Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 27 Maret 2017

PENGEMBANGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM



Tujuan Pendidikan Islam dalam Mengembangkan Potensi Manusia 
(Telaah Al-Qur'an Tafsir Tematik)


Oleh: Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.[1]

Dosen UMRI, Dosen LB STIT Hidayatullah



Abstrak

Manusia adalah subjek serta objek pendidikan. Sebagai subjek manusia menentukan jenis, tujuan dan arah pendidikan ini, dan sebagai subjek ia menjadi fokus kegiatan pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap rumusan pendidikan harus mengacu pada manusia pada setiap dimensi, yang refleksi pemikiran dinamis atau realitas empiris yang disesuaikan dengan konsep al-Qur’an. Tanpa orientasi manusia, tanpa formulasi perubahan (tajdiid) dan tanpa berpondasi pada al-Qur’an, maka pendidikan akan gagal. Manusia adalah makhluk dengan dua unsur, yaitu materi (jasmani) dan immaterial (ruhani), dan dilengkapi dengan fitrah, nafs, qalb, ruh, dan aql. Dengan instrumen tersebut, manusia memiliki potensi, positif dan negatif. potensi positif harus dikembangkan secara optimal dan potensi negatif harus diminimalkan, dan pendidikan adalah sarana yang tepat untuk membangun dan mengembangkan potensi yang baik.

Berdasarkan kajian terhadap al-Qur’an maka Makalah ini menemukan tujuan pendidikan Islam bahwa pendidikan itu tidak hanya transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga merupakan proses transfer nilai. Tujuan tersebut terkait dengan membangun habl min Allah, habl min al-nas, dan habl min al- ‘a lam. Sementara itu, dari segi perubahan sosial, tujuan pendidikan adalah merealisasikan kesalihan sosial. Sedangkan dari segi kebutuhan manusia secara individual tujuan itu adalah menciptakan keseimbangan pengembangan fisik, psikis, dan inteligensia. Jadi tujuan pendidikan dalam perspektif al- Qur’an itu terfokus dalam tiga hal. Pertama, untuk mencetak manusia paripurna dalam sendi-sendi kehidupannya. Kedua, untuk menciptakan manusia yang komprehensif dari dimensi agama, budaya, dan ilmu pengetahuan Ketiga, untuk menciptakan manusiayang sadar akan fungsinya sebagai hamba Allah dan pewaris Nabi. Beberapa tujuan tersebut, hakikatnya untuk membentuk figur muslim yang rahamatan li al- ‘alamin.

Kata Kunci: Potensi Manusia, Tujuan Pendidikan dan Pendidikan Islam



A.    Pendahuluan

Dalam pandangan Islam, manusia merupakan ‘entity yang unik. Keunikannya terletak pada wujudnya yang multi-dimensi, bahkan awal penciptaannya didialogkan langsung oleh Allah SWT degan para malaikat[2] sehingga jadilah manusia makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna di muka bumi ini.

Karena kesempurnaan dan kemuliaannya, Allah keistimewaan-keistimewaan yang menyebabkan manusia berhak mengungguli makhluk lainnya. Di antara keistimewaan- keistimewaannya adalah diangkatnya manusia sebagai khalifah di bumi. Manusia merupakan makhluk berpikir yang menggunakan bahasa sebagai medianya; manusia merupakan makhluk tiga dimensi seperti segitiga sama kaki, yang kaki-kakinya terdiri dari tubuh, akal, dan ruh; manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan, manusia juga mempunyai keluwesan sifat yang selalu berubah melalui interaksi pendidikan.[3]

Mencermati uraian di atas, wacana untuk menjadikan pendidikan yang lebih manusiawi semakin marak dengan memperhatikan sifat, kebutuhan, dan potensi dasar manusia, maka pemahaman tentang hal ihwal manusia menjadi sangat penting.

Oleh karena itu, setiap rumusan pendidikan berawal dari konsep dasar manusia dalam berbagai dimensinya, yang merupakan refleksi dari pemikiran-pemikiran dinamis atau kenyataan-kenyataan empirik. Antara konsep dasar pendidikan dan konsep dasar manusia terdapat hubungan yang erat. Tanpa berorientasi pada manusia sebagai acuan dasarnya, rumusan-rumusan teoretis pendidikan akan mengalami stagnasi dan tidak berdaya dalam mengantisipasi perubahan. Praktik-praktik kependidikan tidak pelak lagi akan mengalami kegagalan, kecuali bila dibangun di atas konsep yang jelas mengenai sifat dasar manusia.

Begitu urgennya pemahaman tentang manusia dalam pendidikan sehingga at-Toumy dalam bukunya Falsafah Pendidikan Islam mengungkapkan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang insan merupakan hal yang amat penting. Sebab insan merupakan unsur terpenting dalam tiap usaha mendidik. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang insan, pendidikan akan meraba- raba.[4]

Manusia dalam dunia pendidikan, menempati posisi sentral (central position), karena manusia di samping dipandang sebagai subjek sekaligus juga objek pendidikan.[5] Sebagai subjek manusia menentukan corak dan arah pendidikan, sedangkan sebagai objek, manusia menjadi fokus perhatian segala aktivitas pendidikan.[6]

Berdasarkan beberapa uraian di atas, makalah sederhana ini akan mencoba mengeksplorasi tentang hakikat manusia dalam pendidikan Islam yang pembahasannya meliputi; pandangan al- Qur’an tentang manusia, pengertian pendidikan Islam, serta hakikat manusia dalam pendidikan.




