Pages

Subscribe:

Labels

Tampilkan postingan dengan label Arsip Tulisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arsip Tulisan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 September 2016

Menggali Filosofi Berpikir Menyeluruh dalam Upaya Menggapai Konsep Kebenaran Menyeluruh



Menggali Filosofi Berpikir Menyeluruh dalam Upaya Menggapai Konsep Kebenaran Menyeluruh


Manusia adalah makhluk yang menangkap kebenaran,itu adalah suatu kepastian.tetapi manusia pun adalah makhluk yang bisa terperosok kepada ketidak benaran,itupun adalah suatu kepastian. bagaimana membedakan secara lebih spesifik-hitam putih-konseptual antara kebenaran dan ketidak benaran maka hal itu memerlukan metodologi serta parameter ilmiah tersendiri untuk bisa menilai dan membedakannya. dan masalah terkait metodologi serta parameter ilmiah itu tentu harus dibahas dalam artikel terpisah untuk tidak ribet maka makna ‘kebenaran’ disini tidak mengacu kepada pandangan yang spesifik atau misal mengikuti kecenderungan pandangan golongan tertentu tetapi sebatas yang manusia-umum dapat fahami atau dapat menjangkaunya sesuai kemampuan naluri alamiah dari peralatan berfikir yang mereka miliki.
Manusia dapat menangkap kebenaran karena ia memiliki peralatan berfikir atau bisa disebut juga sebagai : peralatan penangkap kebenaran.contoh nyata yang terjadi pada diri saya sebagai manusia; dengan dunia panca indera saya bisa menangkap beragam bentuk fakta empirik yang dikonsepsikan sebagai ‘kebenaran empirik’,dengan akal fikiran saya dapat menangkap adanya suatu bentuk kebenaran yang dapat difahami oleh akal yang kita kenal sebagai bentuk ‘kebenaran rasional’ atau bentuk kebenaran yang berdasar prinsip logika.tidak berhenti sampai disitu, dengan hati-kalbu yang terdalam saya menangkap adanya suatu bentuk kebenaran terdalam yaitu bentuk kebenaran yang terkait dengan hal hal yang bersifat essensial-mendasar-substansial semisal adanya maksud tujuan terdalam dibalik segala suatu-adanya landasan batiniah semisal ruh cinta kasih sayang dibalik suatu tindakan atau perbuatan.
Adanya ‘hakikat’ yang abstrak dibalik semua realitas yang nampak,sebagai contoh;saya dapat menangkap adanya maksud tujuan Ilahi yang terdalam dibalik firman firman Tuhan yang disampaikan melalui para utusanNya (kebenaran dalam artian menurut keyakinan saya tentunya) atau; saya menangkap hal yang bersifat batiniah dibalik tindakan seorang ayah terhadap anaknya.dan banyak lagi hal lainnya yang merupakan bentuk bentuk kebenaran yang tidak tertangkap secara langsung oleh pengalaman dunia inderawi juga yang tidak tergambarkan secara konstruktif oleh kemampuan logika akal fikiran manusia (yang hanya hati yang bisa menangkapnya secara utuh) atau, manusia menangkap sesuatu dengan apa yang disebut sebagai ‘mata batin’,sesuatu yang diyakini menjadi landasan dari suatu realitas-peristiwa-kejadian.
Sebagai manusia anda dapat menangkap serta menghayati bagaimana bentuk korelasi-keterpaduan-harmonisasi antara dunia indera-akal-hati yang berusaha saya ungkapkan diatas ketika berhadapan dengan beragam realitas persoalan apakah itu persoalan kehidupan se hari hari atau persoalan keilmuan yang dibicarakan dalam dunia filsafat misal.dengan kata lain; manusia memiliki tiga peralatan utama dalam berfikir : dunia indera-akal-hati yang dengan semua itu manusia merumuskan ‘kebenaran’.
Masalah ilmiah yang hendak kita permasalahkan disini adalah : apakah beragam bentuk kebenaran yang berbeda beda yang ditangkap oleh beragam peralatan berfikir yang berbeda itu harus saya fahami secara terkotak kotak-parsialistik,ataukah saya harus memahaminya secara menyeluruh ? atau,apakah beragam peralatan berfikir yang ada pada diri manusia itu hanya untuk membuat manusia memahami kebenaran secara terkotak kotak-parsialistik-tidak menyatu padu ? dan apa makna atau kegunaan dari memahami kebenaran secara menyeluruh ?
Makna ‘menyeluruh’ bagi saya disini adalah : adanya harmonisasi-kemenyatupaduan antara fungsi dunia indera dengan akal dan lalu dengan hati,atau ada keterpaduan antara input yang diperoleh melalui dunia inderawi dengan pandangan rasional yang diperoleh akal serta lalu dengan kehendak suara hati semisal hasrat kalbu yang menginginkan untuk memahami sesuatu.
