Tujuan Pendidikan Islam dalam Mengembangkan Potensi
Manusia
(Telaah Al-Qur'an Tafsir Tematik)
(Telaah Al-Qur'an Tafsir Tematik)
Oleh: Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.[1]
Dosen UMRI, Dosen LB STIT
Hidayatullah
Abstrak
Manusia adalah subjek serta objek pendidikan. Sebagai subjek manusia
menentukan jenis, tujuan dan arah pendidikan ini, dan
sebagai subjek ia menjadi fokus kegiatan pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu,
setiap rumusan pendidikan harus mengacu pada manusia pada setiap dimensi, yang refleksi pemikiran dinamis atau realitas empiris yang disesuaikan dengan
konsep al-Qur’an. Tanpa orientasi
manusia, tanpa formulasi
perubahan (tajdiid) dan tanpa berpondasi pada al-Qur’an, maka pendidikan akan gagal. Manusia adalah makhluk
dengan dua unsur, yaitu materi (jasmani) dan immaterial (ruhani),
dan dilengkapi dengan fitrah, nafs, qalb, ruh, dan aql. Dengan instrumen tersebut,
manusia memiliki potensi, positif dan negatif. potensi positif harus dikembangkan secara
optimal dan potensi negatif harus diminimalkan, dan pendidikan adalah sarana
yang tepat untuk membangun dan mengembangkan potensi yang baik.
Berdasarkan kajian terhadap al-Qur’an
maka Makalah ini menemukan tujuan pendidikan Islam bahwa pendidikan
itu tidak hanya transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga merupakan proses
transfer nilai. Tujuan tersebut terkait dengan membangun habl min Allah, habl min al-nas, dan habl min al- ‘a lam. Sementara itu, dari segi perubahan sosial,
tujuan pendidikan adalah merealisasikan kesalihan sosial. Sedangkan dari segi
kebutuhan manusia secara individual tujuan itu adalah menciptakan keseimbangan
pengembangan fisik, psikis, dan inteligensia. Jadi tujuan pendidikan dalam
perspektif al- Qur’an itu terfokus dalam tiga hal. Pertama, untuk mencetak
manusia paripurna dalam sendi-sendi kehidupannya. Kedua, untuk menciptakan
manusia yang komprehensif dari dimensi agama, budaya, dan ilmu pengetahuan
Ketiga, untuk menciptakan manusiayang sadar akan fungsinya sebagai hamba Allah
dan pewaris Nabi. Beberapa tujuan tersebut, hakikatnya untuk membentuk figur
muslim yang rahamatan li al- ‘alamin.
Kata Kunci: Potensi Manusia,
Tujuan Pendidikan dan Pendidikan Islam
A.
Pendahuluan
Dalam pandangan Islam, manusia merupakan ‘entity yang unik. Keunikannya terletak pada
wujudnya yang multi-dimensi, bahkan awal penciptaannya didialogkan
langsung oleh Allah SWT degan para malaikat[2] sehingga jadilah manusia makhluk Allah
yang paling mulia dan sempurna di muka bumi ini.
Karena kesempurnaan dan kemuliaannya, Allah
keistimewaan-keistimewaan yang menyebabkan manusia berhak mengungguli makhluk
lainnya. Di antara keistimewaan- keistimewaannya adalah diangkatnya manusia
sebagai khalifah di bumi. Manusia merupakan makhluk berpikir yang menggunakan
bahasa sebagai medianya; manusia merupakan makhluk tiga dimensi seperti
segitiga sama kaki, yang kaki-kakinya terdiri dari tubuh, akal, dan ruh;
manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan, manusia juga mempunyai keluwesan
sifat yang selalu berubah melalui interaksi pendidikan.[3]
Mencermati uraian di atas, wacana untuk
menjadikan pendidikan yang lebih manusiawi semakin marak dengan memperhatikan
sifat, kebutuhan, dan potensi dasar manusia, maka pemahaman tentang hal ihwal
manusia menjadi sangat penting.
Oleh karena itu, setiap rumusan pendidikan
berawal dari konsep dasar manusia dalam berbagai dimensinya, yang merupakan
refleksi dari pemikiran-pemikiran dinamis atau kenyataan-kenyataan empirik.