Untuk dapat memahami tentang hakikat manusia dalam al-Qur’an, kita dapat menelusuri terlebih dahulu beberapa istilah yang digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk manusia.

Ada tiga istilah kunci yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk manusia, yaitu al-insan al- basyar, dan an-nas.[7] Kata insan berasal dari kata al-ins atau annisa, yang dalam bentuk jamaknya adalah anasiy, nas, unasi insiyyu, yang berarti jinak atau lunak. Akan tetapi, dalam al-Qur’an kata- kata tersebut selalu disebut bersamaan dengan kata al-jin  kata yang merupakan lawan— yang berarti buas.[8]

Kata unasi disebut lima kali dalam al-Qur’an (2: 60; 7: 82; 70:160; 17: 71; 27: 56) dan menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam Q.S. 2: 60, misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalam Bani Israil. Surat 17: 21 dengan jelas menunjukkan makna ini pada hari kami memangil setiap unas dengan imam mereka.

Kata anasiy hanya disebut satu kali (25: 49). Anasiy adalah bentuk jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy,8 yang merupakan bentuk lain dari insan.

Kata ins disebut 18 kali dalam al-Qur’an dan selalu dihubungkan dengan jin sebagai pasangan makhluk manusia yang mukallaf (6: 112, 128, 130, 7 : 38, 179; 17 : 88, 27: 17; 41:25, 29; 46 :18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72 : 5, 6).

Kata insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali dalam 63 ayat, kata an-nas 241 kali dalam 225 ayat, kata unasi 5 kali dalam 5 ayat, kata anasi dan unsiya masing-masing 1 kali dalam 1 ayat, basyar 36 kali dalam 36 ayat, dan bani Adam 7 kali.[9] Kata insan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia.[10] Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.[11]

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang lunak/jinak, tempat dia memiliki kemampuan untuk adaptif dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Sementara itu, kata basyar berasal dari kata basyarah yang berarti permukaan kulit, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. al-Bazrah mengartikannya sebagai kulit luar, al- Lais mengartikannya sebagai permukaan kulit pada tubuh manusia. Oleh karena itu, kata mubasyarah diartikan juga sebagai mulamasah sentuhan kulit laki-laki dan perempuan sehingga sering pula diartikan dengan liwat, jima  persetubuhan.

Kata basyar disebut 27 kali dalam seluruh ayat tersebut. Kata basyar memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, “Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (manusia)”.[12] Dalam ayat yang lain Nabi Muhammad SAW, disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis ia seperti manusia yang lain. “Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar) sepertimu, hanya saja aku diberi wahyu, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu”.[13]

Dengan demikian, kata basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks, dan lain-lain.[14] Dari segi inilah, tidak tepat menafsirkan basyarun mitslukum sebagai manusia, seperti kita dalam hal berbuat dosa. Kecenderungan para Rasul untuk tidak patuh pada dosa dan kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tetapi sifat-sifat psikologis (atau spiritual).




Setelah kita memahami manusia secara antropologis berdasarkan al-Qur’an, selanjutnya penulis akan mengurai tentang hakikat pendidikan Islam. Apabila kita berbicara tentang hakikat pendidikan Islam, maka dapat terlepas dari pembicaraan tentang pmgertian/defnisi pendidikan Islam secara umum. Hal ini disebabkan dalam pengertian pendidikan Islam tercermin paradigma pendidikan Islam yang akan dibangun, dijabarkan, serta di- kembangkan ke arah pendidikan Islam dalam bentuk operasional.

Dengan kata lain, proses/sistem dan model yang dipraktikkan oleh seorang pendidik banyak bergantung pada bagaimana memahami makna pendidikan Islam itu sendiri. Akan tetapi, para pakar pendidikan sampai saat ini belum ada kesepahaman dalam mendefinisikan pengertian pendidikan. Berikut ini akan penulis kutipkan tentang beberapa defnisi pendidikan Islam menurut beberapa tokoh.

Sayid Sabiq mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu aktivitas yang mempunyai tujuan mempersiapkan anak didik dari segi jasmani, akal, dan rohaninya sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun ummatnya (masyarakatnya).[15]

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku yang terjadi pada diri individu maupun masyarakat. [16] Muhammad S. A. Ibrahimi mengartikan pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam sehingga dapat dengan mudah untuk membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam.

Sepintas lalu dengan mencermati beberapa pengertian di atas, pendidikan Islam merupakan proses bukan aktivitas yang bersifat instant. Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan upaya untuk menyeimbangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berdasarkan nilai-nilai luhur dan kehidupan mulia sehingga terbentuk pribadi yang sempurna, baik berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.

Beberapa uraian tersebut memberikan suatu gambaran bahwa keduanya merupakan satu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.[17]Di samping itu, pendidikan Islam juga mempunyai tujuan membentuk manusia yang pada akhimya di samping mempunyai kualitas yang tinggi secara individual/personal (kesalehan individual)[18] juga mempunyai kualitas yang tinggi secara impersonal/sosial (kesalehan sosial).




Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna (melebihi malaikat) apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika manusia tidak dapat bertanggungjawab sebagai khalifatullah dengan baik dan benar, maka kedudukan manusia lebih rendah dari binatang.

Oleh karena itu, agar dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi, manusia dikaruniai beberapa kekuatan yang dapat menimbulkan kreativitas untuk menata alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia potensi-potensi[19] (fithrah)[20] yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan.

Ada beberapa pendapat yang membahas tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, di antaranya adalah sebagai berikut. Jalaluddin, ada tiga potensi yang dimiliki oleh manusia, yaitu potensi ruh, jasmani (fisik), dan rohaniah. Pertama, ruh; berisikan potensi manusia untuk bertauhid, yang merupakan kecenderungan untuk mengabdikan diri kepada Sang Pencipta. Kedua, jasmani; mencakup konstitusi biokimia yang secara materi teramu dalam tubuh. Ketiga rohani; berupa konstitusi non-materi yang terintegrasi dalam jiwa, termasuk ke dalam naluri penginderaan, intuisi, bakat, kepribadian, intelek, perasaan, akal, dan unsurjiwa yang lainnya.[21]

Imam al-Ghazali, manusia mempunyai empat kekuatan (potensi), yaitu; pertama, qalb;[22] merupakan suatu unsur yang halus, berasal dari alam ketuhanan, berfungsi untuk merasa, mengetahui mengenal, diberi beban, disiksa, dicaci, dan sebagainya yang pada hakikatnya tidak bisa diketahui; kedua, ruh;[23] yaitu sesuatu yang halus yang berfungsi untuk mengetahui tentang sesuatu dan merasa, ruh juga memiliki kekuatan yang pada hakikatnya tidak bisa diketahui; ketiga, nafs;[24] yaitu kekutan yang menghimpun sifat-sifat tercela pada manusia; keempat, aql;[25] yaitu pengetahuan tentang hakikat segala keadaan, maka akal ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati.[26]

Jalaluddin dan Usman Said, secara garis besar manusia memiliki empat potensi dasar, yaitu pertama, hidayah al-ghariziyyah (naluri), yaitu kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, seperti, makan, minum, seks, dan lain-lain, dalam hal ini antara manusia dengan binatang sama; kedua, hidayah al-hisiyyah (inderawi), yaitu kesempurnaan manusia sebagai makhluk Allah SWT (ahsan at-taqwim); ketiga, hidayah al-aqliyyah, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat dididik dan mendidik (animal educandum); dan keempat, hidayah diniyyah, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai potensi dasar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.[27]

Apabila dikaitkan dengan konteks pengembangannya, potensi ruh diarahkan kepada ibadah mahdhah (khusus) secara rutin dan kontinu. Oleh karena dengan melalui program ini diharapkan tercipta tingkah laku lahiriah-batiniah sebagai suatu pola hidup makhluk yang bertuhan. Potensi jasmaniah diprogramkan lebih dini agar manusia makan dan minum dari yang manfaat, baik dan benar (halalan thayyiban). Hal ini dianggap penting karena benih (nuthfah) berasal dari makanan dan minuman, yang pada akhirnya akan menjadi bahan baku pengembangan sumberdaya insani. Potensi rohaniah, seperti naluri mempertahankan diri dan naluri untuk berkembang biak harus disalurkan dengan jalan yang diridlai Allah SWT.

Sementara itu, dengan potensi fithrah dan gharizah menuntut manusia untuk senantiasa belajar dari lingkungannya. Salah satu aspek potensial dari ftrah adalah kemampuan berpikir manusia, di mana rasio menjadi pusat perkembangannya. Adapun potensi akal merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk memilih (baik dan buruk) dan manusia berpotensi untuk menentukan jalan hidupnya.

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa Allah telah menganugerahkan beberapa potensi kepada manusia yang dapat dikembangkan dengan seoptimal mungkin dalam rangka melaksanakan tugas kekhalifahannya di dunia.

Dari potensi-potensi dasar tersebut, menunjukkan pada kita akan pentingnya pendidikan untuk mengembangkan dan mengolah sampai di mana titik optimal itu dapat capai. Apalagi kita saksikan kondisi manusia pada waktu dilahirkan di dunia ini, mereka dalam keadaan yang sangat lemah,[28] yang secara tidak langsung membutuhkan pertolongan dari kedua orangtuanya. Tanpa adanya pertolongan dan bimbingan kedua orangtuanya, maka bayi yang lahir dengan bentuk tubuh yang sempurna itu akan mengalami pertumbuhan secara tidak sempurna. Sebagaimana dialami oleh Mr. Singh, ketika menemukan dua orang anak manusia dalam sarang serigala. Kedua anak tersebut diasuh dan dibesarkan oleh serigala sehingga segala gerak gerik, kemampuan, dan tingkah lakunya sangat menyerupai serigala. Demikian halnya anak yang diasuh oleh monyet, maka ia juga akan menyerupai monyet.[29]

Dengan demikian, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan kepribadian anak, potensi jasmaniah dan rohaniah tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tetapi membutuhkan adanya bimbingan, arahan, dan pendidikan. Oleh karena itu, penulis sependapat dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Emmanuel Kant “manusia bisa menjadi manusia karena pendidikan”.[30]




Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam Islam pendidikan diistilahkan dengan kata tarbiyah, ta’lim, tazkiyah, tahdhib, dan sebagainya.30 Namun demikian, dari beberapa terma tersebut, al-Qur’an hanya menggunakan kata tarbiyah, ta ’Em, dan tazkiyah sebagai istilah yang mengacu pada substansi makna pendidikan.

