya
mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk
menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.
Islam juga menekankan akan pentingnya
membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya
ini. Membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia,
karena hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya
dengan kelebihan akal dan hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena
yang ada di sekitarnya, termasuk pengetahuan. Dan sebagai implikasinya
kelestarian dan keseimbangan alam harus dijaga sebagai bentuk
pengejawantahan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh.
Dalam makalah ini akan dipaparkan
pandangan Islam tentang pendidikan, pemerolehan pengetahuan
(pendidikan), dan arah tujuan pemanfaatan pendidikan.
Pendidikan Menurut al-Qur’an
al-Qur’an telah berkali-kali menjelaskan
akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan manusia
akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an bahkan memposisikan
manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi. al-Qur’an
surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.
al-Qur’an juga telah memperingatkan
manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat
at-Taubah ayat 122 disebutkan:
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dari sini dapat dipahami bahwa betapa
pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan
pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang
benar dan yang salah, yang membawa manfaat dan yang membawa madharat.
Dalam sebuah sabda Nabi saw. dijelaskan:
“Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam
mewajibkan kepada seluruh pemeluknya untuk mendapatkan pengetahuan.
Yaitu, kewajiban bagi mereka untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Islam menekankan akan pentingnya
pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena tanpa pengetahuan niscaya
manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat,
yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di
hari akhirat.
Imam Syafi’i pernah menyatakan:
“Barangsiapa menginginkan dunia, maka
harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan
ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu”.
Dari sini, sudah seyogyanya manusia
selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu pengetahuan dengan terus
berusaha mencarinya hingga akhir hayat.
Dalam al-Qur’an surat Thahaa ayat 114 disebutkan:
“Katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”
Pemerolehan Pengetahuan dan Objeknya (Proses Pendidikan)
Pendidikan Islam memiliki karakteristik
yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan
serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan
dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan
kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian
dia belajar: mula-mula melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan
panca indranya sebagai jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari
hal-hal yang dapat diindra kepada yang abstrak, dan dari yang dapat
dilihat kepada yang dapat difahami. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam
teori empirisme dan positivisme dalam filsafat. Dalam firman Allah Q.s.
an-Nahl ayat 78 disebutkan:
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar
kamu bersyukur”.[1]
Dengan pendengaran, penglihatan dan hati,
manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang disampaikan
kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan
kehendak dan kekuasaannya. Dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 13
disebutkan:
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang
di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Namun, pada dasarnya proses pemerolehan
pengetahuan adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam al-Qur’an
surat al-‘Alaq ayat 1-5:
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Iqra’
terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir
aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa
yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja
selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’
berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu;
bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang
tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[2]
Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 disebutkan:
“Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.
Al-Qur’an membimbing manusia agar selalu
memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari lingkungan ini
manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan.
Dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara ayat 7 juga disebutkan:
“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu
pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”.
Demikianlah, al-Qur’an secara dini
menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan
serta kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.[3]
Namun, pengetahuan tidak hanya terbatas
pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan juga meliputi berbagai hal
yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat
Al-Haqqah ayat 38-39:
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat (39)”.
Dengan demikian, objek ilmu meliputi
materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang
jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an
surat Al-Nahl ayat 8 disebutkan:
“Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”.[4]
Sebagaimana telah dipaparkan di atas,
dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat
menyelamatkannya di akhirat kelak.
Islam mengehendaki pengetahuan yang
benar-benar dapat membantu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup
manusia. Yaitu pengetahuan terkait urusan duniawi dan ukhrowi, yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Pengetahuan duniawi adalah berbagai
pengetahuan yang berhubungan dengan urusan kehidupan manusia di dunia
ini. Baik pengetahuan moderen maupun pengetahuan klasik. Atau lumrahnya
disebut dengan pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi adalah
berbagai pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran dan
kesejahteraan hidup manusia kelak di akhirat. Pengetahuan ini meliputi
berbagai pengetahuan tentang perbaikan pola perilaku manusia, yang
meliputi pola interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan
manusia dengan Tuhan. Atau biasa disebut dengan pengetahuan agama.
Pengetahuan umum (duniawi) tidak
dapat diabaikan begitu saja, karena sulit bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang mana dalam
menjalani kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian
halnya dengan pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa
pengetahuan agama niscaya kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan.
Karena kebahagiaan di dunia akan menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat
menjadi nista.
Islam selalu mengajarkan agar manusia
menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir maupun batin,
keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3 disebutkan:
“Yang telah menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang
Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang!
Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
Dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 8 juga disebutkan:
“Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”.
Dari sini dapat dipahami bahwa Allah
selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan seimbang, tidak berat
sebelah. Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia juga tercipta
dalam keadaan seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya, manusia
diharapkan mampu menciptakan keseimbangan diri, lingkungan dan alam
semesta. Karena hanya manusia yang mampu melakukannya sebagai bentuk
dari kekhalifahan manusia di muka bumi.
Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77 disebutkan:
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya
mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja.
Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang
urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan
senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang
diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia
diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita
kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan.
Al-Qur’an surat al-An’aam ayat 32 menyebutkan:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini,
selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung
akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?”.
Islam menghendaki agar pemeluknya
mempelajari pengetahuan yang dipandang perlu bagi kelangsungan hidupnya
di dunia dan di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 201
disebutkan:
“Dan di antara mereka ada orang yang
berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk
apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa
kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan
lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa
adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan
cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk
mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.
Pemanfaatan Pengetahuan (Orientasi Pendidikan)
Manusia memiliki potensi untuk
mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu
mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya.
Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia
juga diberi kelebihan akal. Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa
yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak
nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
“Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”.
Yang dimaksud nama-nama pada ayat
tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia
berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan
yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang
terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat
memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu
mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah
ditundukkan Tuhan.[5]
Namun, di sisi lain manusia juga memiliki
nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk menuruti keinginannya.
Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah keinginan yang
tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam
lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”.
al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam
adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan lingkungan yang baik,
kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 disebutkan:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Sabda Nabi saw.:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat”.
Pisau akan sangat berguna ketika
digunakan oleh orang yang berpikiran positif dan ahli dalam menggunakan
pisau. Sebaliknya, ketika pisau digunakan oleh orang yang berpikiran
negatif, niscaya bukan kemanfaatan dan kemaslahatan yang akan dihasilkan
dari pisau itu, melainkan kemadharatan.
Demikian halnya dengan pengetahuan,
ketika penggunaannya bertujuan untuk mencapai kemanfaatan niscaya
pengetahuan itu pun akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika pengunaan
pengetahuan digunakan untuk kemadharatan, maka kemadharatan itulah yang akan didapat.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan
antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati),
manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika).
Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini
memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk
menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan
wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.[6]
Wahyu yang diturunkan kepada manusia
tidak hanya berisikan perintah dan larangan saja, akan tetapi lebih dari
itu al-Qur’an juga membahas tentang bagaimana seharusnya hidup dan
menghargai kehidupan. Dan tidak terlepas juga di dalam al-Qur’an dikaji
tentang sains dan teknologi sehingga tidaklah berlebihan jika kita
menyebutnya sebagai kitab sains dan medis[7].
Namun, berbagai bentuk kemajuan sains dan
teknologi serta ilmu pengetahuan tanpa didasari tujuan yang benar,
niscaya hanya akan menjadi sebuah bumerang yang menghancurkan kehidupan
manusia. Karena tidak jarang saat ini manusia malah mengalami kejenuhan,
kehampaan jiwa, hedonisme, materialisme bahkan dekadensi moral yang
tidak jarang pula implikasinya merugikan diri mereka sendiri bahkan
lingkungan sekitar. Padahal dengan adanya kemajuan sains dan teknologi
kehidupan manusia diharapkan menjadi lebih mudah, efisien, instan, yang
bukan malah menimbulkan tekanan jiwa dan kerusakan lingkungan.
Dalam Islam telah digariskan
aturan-aturan moral penggunaan pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, baik
kesyaritan maupun lainnya, teoritis maupun praktis, ibarat pisau
bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik dan
berkuasa atau berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan umat
manusia. Pengetahuan tentang atom umpamanya, dapat digunakan untuk
tujuan-tujuan perdamaian dan kemanusiaan, tapi dapat pula digunakan
untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui senjata-senjata nuklir.[8]
Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa
kerusakan di muka bumi adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Dalam
al-Qur’an surat ar-Rum ayat 41 disebutkan:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia”.
Manusia adalah makhluk yang memiliki tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjadi khalifah fil ardh. Kekhalifahan manusia adalah salah satu bentuk dari ta’abbud-nya kepada sang Khalik. Sedangkan ta’abbud
adalah tugas pokok dari penciptaan manusia, sekaligus menggali,
mengatur, menjaga dan memelihara alam semesta ini. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 85 disebutkan:
“Sempurnakanlah takaran dan timbangan
dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah
Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman“.
Pemanfaatan pengetahuan harus ditujukan
untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri, menjaga
keseimbangan alam semesta ini dengan melestari-kan kehidupan manusia dan
alam sekitarnya, yang sekaligus sebuah aplikasi dari tugas kekhalifahan
manusia di muka bumi. Dan pemanfaatan pengetahuan adalah bertujuan
untuk ta’abbud kepada Allah swt., Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Dari deskripsi singkat di atas, dapat
dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada
kita tentang konsep pendidikan yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang
tidak hanya berorientasi untuk kepentingan hidup di dunia saja, akan
tetapi juga berorientasi untuk keberhasilan hidup di akhirat kelak.
Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan
sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Manusia sebagai insan kamil
dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal
dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan”
yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu untuk
ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.
Pengetahuan yang telah didapat manusia
sudah seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
seluruhnya. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup
berdampingan dengan lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan
pengetahuan pengetahuan dan teknologi malah menghancurkan dan merusak
keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk melestarikan
alam ini sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada Allah swt.
Daftar Pustaka
Ahmad, al-Hajj, Yusuf. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis. Terj. Kamran Asad Irsyadi. Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta. 2003.
al-Qardawi, Yusuf. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Terj. Abad Badruzzaman. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.
Aly, Noer, Hery & Suparta, Munzier. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang. CV. Triasco. Jakarta. 2003.
Habib, Zainal. Islamisasi Sains. UIN-Malang Press. Malang. 2007.
Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2004.
_______________. Wawasan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2001.
Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Lintas Pustaka. Jakarta. 2006.
[1]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta: CV. Triasco, 2003), h. 109.
[2]M. Qusraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 433.
[3]________________, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), h. 168.
[4]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436.
[5]Ibid, h. 442.
[6]Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.
[7]Lihat Yusuf al-Hajj Ahmad, al-Qur’an Kitab Sains dan Medis, terj. Kamran Asad Irsyadi, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2003), cet.II.
[8]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, op.cit., h. 109-110. Bandingkan dengan Zainal Habib, Islamisasi Sains, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 14-18.
0 komentar:
Posting Komentar