Antara konsep dasar pendidikan dan konsep dasar manusia terdapat hubungan yang
erat. Tanpa berorientasi pada manusia sebagai acuan dasarnya, rumusan-rumusan
teoretis pendidikan akan mengalami stagnasi dan tidak berdaya dalam
mengantisipasi perubahan. Praktik-praktik kependidikan tidak pelak lagi akan
mengalami kegagalan, kecuali bila dibangun di atas konsep yang jelas mengenai
sifat dasar manusia.
Begitu urgennya pemahaman tentang manusia
dalam pendidikan sehingga at-Toumy dalam bukunya Falsafah Pendidikan Islam mengungkapkan bahwa penentuan sikap dan
tanggapan tentang insan merupakan hal yang amat penting. Sebab insan merupakan
unsur terpenting dalam tiap usaha mendidik. Tanpa tanggapan dan sikap yang
jelas tentang insan, pendidikan akan meraba- raba.[4]
Manusia dalam dunia pendidikan, menempati
posisi sentral (central position), karena manusia di samping dipandang
sebagai subjek sekaligus juga objek pendidikan.[5] Sebagai subjek manusia menentukan corak
dan arah pendidikan, sedangkan sebagai objek, manusia menjadi fokus perhatian
segala aktivitas pendidikan.[6]
Berdasarkan beberapa uraian di atas, makalah
sederhana ini akan mencoba mengeksplorasi tentang hakikat manusia dalam
pendidikan Islam yang pembahasannya meliputi; pandangan al- Qur’an tentang
manusia, pengertian pendidikan Islam, serta hakikat manusia dalam pendidikan.
Untuk dapat memahami tentang hakikat
manusia dalam al-Qur’an, kita dapat menelusuri terlebih dahulu beberapa istilah
yang digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk manusia.
Ada tiga istilah kunci yang digunakan
al-Qur’an untuk menunjuk manusia, yaitu al-insan al- basyar, dan an-nas.[7] Kata insan berasal dari kata al-ins atau annisa, yang dalam bentuk jamaknya adalah anasiy, nas, unasi insiyyu, yang berarti jinak atau lunak. Akan
tetapi, dalam al-Qur’an kata- kata tersebut selalu disebut bersamaan dengan
kata al-jin kata
yang merupakan lawan— yang berarti buas.[8]
Kata unasi disebut lima kali dalam al-Qur’an (2: 60;
7: 82; 70:160; 17: 71; 27: 56) dan menunjukkan kelompok atau golongan manusia.
Dalam Q.S. 2: 60, misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan
dalam Bani Israil. Surat 17: 21 dengan jelas menunjukkan makna ini pada hari
kami memangil setiap unas dengan imam mereka.
Kata anasiy hanya disebut satu kali (25: 49). Anasiy adalah bentuk jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy,8 yang merupakan bentuk lain dari insan.
Kata ins disebut 18 kali dalam al-Qur’an dan selalu
dihubungkan dengan jin sebagai pasangan makhluk manusia yang mukallaf (6: 112,
128, 130, 7 : 38, 179; 17 : 88, 27: 17; 41:25, 29; 46 :18; 51:56; 55:33, 39,
56, 74; 72 : 5, 6).
Kata insan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 65
kali dalam 63 ayat, kata an-nas 241 kali dalam 225 ayat, kata unasi 5 kali dalam 5 ayat, kata anasi dan unsiya masing-masing 1 kali dalam 1 ayat, basyar 36 kali dalam 36 ayat, dan bani Adam 7 kali.[9] Kata insan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai
khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif
diri manusia.[10] Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan
manusia.[11]
Dari beberapa pengertian di atas dapat
dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang lunak/jinak, tempat dia memiliki
kemampuan untuk adaptif dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Sementara itu, kata basyar berasal dari kata basyarah yang berarti permukaan kulit, wajah, dan
tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. al-Bazrah mengartikannya sebagai kulit luar, al-
Lais mengartikannya sebagai permukaan kulit pada tubuh manusia. Oleh karena
itu, kata mubasyarah diartikan juga sebagai mulamasah sentuhan kulit laki-laki dan perempuan
sehingga sering pula diartikan dengan liwat, jima persetubuhan.
Kata basyar disebut 27 kali dalam seluruh ayat
tersebut. Kata basyar memberikan referensi pada manusia sebagai
makhluk biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, “Tuhanku, bagaimana
mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar (manusia)”.[12] Dalam ayat yang lain Nabi Muhammad SAW,
disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis ia seperti manusia yang lain.
“Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar) sepertimu, hanya saja aku diberi
wahyu, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu”.[13]
Dengan demikian, kata basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat
biologis manusia: makan, minum, seks, dan lain-lain.[14] Dari segi inilah, tidak tepat menafsirkan basyarun mitslukum sebagai manusia, seperti kita dalam hal
berbuat dosa. Kecenderungan para Rasul untuk tidak patuh pada dosa dan
kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tetapi sifat-sifat psikologis (atau
spiritual).
Setelah kita memahami manusia secara
antropologis berdasarkan al-Qur’an, selanjutnya penulis akan mengurai tentang
hakikat pendidikan Islam. Apabila kita berbicara tentang hakikat pendidikan
Islam, maka dapat terlepas dari pembicaraan tentang pmgertian/defnisi
pendidikan Islam secara umum. Hal ini disebabkan dalam pengertian pendidikan
Islam tercermin paradigma pendidikan Islam yang akan dibangun, dijabarkan,
serta di- kembangkan ke arah pendidikan Islam dalam bentuk operasional.
Dengan kata lain, proses/sistem dan model
yang dipraktikkan oleh seorang pendidik banyak bergantung pada bagaimana
memahami makna pendidikan Islam itu sendiri. Akan tetapi, para pakar pendidikan
sampai saat ini belum ada kesepahaman dalam mendefinisikan pengertian
pendidikan. Berikut ini akan penulis kutipkan tentang beberapa defnisi
pendidikan Islam menurut beberapa tokoh.
Sayid Sabiq mendefinisikan pendidikan Islam
sebagai suatu aktivitas yang mempunyai tujuan mempersiapkan anak didik dari
segi jasmani, akal, dan rohaninya sehingga mereka menjadi anggota masyarakat
yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun ummatnya (masyarakatnya).[15]
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany,
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku yang
terjadi pada diri individu maupun masyarakat. [16]
Muhammad S. A. Ibrahimi mengartikan
pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang
dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam sehingga dapat
dengan mudah untuk membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan ajaran Islam.
Sepintas lalu dengan mencermati beberapa
pengertian di atas, pendidikan Islam merupakan proses bukan aktivitas yang
bersifat instant. Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan
upaya untuk menyeimbangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju
dengan berdasarkan nilai-nilai luhur dan kehidupan mulia sehingga terbentuk
pribadi yang sempurna, baik berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.
Beberapa uraian tersebut memberikan suatu
gambaran bahwa keduanya merupakan satu proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan
efisien.[17]Di samping itu, pendidikan Islam juga
mempunyai tujuan membentuk manusia yang pada akhimya di samping mempunyai
kualitas yang tinggi secara individual/personal (kesalehan individual)[18] juga mempunyai kualitas yang tinggi secara
impersonal/sosial (kesalehan sosial).
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling
mulia dan sempurna (melebihi malaikat) apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika manusia tidak dapat
bertanggungjawab sebagai khalifatullah dengan baik dan benar, maka kedudukan
manusia lebih rendah dari binatang.
Oleh karena itu, agar dapat menjalankan
fungsi kekhalifahannya di muka bumi, manusia dikaruniai beberapa kekuatan yang
dapat menimbulkan kreativitas untuk menata alam melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimilikinya. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia
potensi-potensi[19] (fithrah)[20] yang dapat dikembangkan melalui proses
pendidikan.