Terma pendidikan yang dikontekskan dengan kata Islam bukan sekedar transmisi ilmu, pengetahuan, dan teknologi tetapi sekaligus sebagai proses penanaman nilai karena hakikat pendidikan dalam al-Qur ’ an adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai kesuksesan (al-falah), baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Langgulung, manusia macam mana atau yang bagaimana yang ingin diciptakan melalui pendidikan.31

Berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan dengan argumentasinya masing-masing banyak dikemukakan para pakar pendidikan Islam. Pendapat tersebut berkisar pada kenyataan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah menjadikan manusiayang menyembah atau beribadah dan berserah diri kepada Allah, mengembangkan potensi, dan menanamkan akhlak mulia. Jalal menyatakan bahwa secara umum, pendidikan Islam bertujuan pada usaha mempersiapkan sosok penyembahAllah atau ‘abid, yaitu manusiayang memiliki sifat-sifat mulia yang diberikan oleh Allah kepada manusia dengan gelar ‘ibad al-rahman.32 Begitujuga Mursi, ia berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah peningkatan manusia yang menyembah dan mengabdi kepada Allah dan takut kepadaNya.33 Firman Allah QS. al-Dhariyat: 56:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦

Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku



Menurut al-Qurtubi, liya’budun dimaknai dengan liyuwahhidun dalam arti meng-Esa-kan Allah.[31] Al-Qurtubi juga mengutip pernyataan ‘Ali Radiyallahu ‘anh, ayat ini menunjukkan perintah untuk beribadah kepada Allah bagi umat manusia. Serta mengutip pernyataan Mujahid bahwa ayat ini menunjukkan agar jin dan khususnya manusia lebih mengenal Allah.[32]

Selain untuk menj adikan hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya dan yang lebih mengenal Allah, berdasarkan ayat tersebut, tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan hamba Allah yang memiliki karakter saleh secara sosial. Firman Allah QS. al-Furqan: 63:

وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا ٦٣

Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha penyayang itu (ialah) orang-orangyang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan

Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam perspektif sosiologis, pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an adalah untuk menciptakan sosok muslim yang mampu mengekspresikan diri sebagai orang saleh di masyarakat. Inilah yang kemudian disebut dengan seorang muslim yang memiliki kesalehan sosial.

Ali Ashraf menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam terletak pada perwujudan penyerahan diri atau ketundukan yang mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya, sebagaimana dalam QS. Ghafir: 66:

۞قُلۡ إِنِّي نُهِيتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَمَّا جَآءَنِيَ ٱلۡبَيِّنَٰتُ مِن رَّبِّي وَأُمِرۡتُ أَنۡ أُسۡلِمَ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦٦

Artinya: Katakanlah (ya Muhammad): "Sesungguhnya aku dilarang menyembah sembahan yang kamu sembah selain Allah setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Tuhanku; dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam



Yang dimaksud dengan ketundukan dalam ayat tersebut, menurut al- Tabari adalah tunduk untuk mentaati perintah Allah dan menjauhi laranganNya.36 Itulah yang dimaksud dengan tunduk yang sesungguhnya.

Sesungguhnya yang menjadi fokus pendidikan Islam identik dengan tujuan Islam itu sendiri.37 Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibani sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin menggariskan bahwa Islam datang adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlaq al-karimah.38 Yang dimaksud akhlaq al-karimah menurut al- Tabari sebagaimana mengutip hadith Nabi adalah perilaku luhur yang ditetapkan dalam al-Qur’an yang diajarkan oleh Allah.39

Adapun menurut ‘Afiyah al-Abrashi, formulasi tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan telah dilakukan oleh Nabi Muhammad, sesuai dengan di antara tujuan diutusnya Nabi Muhammad itu sendiri, yaitu untuk menyempurnakan akhlak.40

Untuk tujuan ini, Allah sendiri yang memberi penilaian terhadap akhlak Nabi sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS. al-Qalam: 4 yang artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dan diperkuat oleh sabda Nabi Saw. Yang artinya: “ ”Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.41

Dari segi pengembangan potensi manusia, Muhaimin berpandangan bahwa tujuan pendidikan yang terkandung dalam al-Qur’an adalah untuk mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah Swt.42 Pendidikan dalam al-Qur’an adalah untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, [33] [34] [35] [36] [37] [38] [39] mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.[40]

Adapun dalam pandangan Langgulung, Islam datang untuk memperbaiki keadaan manusia dan menyempurnakannya. Tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan manusia karena Islam mencerminkan agama yang sempurna.[41] Berdasarkan prinsip ini, maka secara umum pendidikan dalam pandangan Islam yang termaaktub dalam al-Quran bertujuan pembentukan insan salih (manusia yang baik) dan beriman kepada-Nya serta pembentukan masyarakat yang saleh yang mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusannnya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam yang digariskan dalam al-Qur ’ an bersifat religius, tetapi agama yang dimaksudkan oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga secara inheren bersifat sosial dan kultural.[42]