Secara menyeluruh atau hasrat hati yang menginginkan memahami essensi atau hakikat atau makna terdalam dari sesuatu. dengan kata lain,ada keterpaduan atau keharmonisan berfikir antara dunia inderawi-akal-hati.dan mengapa saya harus mengungkap istilah ’keterpaduan serta keharmonisan’ ? karena saya sering menangkap adanya hal yang sebaliknya yaitu ketak harmonisan atau ketakpaduan antara ketiga bentuk alat berfikir yang ada pada manusia itu,dan itu bisa diakibatkan misal karena manusia menggunakan kacamata sudut pandang tertentu yang adalah hasil ide-pemikiran manusia.
Contoh : seorang yang dengan dunia inderawinya melihat adanya wujud wujud terdesain di alam semesta tetapi ia melihatnya dengan menggunakan kacamata sudut pandang materialist,sehingga akal nya sulit menangkap keharusan adanya wujud pendesain dibalik obyek terdesain dan tentu hatinya sulit menerima pandangan bahwa ada makna terdalam-ada maksud tujuan Ilahiah sebagai sang pendesain dibalik adanya wujud wujud terdesain.nah disini kita dapat melihat akibat dari seseorang yang memakai kacamata tertentu dalam mengamati alam semesta maka baik akal fikiran maupun hati-kalbu nya tidak dapat berfungsi secara optimal.
Karena pertama,akal nya tak dapat menangkap adanya grand konstruksi yang tentunya bersifat Ilahiah dibalik wujud alam semesta yang terdesain,kedua,tak dapat menangkap essensi-hal mendasar dari adanya wujud terdesain di alam semesta seperti menangkap hakikat serta makna terdalam nya.atau dengan kata lain dalam hal ini tak ada kesatu paduan antara ketiga alat berfikir yang ada pada manusia itu.disini pemahamannya terhadap alam semesta seolah hanya berhenti di sebatas penangkapan penangkapan inderawi semata.
Sehingga masalah lain yang hendak diungkap disini adalah : adanya ketimpangan dalam penggunaan peralatan berfikir dimana tidak seluruh peralatan berfikir yang ada pada diri manusia itu digunakan secara optimal.dan itupun ada penyebabnya yang kelak dapat kita telusuri secara lebih spesifik.dalam bahasa lain : banyak manusia yang condong terlalu banyak menggunakan isi kepala nya dalam berfikir serta menggunakan apa yang ada dalam isi kepalanya itu sebagai parameter tetapi tidak tergerak menggunakan hati nya dalam berfikir sebagai upaya mengimbangi aktifitas isi kepala nya.mengapa demikian ?
Karena ia percaya kepada suatu paradigma ilmiah tertentu yang menganggap apa yang keluar dari hati sebagai ‘bukan bagian dari ilmu pengetahuan’.semisal paradigma ilmiah materialist yang menjadikan fakta atau kebenaran empirik sebagai parameter sekaligus tujuan serta muara dari ilmu pengetahuan dan tak begitu mempedulikan persoalan essensi atau ‘hakikat’ atau ‘makna terdalam’ dari sesuatu.padahal hasrat untuk memahami hal hal yang bersifat essensial-mendasar itu terdapat dalam kalbu manusia yang tentu kalbunya hidup (tidak mati berfikir).
Dengan kata lain dalam hal pemahaman terhadap konsep ‘ilmu pengetahuan’-‘kebenaran’ dewasa ini manusia sering terlalu orientasi-fokus hanya kepada bukti serta hasil empirik (semisal teknologi)-positivisme lalu makna ‘rasionalitas’-penggunaan akal pun dibatasi mengikuti prinsip Kantian yang melekatkannya lebih kepada dunia pengalaman alias condong kepada logika dialektika materialist, dimana penggunaan akal untuk kepentingan menjelajah dunia metafisik secara bebas-secara lebih luas sebagaimana konsep agama Ilahiah menjadi terkebiri dan apalagi penggunaan ‘hati’ sebagai peralatan berfikir yang sebenarnya paling vital bagi manusia untuk menangkap hal hal mendalam yang bersifat mendasar tidak dilibatkan karena tak ada pengakuan ilmiah terhadap proposisi proposisi yang terkait hasil penghayatan hati,hati seolah tersingkir dari wilayah ilmiah.
Itulah paradigma ilmiah materialist yang fokus-orientasi hanya kepada hal hal yang nampak-yang bersifat permukaan-yang tertangkap pengalaman inderawi dimana akal-cara berfikir akal harus tunduk pada prinsip prinsip materialistik mengebiri fungsi hati dari dunia ilmu pengetahuan dan tentu dari konsep ‘kebenaran’,berbeda dengan konsep agama Ilahiah yang sangat menekankan fungsi hati untuk agar manusia dapat mendalami-menghayati serta memahami hal hal yang bersifat essensial-mendasar dari segala suatu seperti persoalan ‘hakikat serta makna terdalam’.