Ada beberapa pendapat yang membahas tentang
potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, di antaranya adalah sebagai
berikut. Jalaluddin, ada tiga potensi yang dimiliki
oleh manusia, yaitu potensi ruh, jasmani (fisik), dan rohaniah. Pertama, ruh; berisikan potensi manusia untuk
bertauhid, yang merupakan kecenderungan untuk mengabdikan diri kepada Sang
Pencipta. Kedua, jasmani; mencakup konstitusi biokimia yang
secara materi teramu dalam tubuh. Ketiga rohani; berupa konstitusi non-materi yang
terintegrasi dalam jiwa, termasuk ke dalam naluri penginderaan, intuisi, bakat,
kepribadian, intelek, perasaan, akal, dan unsurjiwa yang lainnya.[21]
Imam al-Ghazali, manusia mempunyai empat
kekuatan (potensi), yaitu; pertama, qalb;[22] merupakan suatu unsur yang halus, berasal
dari alam ketuhanan, berfungsi untuk merasa, mengetahui mengenal, diberi beban,
disiksa, dicaci, dan sebagainya yang pada hakikatnya tidak bisa diketahui; kedua, ruh;[23] yaitu sesuatu yang halus yang berfungsi
untuk mengetahui tentang sesuatu dan merasa, ruh juga memiliki kekuatan yang
pada hakikatnya tidak bisa diketahui; ketiga, nafs;[24] yaitu kekutan yang menghimpun sifat-sifat
tercela pada manusia; keempat, aql;[25] yaitu pengetahuan tentang hakikat segala
keadaan, maka akal ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati.[26]
Jalaluddin dan Usman Said, secara garis
besar manusia memiliki empat potensi dasar, yaitu pertama, hidayah al-ghariziyyah (naluri), yaitu
kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, seperti, makan,
minum, seks, dan lain-lain, dalam hal ini antara manusia dengan binatang sama; kedua, hidayah al-hisiyyah (inderawi), yaitu
kesempurnaan manusia sebagai makhluk Allah SWT (ahsan at-taqwim); ketiga, hidayah al-aqliyyah, yaitu bahwa manusia
merupakan makhluk yang dapat dididik dan mendidik (animal educandum); dan keempat, hidayah diniyyah, yaitu bahwa manusia
merupakan makhluk yang mempunyai potensi dasar untuk beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.[27]
Apabila dikaitkan dengan konteks
pengembangannya, potensi ruh diarahkan kepada ibadah mahdhah (khusus) secara rutin dan kontinu. Oleh
karena dengan melalui program ini diharapkan tercipta tingkah laku
lahiriah-batiniah sebagai suatu pola hidup makhluk yang bertuhan. Potensi
jasmaniah diprogramkan lebih dini agar
manusia makan dan minum dari yang manfaat, baik dan benar (halalan thayyiban). Hal ini dianggap penting karena benih (nuthfah) berasal dari makanan dan minuman, yang
pada akhirnya akan menjadi bahan baku pengembangan sumberdaya insani. Potensi
rohaniah, seperti naluri mempertahankan diri dan naluri untuk berkembang biak
harus disalurkan dengan jalan yang diridlai Allah SWT.
Sementara itu, dengan potensi fithrah dan gharizah menuntut manusia untuk senantiasa belajar
dari lingkungannya. Salah satu aspek potensial dari ftrah adalah kemampuan
berpikir manusia, di mana rasio menjadi pusat perkembangannya. Adapun potensi
akal merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk
memilih (baik dan buruk) dan manusia berpotensi untuk menentukan jalan
hidupnya.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa
Allah telah menganugerahkan beberapa potensi kepada manusia yang dapat
dikembangkan dengan seoptimal mungkin dalam rangka melaksanakan tugas
kekhalifahannya di dunia.
Dari potensi-potensi dasar tersebut,
menunjukkan pada kita akan pentingnya pendidikan untuk mengembangkan dan
mengolah sampai di mana titik optimal itu dapat capai. Apalagi kita saksikan
kondisi manusia pada waktu dilahirkan di dunia ini, mereka dalam keadaan yang
sangat lemah,[28] yang secara tidak langsung membutuhkan
pertolongan dari kedua orangtuanya. Tanpa adanya pertolongan dan bimbingan
kedua orangtuanya, maka bayi yang lahir dengan bentuk tubuh yang sempurna itu
akan mengalami pertumbuhan secara tidak sempurna. Sebagaimana dialami oleh Mr.
Singh, ketika menemukan dua orang anak manusia dalam sarang serigala. Kedua
anak tersebut diasuh dan dibesarkan oleh serigala sehingga segala gerak gerik,
kemampuan, dan tingkah lakunya sangat menyerupai serigala. Demikian halnya anak
yang diasuh oleh monyet, maka ia juga akan menyerupai monyet.[29]
Dengan demikian, pendidikan merupakan
faktor yang sangat menentukan kepribadian anak, potensi jasmaniah dan rohaniah
tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tetapi
membutuhkan adanya bimbingan, arahan, dan pendidikan. Oleh karena itu, penulis
sependapat dengan ungkapan yang dilontarkan oleh Emmanuel Kant “manusia bisa
menjadi manusia karena pendidikan”.[30]
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam Islam pendidikan diistilahkan
dengan kata tarbiyah, ta’lim, tazkiyah, tahdhib, dan sebagainya.30 Namun demikian, dari beberapa terma tersebut,
al-Qur’an hanya menggunakan kata tarbiyah, ta ’Em, dan tazkiyah sebagai istilah yang mengacu pada substansi makna pendidikan.