Di samping itu, pendidikan dalam al-Qur’an memiliki tiga segi tujuan, yaitu tercapainya tujuan habl min Allah (hubungan dengan Allah), tercapai tujuan habl min al-nas (hubungan dengan manusia), dan tercapai tujuan habl min al-‘alam (hubungan dengan alam). Hal ini sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Ali Imran: 112 dan QS. al-A’raf: 56 berikut ini:

ضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيۡنَ مَا ثُقِفُوٓاْ إِلَّا بِحَبۡلٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبۡلٖ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَسۡكَنَةُۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلۡأَنۢبِيَآءَ بِغَيۡرِ حَقّٖۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ١١٢

Artinya: Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas



وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٦

Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik



Secara garis besar, tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama, yaitu dimensi hakikat penciptaan manusia, dimensi tauhid, dimensi moral, dimensi perbedaan individu, dimensi sosial, dimensi profesional, dan dimensi ruang dan waktu.[43] Dimensi-dimensi tersebut sejalan dengan tataran pendidikan dalam al-Quran yang prosesnya terentang dalam lintasan ruang dan waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, orientasi dan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan dalam Islam harus merangkum semua tujuan yang terkait dalam rentang ruang dan waktu tersebut.[44]

Berdasarkan paparan tersebut di atas, beberapa aspek mendasar yang penting untuk diperhatikan adalah:

1.   Tujuan dan tugas hidup manusia

Manusia tercipta di dunia bukan tanpa tugas dan tanpa tujuan. Allah menciptakan manusia disertai dengan tujuan dan tugas hidup tertentu.[45] Diciptakannya manusia di dunia ini tugasnya hanya untuk mengabdi dan berbakti kepada Allah Swt. sebagaimana dinyatakan dalam QS. Qaf: 162 yang artinya: “Sesungguhnya, salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.”

2.   Sifat-Sifat Dasar Manusia

Manusia diciptakan sebagai khalifah Allah di bumi,[46] dan untuk beribadah kepada-Nya.[47] Dia juga diciptakan dengan dibekali kecenderungan membutuhkan bimbingan untuk mengarahkan perilakunya yang berupa agama Islam sebagaimana QS. al-Baqarah: 30 yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

3.   Tuntutan masyarakat

Yang dimaksud tuntutan masyarakat di sini dapat berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga pada masyarakat dan memenuhi

tuntutan kehidupan modern sebagaimana QS. al-Anbiya’: 107 yang artinya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bag semesta alam

4.   Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam

Dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut untuk tidak terbelenggu dengan kesenangan dan kemewahan dunia semata. Dimensi yang ideal tersebut adalah dimensi yang dapat memadukan antara kepentingan hidup dunia dan kepentingan hidup akhirat.[48] Keseimbangan ini merupakan benteng bagi manusia dari pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenteraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam kehidupan manusia.[49] Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Qasas: 77.

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧

Artinya:  Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan



Pada hakikatnya pendidikan dalam Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan perubahan menuju pada kebaikan, baik pada tingkah laku individu maupun pada kehidupan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Proses pendidikan terkait dengan kebutuhan dan tabiat manusia. S ementara tabiat manusia tidak lepas dari tiga unsur yaitujasad, ruh, dan akal. Karena itu tujuan pendidikan dalam Islam secara umum dibangun berdasarkan tiga komponen tersebut, yang masing-masing harus dijaga keseimbangannya (tawazun).

Di samping ketiga komponen tersebut perlu diperhatikan pula bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Oleh karena itu, maka tujuan pendidikan Islam diorientasikan pada empat klasifikasi tujuan berikut ini:[50]

1. Tujuan pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah)

Tujuan ini digunakan untuk mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi melalui pelatihan keterampilan- keterampilan fisik atau memiliki kekuatan dari segi fisik (al-Qawi). Faktor fisik memang tujuan utama dan segala-galanya, namun ia sangat berpengaruh dan memegang peran penting, tetapi Allah mencintai orang mukmin yang memliki fisik yang kuat daripada yang lemah.[51]

2.    Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf al-ruhaniyah)

Tujuan ini bermaksud untuk meningkatkan jiwa kesetiaan kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Rasulullah dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur’an.[52] Peningkatan kualitas jiwa yang hanya setia kepada Allah serta melaksanakan moral Islam yang dicontohkan Nabi merupakan bagian pokok tujuan umum pendidikan. Ini pada dunia pendidikan modern menjadi tujuan pendidikan agama.

3.    Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-‘aqliyah)

Tujuan pendidikan ini merupakan pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga dapat menumbuhkan iman kepada sang Pencipta. Tujuan ini terikat dengan perkembangan intelegensia yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya yang mampu memberi pencerahan dirinya.

Intelelensia atau bisa dimaknai lebih luas dengan kemampuan daya pikir dan daya nalar sangat memiliki kontribusi dalam pengembangan tujuan pendidikan yang lain, yang meliputi tujuan yang bersifat individual, sosial, dan profesional. Muhammad al-Toumy al-Syaibany sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyebutkan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: (a) Tujuan individual yang berkaitan dengan pelaj aran dan perubahan tingkah laku, aktivitas, pertumbuhan serta persiapan untuk menjalani kehidupan; (b) Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan, perubahan, dan pertumbuhan untuk memperkaya pengalaman dabn kemajuan; (c) Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai aktifitas masyarakat.[53]

4.    Tujuan pendidikan sosial (al-ahdaf ahijtima’iyah)

Tujuan pendidikan secara sosiologis adalah untuk membentuk kepribadian yang utuh yang meliputi substansi fisik dan psikis manusia. Kepribadian yang utuh di sini tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang heterogen.