Sehingga kita dapat menakar dan mengukur sendiri, apakah adanya paradigma ilmiah materialistik yang melahirkan ideologi saintisme dan positivisme dan tentu parameter ‘kebenaran’ tersendiri yang serba materialistik itu sesuai dengan tujuan Tuhan menciptakan tiga macam alat berfikir pada diri manusia yang idealnya ketiganya memang seharusnya berjalan bersamaan secara menyatu padu ? atau,apakah paradigma ilmiah materialistik bersesuaian dengan filosofi berfikir menyeluruh dengan melibatkan keseluruhan peralatan berfikir untuk memahami kebenaran secara menyeluruh ?
Dengan kata lain kemenyeluruhan itu dapat hadir karena adanya korelasi yang signifikan antara berbagai peralatan berfikir yang ada pada diri manusia,sebaliknya bila dalam memahami ‘ilmu pengetahuan’ serta ‘kebenaran’ manusia cenderung selalu memahami segala suatu secara terkotak kotak : ini wilayah empirik-ini wilayah rasionalitas-ini wilayah moral-ini wilayah mistik-ini wilayah ilmu pengetahuan-ini wilayah agama dst.dan berhenti hingga disitu-tanpa upaya untuk memahaminya secara menyatupadu atau tanpa berupaya meng korelasi kan satu sama lain maka bagaimana ketiga alat berfikir yang ada pada diri manusia itu dapat berkolerasi satu sama lain (?)
Atau bila saya menangkap sesuatu dengan dunia inderawi saya dan akal fikiran saya dapat mengabstraksikannya kedalam konsep yang rasional tetapi hati saya belum dapat menangkap essensi-hakikat-makna terdalam-maksud tujuannya maka itupun berarti saya belum memahami sesuatu itu secara menyeluruh.artinya kebenaran belum dapat di sebut menyeluruh apabila ‘hati’ sebagai alat berfikir yang terdalam belum dilibatkan atau belum menangkap dan memahami essensi terdalamnya, dimana fungsi hati adalah pada lapisan pemahaman yang bersifat essensial-mendasar
Contoh : ada berbagai fakta empirik yang dihadirkan dipengadilan kasus kopi Mirna dengan terdakwa Jessica Wongso,dan berbagai fihak yang berkepentingan masing masing memeras otak-berlogika tentu demi untuk tujuannya masing masing,ada yang bertujuan demi kepentingan penuntutan-penyidikan-menghakimi serta membela.tetapi kita belum dapat memahami kebenaran seputar kasus kopi Mirna itu secara menyeluruh apabila ‘hati’ belum sampai pada kesimpulan meyakini Jessica bersalah atau tidak missal ini hanya salah satu contoh vital nya ‘hati’ dalam konsep kebenaran menyeluruh dan itu biasanya selalu terkait dengan masalah ‘keyakinan’.dengan kata lain,manusia bersentuhan dengan hati nya ketika mereka menginginkan ‘keyakinan’-sebuah hasrat naluriah yang terdapat pada jiwa manusia yang sehat tentunya.
Sehingga sesuatu belum dapat difahami secara menyeluruh apabila belum sampai ke tahap menyentuh keyakinan.itu sebab saya selalu membawa unsur ‘hati’ ke ranah ilmu pengetahuan sebab bila ilmu pengetahuan belum menyentuh hati dan meninggalkan jejak berupa keyakinan maka ilmu pengetahuan itu belum hadir kedalam alam fikiran manusia secara menyeluruh-hanya baru tampil dalam bentuk kepingan kepingan fakta empirik atau kepingan kepingan konsep akali yang parsialistik-terkotak kotak dalam berbagai disiplin keilmuan yang berbeda beda befungsinya ketiga alat berfikir yang ada pada diri manusia secara padu itu akan membuat semua obyek-instrument ilmu pengetahuan menjadi menyatu padu secara runtut satu sama lain membentuk suatu kesatuan pemahaman.
Dengan kata lain,pemahaman terhadap kebenaran menyeluruh atau di istilahkan dengan ‘kemenyeluruhan’ adalah optimalisasi semua alat fikir yang ada dalam diri manusia,bukan hanya sebatas orientasi pada optimalisasi peralatan iderawi serta yang dihasilkannya tetapi juga optimalisasi akal fikiran dan hati,dan secara epistemologis bukan berhenti atau menjadikan fakta empirik sebagai muara kebenaran yang terakhir tetapi berupaya memahami hal hal yang non empirik dibalik yang empirik atau memahami hal yang metafisis dibalik yang fisik.
Apakah (keterpecahan-keterkotak kotakkan) itu sebuah masalah ? bagi yang tak mempermasalahkannya utamanya bagi kaum positifist-materialist mungkin tidak,tetapi bagi saya yang ingin pemahaman terhadap ‘kebenaran’ itu tak hanya sampai di memori pengalaman dunia inderawi juga tak hanya masuk ke ‘kepala’,tak hanya sampai sebatas permukaan,tak hanya sebatas mengumpulkan fakta demi kebenaran kebenaran empirik yang nampak adalah sebuah persoalan besar,sebab saya ingin persoalan kebenaran itu menyentuh hingga ke hati dan meninggalkan jejak berupa keyakinan yang ‘hakiki’-keyakinan terhadap adanya hal hal yang essensial-mendasar.