Terma pendidikan yang
dikontekskan dengan kata Islam bukan sekedar transmisi ilmu, pengetahuan, dan
teknologi tetapi sekaligus sebagai proses penanaman nilai karena hakikat
pendidikan dalam al-Qur ’ an adalah menjadikan manusia bertakwa untuk mencapai
kesuksesan (al-falah), baik di dunia maupun di
akhirat. Menurut Langgulung, manusia macam mana atau yang bagaimana yang ingin
diciptakan melalui pendidikan.31
Berbagai pendapat tentang
tujuan pendidikan dengan argumentasinya masing-masing banyak dikemukakan para
pakar pendidikan Islam. Pendapat tersebut berkisar pada kenyataan bahwa tujuan
pendidikan dalam Islam adalah menjadikan manusiayang menyembah atau beribadah
dan berserah diri kepada Allah, mengembangkan potensi, dan menanamkan akhlak
mulia. Jalal menyatakan bahwa secara umum, pendidikan Islam bertujuan pada
usaha mempersiapkan sosok penyembahAllah atau ‘abid, yaitu manusiayang
memiliki sifat-sifat mulia yang diberikan oleh Allah kepada manusia dengan
gelar ‘ibad al-rahman.32 Begitujuga Mursi, ia
berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah peningkatan manusia yang
menyembah dan mengabdi kepada Allah dan takut kepadaNya.33 Firman
Allah QS. al-Dhariyat: 56:
وَمَا
خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku
Menurut al-Qurtubi, liya’budun dimaknai dengan liyuwahhidun dalam arti meng-Esa-kan
Allah.[31]
Al-Qurtubi juga mengutip pernyataan ‘Ali Radiyallahu ‘anh, ayat ini menunjukkan
perintah untuk beribadah kepada Allah bagi umat manusia. Serta mengutip
pernyataan Mujahid bahwa ayat ini menunjukkan agar jin dan khususnya manusia
lebih mengenal Allah.[32]
Selain untuk menj adikan
hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya dan yang lebih mengenal Allah, berdasarkan
ayat tersebut, tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan hamba Allah yang
memiliki karakter saleh secara sosial. Firman Allah QS. al-Furqan: 63:
وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ
يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ
سَلَٰمٗا ٦٣
Artinya:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha penyayang itu (ialah) orang-orangyang berjalan
di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan
Ayat tersebut menunjukkan
bahwa dalam perspektif sosiologis, pendidikan Islam yang terkandung dalam
al-Qur’an adalah untuk menciptakan sosok muslim yang mampu mengekspresikan diri
sebagai orang saleh di masyarakat. Inilah yang kemudian disebut dengan seorang
muslim yang memiliki kesalehan sosial.
Ali Ashraf menyatakan
bahwa tujuan pendidikan Islam terletak pada perwujudan penyerahan diri atau
ketundukan yang mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan
kemanusiaan pada umumnya, sebagaimana dalam QS. Ghafir: 66:
۞قُلۡ إِنِّي نُهِيتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱلَّذِينَ
تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَمَّا جَآءَنِيَ ٱلۡبَيِّنَٰتُ مِن رَّبِّي
وَأُمِرۡتُ أَنۡ أُسۡلِمَ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦٦
Artinya: Katakanlah (ya Muhammad):
"Sesungguhnya aku dilarang menyembah sembahan yang kamu sembah selain
Allah setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Tuhanku; dan aku
diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam
Yang dimaksud dengan
ketundukan dalam ayat tersebut, menurut al- Tabari adalah tunduk untuk mentaati
perintah Allah dan menjauhi laranganNya.36 Itulah yang dimaksud
dengan tunduk yang sesungguhnya.