Dengan memperhatikan klasifikasi dan formulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam Islam pada hakikatnya terfokuskan pada tiga hal. Pertama, terbentuknya insan kamil (manusia sempurna) yang mempunyai dimensi qur ’ani dalam hidupnya. Menurut Iqbal sebagaimana yang dikutip oleh Dawam, kriteria insan kamil adalah manusia yang beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin dalam pribadi Nabi berupa akhlak mulia.[54] Sedangkan menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, manusia sempurna itu memiliki indikator jasmani yang sehat, kuat, dan berketerampilan, cerdas serta pandai, dan rohani yang berkualitas tinggi.[55]

Kedua, terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius, budaya, dan ilmiah. Dimensi religius, yaitu manusia merupakan makhluk yang mengandung berbagai misteri dan tidak dapat direduksikan pada faktor-faktor tertentu semata. Dengan demikian, manusia dapat dicegah untuk dijadikan angka, ataupun robot yang diprogram, tetapi tetap mempertahankan kepribadian, kebebasan akan martabatnya. Dimensi budaya, manusia merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini manusia mendapatkan dasar pendidikan untuk mempertahankan keutuhan kepribadiannya dan mampu mencegah arus zaman yang membawa kepada desintegrasi dan fragmentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia. Dimensi ilmiah, yaitu dimensi yang mendorong manusia untuk selalu bersikap obyektif dan realistis dalam menghadapi tantangan zaman, serta berbagai kehidupan manusia untuk bertingkah laku secara kritis dan rasional, serta berusaha mengembangkan keterampilan dan kreatifitas berpikir.[56]

Ketiga, penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai warathah al-anbiya ’ dan memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.

Fadhil al-Djamaly, sebagaimana yang dikutip oleh al-Syaibany, menjelaskan bahwa pendidikan yang berbasis al-Qur’an memiliki empat tujuan utama. Pertama, memperkenalkan kepada manusia akan posisinya di antara makhluk Allah, memperkenalkan tanggung jawab individual kehidupannya. Kedua, memperkenalkan kepada manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam rangka untuk dapat harmonis dalam suatu sistem sosial. Ketiga, memperkenalkan kepada manusia akan Pencipta alam ini. Keempat, memperkenalkan kepada manusia akan makhluk (alam), dan mengajaknya untuk memahami hikmah penciptaannya, serta memungkinkan manusia untuk memanfaatkannya.[57]

Pendidikan dalam persepektif al-Qur’an adalah pendidikan yang menfokuskan diri pada pembinaan manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Jika hal ini bisa terwujud maka umat Islam akan mampu mengaplikasikan ajaran Islam secara komprehensif.[58]

Jadi, tujuan pendidikan Islam yang bersumber pada al-Qur’an itu untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia, dan alam semesta. Karenanya, Dari segi pencapaian tujuannya, maka pendidikan dalam pandangan al-Qur’an itu bertujuan pada terbentuknya umat Islam yang mampu dalam menjalin komunikasi, interaksi, dan koneks dalam tiga hal. Yaitu habl min Allah (hubungan dengan Allah), habl min al-nas (hubungan dengan sesama manusia), dan habl minal alam.




Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam memandang manusia mempunyai posisi sentral (central position) karena manusia dipandang sebagai subjek juga objek. Sebagai subjek manusia menentukan corak dan arah pendidikan, sedangkan sebagai objek, manusia menjadi fokus perhatian segala aktivitas pendidikan.

Dalam al-Qur’an ada tiga istilah kunci yang digunakan untuk menyebut manusia, yaitu basyar, insan, dan bani adam/ zuriyat adam. Kata basyar, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis-fisiologis. Kata insan, digunakan untuk menunjuk manusia sebagai totalitasnya; insan sebagai pemikul amanah/khalifah, dihubungkan dengan predisposisi ncgatif manusia; serta insan yang dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Seluruh kategori merujuk kepada sifat- sifat psikologis atau spritual atau menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan insani. Sementara an-Nas menunjuk kepada pengertian bahwa manusia sebagai makhluk sosial. Bani adam/zuriyat adam digunakan manusia secara universal (umum). Manusia lahir ke dunia dalam keadaan fthrah (membawa potensi dasar) yang meliputi; qalb, ruh, nafs, dan akal, dan masing-masing potensi tersebut harus dikembangkan melalui pendidikan dengan seimbang dalam rangka mewujudkan insan kamil.

Adapun tujuan pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur ’ an tidak hanya transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga merupakan proses transfer nilai. Tujuan tersebut terkait dengan membangun habl min Allah, habl min al-nas, dan habl min al- ‘a lam. Jadi tujuan pendidikan dalam perspektif al- Qur’an itu terfokus dalam tiga hal. Pertama, untuk mencetak manusia paripurna dalam sendi-sendi kehidupannya. Kedua, untuk menciptakan manusia yang komprehensif dari dimensi agama, budaya, dan ilmu pengetahuan Ketiga, untuk menciptakan manusiayang sadar akan fungsinya sebagai hamba Allah dan pewaris Nabi. Beberapa tujuan tersebut, hakikatnya untuk membentuk figur muslim yang rahamatan li al- ‘alamin.

DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahman. 1969. ‘Aisyah, Maqal fiaf-Insan, Dirasah Quraniyyah. Mesir: Dar al-Ma’arif.
Al-’Ainain, Ali Khalil Abu. 1980. Faisafah at-Tarbiyah ai-Isiamiyyah fi al-Quran ai-Karim. Mesir: Dar al-Fikri al- ’Araby.
Ancok, Djamaluddin dan Fuat Nashori Suroso. 1994. Psikoiogi Isiam: Soiusi Isiam atas Probiem-probiem Psikoiogi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asy-Syaibany, Omar Muhammad at-Toumy. 1979. Faisafah Pendidikan Isiam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’ary, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qufan. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Barnadib, Imam. 1994. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Boullata, Issa J. 1992. Tafsir al-Qufan Modem: Studi atas Metode Bintusy-Syathi. Terj. Ihsan Ali-Fauzi. Bandung: Yayasan Muthahari.
Daradjat, Zakiah. 1992. llmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Izutsu, Toshihiku. Relasi Tuhan dan Manusia. Terj. Agus Fahri Hussein, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.
Munawar, Budhy - Rahman (Ed.) 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Muthahhari, Murtadha. 1986. Memahami al-Qufan. Terj. Agus Fahri Husein. Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradgma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS.
Nasution, Harun. 1987. MuhammadAbduh dan TeologiRasionalMu’tazilah. Jakarta: UI-Press.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan daIam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Quthb, Muhammad. 1993. Manhaj at-tarbiyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar asy-Syuruq.
 



[1]Lalu Muhammad Nurul Wathoni, mahasiswa program Doktor Universitas Islama Negeri Sulan Syarif Kasim Riau, NIM; 31694104589, Program studi Pendidikan Agama Islam.

[2] Lihat, Q.S al-Baqarah: 30

[3] Omar Muhammad at-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, alih bahasa Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 101. Menurut Mastuhu; ada dua kelebihan yang dimiliki oleh manusia, yaitu manusia mempunyai daya akal dan daya kehidupan dalam arti membentuk peradaban, sedangkan pada binatang kedua daya itu tidak diberikan sehingga manusia mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri dan menetapkan nilai-nilai luhur yang ingin dicapai lengkap dengan strategi untuk mencapai cita-cita kehidupannya. Kemampuan-kemampuan itu tidak dimiliki oleh binatang, apalagi tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta, INIS, l994), hal. 1.

[4] Muhammad at-Toumy Asy-Syaibany, Ibid, hal. 101

[5] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1994), hal. 1.

[6] Syed Sajjad Husain and Syed Ali Asyrof, Crisis in Muslim Education (Jeddah: Hodder and Strughton King Abdul Aziz University, 1979), haI. 36

[7] Chabib Thoha, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, l996), hal. 129.

[8] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 30.

[9] Ibid, hal. 10

[10] Musa Asy’ary, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qufan (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal. 22. Lihat juga karya Aisyah Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Bintusy-Syathi’ dalam, Maqal f al- Islam; Dirasah Quraniyah, 1966, aih bahasa, M. Adib al-Arief dengan judul, Manusia SensiMas Hermeneutka al-Qur an (Yogyakarta: LKPSM, 1997).

[11] Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Quran, manusia itu cenderung zalim dan kafir (14: 34; 22 : 66; 43 : 15), tergesa-gesa (17 : 11; 21 :37), bakhil (17 : 100), bodoh (33 : 72), banyak membantah atau mendebat (18 : 54; 16 : 4; 36 : 77), resah, gelisah, dan segan membantu (70 : 19, 20, 21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (84 : 6, 90 : 4), tidak berterima kasih (100: 6), berbuat dosa (96: 6; 75: 5), dan meragukan hari akhirat (19: 66).

[12] Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut al-Qur’an (240 kali, lihat ‘Abd al-Baqi, al-Mu]am pada kata al-Nas).

[13] Lihat, Q.S. [3] : 47. Menurut Qardhawi (1973; 76), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh.

[14] Menurut Ali Syari’ati, manusia dalam hal ini, tidak tampak esensi kemanusiaannya karena aktivitasnya hampir sama dengan binatang, selengkapnya, lihat Ali Syari’ati, Tugas cendekiawan Muslim, Alih bahasa Salahuddin (Yogyakarta: Salahuddin Press, TT), hal 52

[15] Sayyid Sabiq, Islamuna (Beirut: Darul Kitab, TT), hal. 237

[16] Omar Muhammad al-Toumy as-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Teij. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 134

[17] Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Azyumardi Azra dalam Esai-esai Inteiektuai Muslim dan Pendidikan Islam, hal. 3 dan Pendidikan Islam: Tradsi dan Modemisasi Menuju Miienium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 3

[18] Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Naiar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal. l0

[19] Yang dimaksud dengan potensi dasar manusia adalah benih-benih yang dimiliki oleh manusia sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan ibunya. Lihat, Mas’ud Khasan Abdul Qahar et. al, Kamus Istiiah Pengetahuan Popuier (Gresik: Bintang Pelajar, TT), hal. 197