Bila kita memakai bingkai institusi : manusia termasuk saya menangkap bentuk kebenaran tertentu baik dari sains-filsafat maupun agama,bentuk bentuk kebenaran yang memiliki derajat yang berbeda satu sama lain karena berbicara tentang dimensi serta tujuan yang berbeda beda tetapi apakah lalu saya harus memahami kebenaran secara terkotak kotak-parsialistik: ini kebenaran sains-ini kebenaran filsafat-ini kebenaran agama tanpa saya berusaha memahami keseluruhannya secara menyatu padu ? atau, apakah sebagaimana kata seorang rekan Kompasioner rekan berdialektika saya bahwa apa yang saya yakini harus disimpan (dan dikunci) di wilayah ‘mistik’-‘transeden’ dan tak boleh mengkorelasikannya sesuka hati dengan fakta fakta empirik,saya fikir yang penting adalah ‘saya berupaya menyatupadukannya’ agar dapat terlihat korelasi antara apa yang saya yakini dengan yang ada pada dunia Nampak.
Apakah kebenaran yang datang dari arah yang berbeda beda itu adalah kebenaran yang berbeda beda dan karenanya harus difahami secara terkotak kotak ? tidak adakah jalan untuk memahaminya secara menyatu padu? itu adalah pertanyaan yang terselip dihati saya jauh sejak lama sebelum saya mengenal dunia tulis menulis.dan lalu tulisan tulisan saya pun seolah manifestasi dari hasrat saya untuk memahami kebenaran secara menyeluruh alias filosofi ‘kemenyeluruhan’ itu.
Sebagian orang memuarakan apa yang berasal dari sains ke cara pandang positivisme, kebenaran yang berasal dari dunia filsafat ke wilayah cara pandang subyektivisme-individualisme dan kebenaran yang berasal dari agama di kunci di wilayah ‘mistisme’.pertanyaan saya: lalu bagaimana bisa tiga bentuk kebenaran yang berasal dari wilayah yang berlainan itu dapat saling berinteraksi dan menyatu padu satu sama lain bila oleh system filsafat tertentu atau oleh ‘kacamata sudut pandang manusiawi’ malah di kotak kotak kan ke kotak kotak yang terkunci rapat yang setelah terkunci itu seolah satu sama lain tak boleh saling berinteraksi lagi?
Sungguh suatu yang meresahkan dan ‘menyiksa batin’ bagi orang orang yang memiliki hasrat untuk memahami kebenaran secara menyeluruh.bayangkan,kalau ketika hendak keluar dari ‘kotak terkunci’ untuk berinteraksi dengan bentuk kebenaran lain malah ‘di pukul atau digetok’ oleh stigma cara pandang ilmiah tertentu seolah yang ada di keyakinan hati itu tak boleh keluar dari ‘wilayah mistik karenanya harus tetap ada di wilayah mistik’ dan harus diperlakukan sebagai obyek mistik-bukan obyek ilmu pengetahuan menyeluruh.itu tentu suatu pandangan yang sulit diterima oleh saya yang berkeyakinan bahwa konsep konsep Ilahiah merupakan bagan dari konsep kebenaran menyeluruh yang terkait dengan seluruh yang ditangkap oleh dunia indera serta akal fikiran manusia.
Hal terpenting terkait agama Ilahiah yang ingin saya sampaikan dalam kaitannya dengan filosofi berfikir menyeluruh serta pemahaman terhadap konsep kebenaran menyeluruh adalah bahwa agama Ilahah disamping memberi gambaran realitas non fisik dibalik yang fisik dan membawa akal formal-cara berfikir systematis menjelajah dunia metafisik secara lebih luas maka peran utama-terpentingnya adalah memberi peran yang sangat vital kepada unsur hati untuk mendalami hal hal yang bersifat essensial semisal hakikat serta makna terdalam dari segala suatu yang memang mustahil dapat ditemukan atau dungkap oleh manusia yang pandangannya dapat berbeda beda dan hanya dapat diungkap oleh satu sang pencipta,atau memberi tempat terhormat bahkan sangat vital bagi proposisi proposisi yang berasal dari penghayatan kalbu atau 'mata batin' yang oleh cara pandang ilmiah materialistik tidak diberi tempat ilmiah sama sekali dan mungkin hanya dianggap sebagai proposisi 'mistik'.dan kitapun dapat meraba dimana peran agama Ilahiah dalam upaya memahami konsep kebenaran menyeluruh yang tidak hanya melibatkan fungsi dunia indera serta cara berfikir akal yang systematis tetapi juga cara berfikir hati.