Sesungguhnya yang menjadi
fokus pendidikan Islam identik dengan tujuan Islam itu sendiri.37
Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibani sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
menggariskan bahwa Islam datang adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak
hingga mencapai tingkat akhlaq al-karimah.38 Yang dimaksud akhlaq al-karimah
menurut al- Tabari sebagaimana mengutip hadith Nabi adalah perilaku luhur yang
ditetapkan dalam al-Qur’an yang diajarkan oleh Allah.39
Adapun menurut ‘Afiyah
al-Abrashi, formulasi tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah
ditetapkan dan telah dilakukan oleh Nabi Muhammad, sesuai dengan di antara
tujuan diutusnya Nabi Muhammad itu sendiri, yaitu untuk menyempurnakan akhlak.40
Untuk tujuan ini, Allah
sendiri yang memberi penilaian terhadap akhlak Nabi sebagaimana dalam
firman-Nya dalam QS. al-Qalam: 4 yang artinya: “Dan Sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dan diperkuat oleh sabda
Nabi Saw. Yang artinya: “ ”Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak mulia. ”41
Dari segi pengembangan
potensi manusia, Muhaimin berpandangan bahwa tujuan pendidikan yang terkandung
dalam al-Qur’an adalah untuk mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin
untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan
kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia dan
pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah Swt.42 Pendidikan
dalam al-Qur’an adalah untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, [33]
[34]
[35]
[36]
[37]
[38]
[39]
mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun
rohaniah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah,
dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.[40]
Adapun dalam pandangan
Langgulung, Islam datang untuk memperbaiki keadaan manusia dan
menyempurnakannya. Tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan manusia karena
Islam mencerminkan agama yang sempurna.[41]
Berdasarkan prinsip ini, maka secara umum pendidikan dalam pandangan Islam yang
termaaktub dalam al-Quran bertujuan pembentukan insan salih (manusia yang baik) dan
beriman kepada-Nya serta pembentukan masyarakat yang saleh yang mengikuti
petunjuk agama Islam dalam segala urusannnya.
Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam yang
digariskan dalam al-Qur ’ an bersifat religius, tetapi agama yang dimaksudkan
oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga secara inheren
bersifat sosial dan kultural.[42]
Di samping itu, pendidikan
dalam al-Qur’an memiliki tiga segi tujuan, yaitu tercapainya tujuan habl min Allah (hubungan dengan Allah),
tercapai tujuan habl min al-nas (hubungan dengan
manusia), dan tercapai tujuan habl min al-‘alam (hubungan dengan alam).
Hal ini sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Ali Imran: 112 dan QS.
al-A’raf: 56 berikut ini:
ضُرِبَتۡ
عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيۡنَ مَا ثُقِفُوٓاْ إِلَّا بِحَبۡلٖ مِّنَ ٱللَّهِ
وَحَبۡلٖ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَسۡكَنَةُۚ
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلۡأَنۢبِيَآءَ
بِغَيۡرِ حَقّٖۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ١١٢
Artinya: Mereka diliputi kehinaan di
mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama)
Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat
kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena
mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang
benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas
وَلَا
تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ
إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٥٦
Artinya: Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik
Secara garis besar, tujuan
pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama, yaitu dimensi hakikat
penciptaan manusia, dimensi tauhid, dimensi moral, dimensi perbedaan individu,
dimensi sosial, dimensi profesional, dan dimensi ruang dan waktu.[43]
Dimensi-dimensi tersebut sejalan dengan tataran pendidikan dalam al-Quran yang
prosesnya terentang dalam lintasan ruang dan waktu yang cukup panjang. Dengan
demikian, orientasi dan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan dalam Islam
harus merangkum semua tujuan yang terkait dalam rentang ruang dan waktu
tersebut.[44]
Berdasarkan paparan
tersebut di atas, beberapa aspek mendasar yang penting untuk diperhatikan
adalah:
1.
Tujuan dan tugas hidup manusia
Manusia tercipta di dunia
bukan tanpa tugas dan tanpa tujuan. Allah menciptakan manusia disertai dengan
tujuan dan tugas hidup tertentu.[45]
Diciptakannya manusia di dunia ini tugasnya hanya untuk mengabdi dan
berbakti kepada Allah Swt. sebagaimana dinyatakan dalam QS. Qaf: 162 yang
artinya: “Sesungguhnya, salatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.”
2.
Sifat-Sifat Dasar Manusia
Manusia diciptakan sebagai
khalifah Allah di bumi,[46]
dan untuk beribadah kepada-Nya.[47]
Dia juga diciptakan dengan dibekali kecenderungan membutuhkan bimbingan untuk
mengarahkan perilakunya yang berupa agama Islam sebagaimana QS. al-Baqarah: 30
yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada Para Malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.”
3.
Tuntutan
masyarakat
Yang dimaksud tuntutan masyarakat di sini
dapat berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga pada
masyarakat dan memenuhi
tuntutan
kehidupan modern sebagaimana QS. al-Anbiya’: 107 yang artinya: “Dan
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bag semesta alam
4.
Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Dimensi kehidupan ideal
Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di
dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di
akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk
meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut
untuk tidak terbelenggu dengan kesenangan dan kemewahan dunia semata. Dimensi
yang ideal tersebut adalah dimensi yang dapat memadukan antara kepentingan
hidup dunia dan kepentingan hidup akhirat.[48]
Keseimbangan ini merupakan benteng bagi manusia dari pengaruh-pengaruh negatif
dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenteraman dan ketenangan hidup
manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun
ideologis dalam kehidupan manusia.[49]
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Qasas: 77.
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ
ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ
وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
Artinya: Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan
Pada hakikatnya pendidikan
dalam Islam memiliki tujuan untuk mewujudkan perubahan menuju pada kebaikan,
baik pada tingkah laku individu maupun pada kehidupan masyarakat di lingkungan
sekitarnya. Proses pendidikan terkait dengan kebutuhan dan tabiat manusia. S
ementara tabiat manusia tidak lepas dari tiga unsur yaitujasad, ruh, dan akal.
Karena itu tujuan pendidikan dalam Islam secara umum dibangun berdasarkan tiga
komponen tersebut, yang masing-masing harus dijaga keseimbangannya (tawazun).
Di samping ketiga komponen
tersebut perlu diperhatikan pula bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk
individu juga makhluk sosial. Oleh karena itu, maka tujuan pendidikan Islam
diorientasikan pada empat klasifikasi tujuan berikut ini:[50]
1.
Tujuan pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah)
Tujuan ini digunakan untuk
mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi melalui
pelatihan keterampilan- keterampilan fisik atau memiliki kekuatan dari segi
fisik (al-Qawi). Faktor fisik memang
tujuan utama dan segala-galanya, namun ia sangat berpengaruh dan memegang peran
penting, tetapi Allah mencintai orang mukmin yang memliki fisik yang kuat
daripada yang lemah.[51]
2.
Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf al-ruhaniyah)
Tujuan ini bermaksud untuk
meningkatkan jiwa kesetiaan kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas
Islami yang diteladani oleh Rasulullah dengan berdasarkan pada cita-cita ideal
dalam al-Qur’an.[52]
Peningkatan kualitas jiwa yang hanya setia kepada Allah serta melaksanakan
moral Islam yang dicontohkan Nabi merupakan bagian pokok tujuan umum
pendidikan. Ini pada dunia pendidikan modern menjadi tujuan pendidikan agama.
3.
Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-‘aqliyah)
Tujuan pendidikan ini
merupakan pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya
dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga dapat menumbuhkan iman
kepada sang Pencipta. Tujuan ini terikat dengan perkembangan intelegensia yang
mengarahkan manusia sebagai individu untuk menemukan kebenaran yang
sesungguhnya yang mampu memberi pencerahan dirinya.
Intelelensia atau bisa
dimaknai lebih luas dengan kemampuan daya pikir dan daya nalar sangat memiliki
kontribusi dalam pengembangan tujuan pendidikan yang lain, yang meliputi tujuan
yang bersifat individual, sosial, dan profesional. Muhammad al-Toumy
al-Syaibany sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyebutkan tujuan pendidikan
Islam sebagai berikut: (a) Tujuan individual yang berkaitan dengan pelaj aran
dan perubahan tingkah laku, aktivitas, pertumbuhan serta persiapan untuk
menjalani kehidupan; (b) Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan, perubahan, dan
pertumbuhan untuk memperkaya pengalaman dabn kemajuan; (c) Tujuan profesional
yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi,
dan sebagai aktifitas masyarakat.[53]
4. Tujuan pendidikan sosial
(al-ahdaf ahijtima’iyah)
Tujuan pendidikan secara
sosiologis adalah untuk membentuk kepribadian yang utuh yang meliputi substansi
fisik dan psikis manusia. Kepribadian yang utuh di sini tercermin sebagai
manusia yang hidup pada masyarakat yang heterogen.