[20] Kata Hlhrah berarti bersih, suci, dan asli, bukan berart kosong, tetapi membawa daya-daya yang proses perkembangannya tergantung pada usaha-usaha manusia. Berbeda dengan teori tabularasa yang diprakarsai oleh John Locke yang mengatakan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan putih bersih bagaikan kertas kosong, dan selanjutnya terserah orangtua, sekolah, dan masyarakat, ke arah mana kepribadian anak akan dibentuk dan dikembangkan. Lihat Imam Barnadib, Fiisafat Penddkan (Yogyakarta: Andi Ofeet, l996), hal. 87

[21] Jalaluddin, “Sisi Pendidikan Islam, Konsep Peningkatan Sumber Daya Insani”, dalam Makaiah, 6 Mei, 1993, hal. 5

[22] Kata “Qalbun” berasal dari kata “Qalaba”, yang berarti membalik, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa hati kita sering berbolak balik dan tidak konsisten. Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menggunakan kata “qalb”, di antaranya Q.S. Qaf : 37, Q.S. al-Hadid : 27, Q.S. Ali Imran : 27. Lihat M. Qurashihab, Wawasan ai-Qur'an (tafsir MaudiuI atas peibagai Persoaian Umat (Bandung, Mizan, l996), hal. 277

[23] Kata “ruh” dalam ai-Qur’an disebutkan sebanyak 24 kali dan mengandung beberapa arti di antaranya; pembawa wahyu/malaikat Jibril (Q.S. al-Syu’ara : 192-195), rahasia T uhan yang bisa menjadikan manusia sesuatu yang hidup (Q.S. al-Hijr : 29), rahasia Tuhan yang diberikan kepada wanita pilihan/Maryam (Q.S. al-Tahrim : 12). Aisyah Bintussyati, Ibid., hal. 178-179.

[24] Dalam al-Qur’an kata “nafsun” juga mengandung beberapa makna di antaranya; sebagai totalitas manusia (Q.S. al-Mlaidah : 32), sebagai wadah yang terdapat dalam diri manusia yang menampung gagasan dan kemauan dan menghasilkan tingkah laku (Q.S. al-Ra’d : 11), potensi baik dan buruk (Q.S. al-Syams : 7). Aisyah Bintussyati, Ibid., hal. 180

[25] Kata “aql” berasal dari kata “aqala” berarti mengikat dan menahan sehingga orang yang ‘aqil pada jaman jahiliyah diartikan sebagi orang yang mampu menahan amarahnya, serta dapat mengambil keputusan yang bijaksana dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Aqai dan Wahyu daiam Isiam (Jakarta: UI Press, l986, hal. 6

[26] Imam al-Ghazali, IhyaUium ai-Din (Semarang: Thaha Putra, TT), hal. 61

[27] Jalaluddin dan Usman Said, Fiisafat Penddkan Isiam (Konsep dan Perkembangan Pemikinannya} (Jakarta: Raja Grafindo Persada, l994), hal. 109

[28] Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 78 yang artinya; dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu, dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu semua bersyukur

[29] Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana P TA/ IAIN, Fiisafat Penddkan Isiami (Jakarta: TP, 1983), hal. 92

[30] Ibid., hal. 93

[31]Ibn ‘Abd Allah Muhammad b. Ahmad al-Ansari al-Qurtubi. Tafsir al- Qurtubi (Kairo: Durus al-Sha’b, t.t.), 55.

35Ibid

[33]Abu Ja’far Muhammad b. Jarir al-Tabari, Jami ’al-Bayan f Tafsir al-Qur ’an, Juz 21 (Dar Hijr: Dar al-Nashr: tth), 412.

[34]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Cet. 3 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), 91.

[35]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 67.

[36]Al-Tabari, Jami ’al-Bayan, Juz. 23, 528.

[37]Al-Abrashi, Ruh al-Tarbiyah, 72.

[38]Al-Imam Malik b. Anas, al-Muwatta’, Juz. 2, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 242.

[39]Muhaimin, et. al. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 16.

[40]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, Cet. 1. (Jakarta: Kencana, 2004), 103.

[41]QS. al-Maidah: 4 dan Ali Imran: 10.

[42]Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 25.

[43]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 94.

[44]‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah, Educational Theory: Qur’anic Outlock. (Makkah: Umm al-Qura University, 1982), 119-120.

[45]QS. Ali ‘Imran: 191

[46]QS. al-Baqarah: 30.

[47]QS. al-Dhariyat: 56.

[48]QS. al-Qasas: 77.

[49]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 469

[50]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399.

[51]Abu al-Husayn Muslim b. al-Hajjaj al-Qushayri al-Nisaburi, Sahih al- Muslim, Juz. 16. (Beirut: Dar al-Kutub al-Tlmiyah, 1992), 184.

[52]QS. Ali Imran: 19.

[53]Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekronstruksi dan Demokratisasi. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 86.

[54] Dawam Raharjo (penyunting), Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam (Jakarta: Temprint, 1989), 26.

[55]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam PerspektifIslam, Cet. 6 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 41-46.

[56]Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman. (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), 43-44.

[57]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 419-420.


[58]Mahmud Sayyid Sultan, Buhuth fial-Tarbiyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, '1979), 53

0 komentar:

Posting Komentar