Tuan Guru Sebagai Agent of Change


Tuan Guru Sebagai Agent of Change

Tuan Guru Sebagai Agent Of Change Tuan Guru dalam masyarakat sasak memiliki posisi yang strategis dan legitimasi yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Tuan Guru adalah orang yang memiliki kualifikasi keilmuan agama yang diakui oleh masyarakat banyak. Sebagai orang yang dianggap mumpuni dalam bidang agama, Tuan Guru seringkali dijadikan rujukan dalam pelaksanaan ritual kegamaan serta diminta fatwa hukumnya apabila masyarakat mengalami kesulitan dalam memvonis hukum sesuatu permasalahan.

Tuan Guru terbentuk melalui proses seleksi kehidupan masyarakat muslim sasak di Lombok secara ketat, persyaratan menjadi Tuan Guru harus memiliki pemahaman keagamaan yang luas, memiliki dedikasi yang terakui, berintegritas tinggi, berkontribusi besar terhadap ummat setelah teruji dan terbukti bukan sekedar tamatan timurtengah tiba-tibah dengan mudah mencomot nama tuan guru di awal namnya sebab gelar tuan guru buka gelar akademis namun gelar ini murni disematkan oleh masyarakat karena indicator tadi sebab tuan guru memiliki pengaruh yang luar biasa mengakar jadi sebenarnya tidak mudah mendapat gelar tuan guru yang orisinil kecuali kalu tuan guruan (tuan guru ecek-ecek, istilah Lombok) apalagi dengan terobsesi meraih gelar itu sehingga matian-matian carper atau memanaipulasi adegan dengan berbagai cara seperti berniat tuntut ilmu ke timur tengah sekedar memenuhi hasrat suapaya pulangnya dari luar negeri bisa dipanggil dengan nama agung Tuan Guru, Na’uzubillah niat yang sangat memperihatinkan sebab spritulitasnya cacat dengan niat tersebut.

Kata Tuan Guru dengan kata ulama’ meiliki persamaan makna dalam pengertia penguasaan terhadap ilmu agama secara komperhensip atau lainnya. Sehingga orang yang hanya menjadi pemimpin thariqat belum bisa dikatakan Tuan Guru sebelum memiliki ilmu agama yang luas. Posisi Tuan Guru dalam starifikasi social kehidupan masyarakat muslim sasak masuk dalam golongan islam santri dan masuk dalam kelompok minoritas yang memiliki pengaruh luar biasa dalam kehidupan beragama.


Klasifikasi masyarakat muslim sasak di Lombok apabila ditinjau menurut klasifikasi masyarakat jawa yang di munculkan oleh Cliford Geerts teridri dari kelompok Islam Abangan ( ciri-ciri khas orang-orang ini adalah mereka menjadi pengikut panatik Tuan Guru dengan pola paradigma yang masih kental nuansa mitologinya), Kelompok santri (ini adalah kolempok Tuan Guru bersama santrinya yang mendapatkan pencerahan kegamaan melalui pengkajian kitab kuning dalam kehidupan pesantren), dan kelompok priyai ( merupakan kelompok bangsawan, pejabat, dan pegawai serta bisnis man yang pemahaman keagamaannya tidak terjebak dengan fanatisme)., Tuan Guru dengan posisi yang luar biasa mengakar dalam kehidupan masyarakat muslim sasak, seharusnya mampu melakukan transformasi perubahan paradigma masyarakat yang masih banyak terjebak dengan mitologi yang berlebihan, seperti dalam menilai gejala alam yang terjadi, masyarakat Lombok masih menjustifikasi kejadian-kejadian alam dengan nalar irasional.

Sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad, menurut Auguste Comte melalui tiga tahapan yakni Tahapan Teologis, Tahapan Metafisis dan Tahapan Positivis. Dalam tahapan Teologis, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir dibelakang peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan tersebut entah dalam bentuk kekuatan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam tahapan Metafisis, umat manusia berkembang dalam pengetaguannya, dimana kekuatan adimanusiawi dalam tahap sebelumnya berubah menjadi abstraksi-abstraksi Metafisis. Tidak ada lagi kekuatan Tuhan dan dewa-dewa , yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.

Sedangkan dalam tahapan positivis, manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab diluar fakta yang teramati, pikirannya hanya terpusat pada yang faktual yang sebenarnya bekerja menurut hukum umum, misalnya hukum gravitasi. Melihat tiga tahapan perkembangan pengetahuan umat manusia, dimanakah mayoritas umat muslim sasak berada, apakah masih dalam tahapan teologis atau sudah ditahapan positivis? Teori ini hanya menjadi pisau analisa mengenai perkembangan pengetahuan mayarakat muslim sasak yang mayoritas beragama islam, karena modernisme sebagai masa yang telah terlewati tidak mampu mewarnai dan merubah paradigma masyarakat. Pemahaman tentang makna modernism oleh masyarakat selama ini, hanya pada perubahan life style dan perkembagan tekhnologi. Ini menandakan modernisme tidak mampu merasuk kedalam perubahan paradigma masyarakat muslim sasak di Lombok ketika masih terjebak dengan mitologi.

Tuan Guru dengan pesantrennya yang memiliki ratusan bahkan ribuan santri, diharapkan mampu sebagai agent of change terhadap perubahan paradigma masyarakat muslim sasak secara revolusioner, agar mayrakat tidak menjadi korban perubahan zaman dan korban elite politik atau elite agama yang ada. Sejarah umat muslim telah membuktikan, bahwa filosof atau idiolog telah mampu menjadi pendobrak kebodohan zaman, kegelapan peradaban menuju peradaban yang mampu mewarnai kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Berkat perkembangan ilmu pengetahuan setelah umat muslim bersentuhan dengan peradaban Romawi dan Yunani, pada zaman itu umat muslim mengadopsi ilmu filsafat sebagai media untuk merasionalisasi ajaran-ajaran islam yang ada sehingga umat muslim sampai kepuncak peradaban. Tidak seperti setelah kejatuhan peradaban umat islam yang mengalami kemunduran dalam segala bidang yang di tandai dengan munculnya “fase tertutupnya pintu ijtihad”.

Pada fase ini kebabasan berpikir umat islam dibatasi sehingga produk pemikiran yang diadopsi adalah produk pemikiran lama yang sudah tidak kontekstual sesuai dengan kebutuhan zaman. sehingga umat islam hari ini lambat dalam perkembangannya karena euporia sejarah masa lalu yang meninakbobokkan yang berakibat pada etos kerja umat muslim. Membangkitkan semangat perjuangan umat muslim khususnya dibumi pulau seribu masjid ini, merupakan tugas semua tokoh. Kebangkitan ekonomi umat, serta kemajuan dalam bidang ilmu bisa dimulai dari dunia pesantren dengan cara merevolusi pola-pola lama yang anti terhadap perubahan, metodologi pembelajaran, dan yang anti terhadap ilmu-ilmu filsafat serta pemahaman terhadap kitab ta’lim muta’lim yang masih sangat ortodoks yang masih memposisikan santri sebagai obyek yang harus di isi dengan segudang ilmu.

Tuan Guru sebagai idiolog atau filosof Pesantren yang ada hari ini baik yang ada di luar Lombok atau di dalam pulau Lombok, format pembelajarannya masih sebatas mempelajari ilmu-ilmu klasik dalam bentuk pengkajian kitab-kitab kuning yang merupakan produk ulama’ klasik. Sehingga pesantren hari ini hanya menjadi lembaga pendidikan moral (bengkel moral) serta memproduk santri yang anti terhadap kebebasan berpikir dan pembaharuan. Tuan Guru sebagai pimpinan pesantren dan pemimpin agama, harus berani keluar dari paradigma lama terutama dari paradigma tradisionalis menuju paradigma modern atau pelopor pembaharuan islam di bumi pulau seribu masjid ini, dengan cara sebagai idiolog atau filosof.

Tuan Guru sebagai idiolog harus mampu menciptakan frame perjuangan umat muslim dan menggerakkannya untuk melawan penindasan terselubung yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Tuan Guru sebagai filosof harus mampu melahirkan pemikiran yang mencerahkan bagi umat islam hari ini. Dalam sejarah perjuangan ulama’ baik tingkat global atau pun nasional, mereka banyak mampu memberikan kontrobusi perubahan paradigma masyarakat muslim seperti Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Begitu juga untuk tingkat nasional kita mengenal ulama bernama Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Muhammad Natsir dan lain-lain. Sedangkan untuk tingkat local kita mengenal Tuan Guru Pancor beliaulah Maulana Syeikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Abul Madaris wal Masajid, Tuan Guru Mutawalli, Tuan Guru Tretetet, Tuan Guru Haji Ali Batu dan lain sebagainya. Mereka adalah agent perubahan bagi masyarakat Lombok yang pada awalnya menjadi penganut islam watu telu menjadi islam watu lima.

Sudah saatnya para Tuan Guru hari ini, tidak hanya menjadi pemimpin pesantren, pemimpin sholat dan roah serta do’a-do’a. Tetapi mereka harus segera mengidentifikasi diri menjadi Tuan Guru idiolog atau filosof agar mampu memberikan perubahan secara revolusioner bagi masyarakat muslim sasak di Lombok baik diwilayah paradigma atau tingkat kesejahteraan kehidupannya serta kualitas pendidikannya.Berani mendobrak radikalisasi dan panatisme yang membelenggu ukhwuah dan da'wah.

Jangan sampai kritis sosial masyarakat sasak benar-benar terjadi seperti ulasan pertama tadi yaitu demi meraih gelar Tuan Guru berbondong-bondong ke Timur Tengah seperti Makkah ataupun ke mesir tanpa ada perubahan integritas yang signifikan setelah pulang dari Luar Negri, kalau itu yang terjadi maka sungguh ironi gelar yang mulia dipelintir oleh kegengsian segelintiran orang yang haus penghormatan tanap malu membodohi masyarakat. Entitas tuan guru akan terkubur oleh mental seperti itu. Sebagai masyarakat awam perlu mengevaluasi keberadan alumni yang sekedar alumni timur tengah demi menyelamatkan kemurnian Tuang Guru, sehingga tidak cepat dan mudah menyematkan gelar Tuan Guru kepada mereka, harus teruji dan terbukti sebagai kudwah hasanah ditengah masyarakat menjadi roll model setiap individu kaum sasak mampu menjadi agen of change muslim kontemporer yang inklusif.

WALLAHU'ALAM.