Dengan memperhatikan
klasifikasi dan formulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam
Islam pada hakikatnya terfokuskan pada tiga hal. Pertama, terbentuknya insan kamil (manusia sempurna) yang
mempunyai dimensi qur ’ani dalam hidupnya. Menurut
Iqbal sebagaimana yang dikutip oleh Dawam, kriteria insan kamil adalah manusia yang
beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan
kebijaksanaan dan mempunyai sifat-sifat yang tercermin dalam pribadi Nabi
berupa akhlak mulia.[54]
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, manusia sempurna itu
memiliki indikator jasmani yang sehat, kuat, dan berketerampilan, cerdas serta
pandai, dan rohani yang berkualitas tinggi.[55]
Kedua, terciptanya insan kaffah yang memiliki
dimensi-dimensi religius, budaya, dan ilmiah. Dimensi religius, yaitu manusia
merupakan makhluk yang mengandung berbagai misteri dan tidak dapat direduksikan
pada faktor-faktor tertentu semata. Dengan demikian, manusia dapat dicegah
untuk dijadikan angka, ataupun robot yang diprogram, tetapi tetap
mempertahankan kepribadian, kebebasan akan martabatnya. Dimensi budaya, manusia
merupakan makhluk etis yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap
kelestarian dunia seisinya. Dalam dimensi ini manusia mendapatkan dasar
pendidikan untuk mempertahankan keutuhan kepribadiannya dan mampu mencegah arus
zaman yang membawa kepada desintegrasi dan fragmentasi yang selalu mengancam
kehidupan manusia. Dimensi ilmiah, yaitu dimensi yang mendorong manusia untuk
selalu bersikap obyektif dan realistis dalam menghadapi tantangan zaman, serta
berbagai kehidupan manusia untuk bertingkah laku secara kritis dan rasional,
serta berusaha mengembangkan keterampilan dan kreatifitas berpikir.[56]
Ketiga, penyadaran fungsi manusia
sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai warathah al-anbiya ’ dan memberikan bekal yang
memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.
Fadhil al-Djamaly,
sebagaimana yang dikutip oleh al-Syaibany, menjelaskan bahwa pendidikan yang
berbasis al-Qur’an memiliki empat tujuan utama. Pertama, memperkenalkan kepada
manusia akan posisinya di antara makhluk Allah, memperkenalkan tanggung jawab
individual kehidupannya. Kedua, memperkenalkan kepada
manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam rangka untuk dapat
harmonis dalam suatu sistem sosial. Ketiga, memperkenalkan kepada
manusia akan Pencipta alam ini. Keempat, memperkenalkan kepada
manusia akan makhluk (alam), dan mengajaknya untuk memahami hikmah
penciptaannya, serta memungkinkan manusia untuk memanfaatkannya.[57]
Pendidikan dalam
persepektif al-Qur’an adalah pendidikan yang menfokuskan diri pada pembinaan
manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan
konsep yang ditetapkan Allah. Jika hal ini bisa terwujud maka umat Islam akan
mampu mengaplikasikan ajaran Islam secara komprehensif.[58]
Jadi, tujuan pendidikan
Islam yang bersumber pada al-Qur’an itu untuk membentuk pribadi muslim
seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah
maupun rohaniah, menumbuhsuburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan
Allah, manusia, dan alam semesta. Karenanya, Dari segi pencapaian tujuannya,
maka pendidikan dalam pandangan al-Qur’an itu bertujuan pada terbentuknya umat
Islam yang mampu dalam menjalin komunikasi, interaksi, dan koneks dalam tiga
hal. Yaitu habl min Allah (hubungan dengan Allah), habl min al-nas (hubungan dengan sesama
manusia), dan habl minal alam.
F. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam memandang manusia mempunyai
posisi sentral (central position) karena manusia dipandang
sebagai subjek juga objek. Sebagai subjek manusia menentukan corak dan arah
pendidikan, sedangkan sebagai objek, manusia menjadi fokus perhatian segala
aktivitas pendidikan.
Dalam al-Qur’an ada tiga
istilah kunci yang digunakan untuk menyebut manusia, yaitu basyar, insan, dan bani adam/ zuriyat adam. Kata basyar, memberikan referensi
pada manusia sebagai makhluk biologis-fisiologis. Kata insan, digunakan untuk menunjuk
manusia sebagai totalitasnya; insan sebagai pemikul amanah/khalifah,
dihubungkan dengan predisposisi ncgatif manusia; serta insan yang dihubungkan dengan
proses penciptaan manusia. Seluruh kategori merujuk kepada sifat- sifat
psikologis atau spritual atau menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan insani. Sementara an-Nas menunjuk kepada
pengertian bahwa manusia sebagai makhluk sosial. Bani adam/zuriyat adam digunakan manusia secara
universal (umum). Manusia lahir ke dunia
dalam keadaan fthrah (membawa potensi dasar)
yang meliputi; qalb, ruh, nafs, dan akal, dan masing-masing potensi
tersebut harus dikembangkan melalui pendidikan dengan seimbang dalam rangka
mewujudkan insan kamil.
Adapun tujuan pendidikan
Islam yang terdapat dalam al-Qur ’ an tidak hanya transfer ilmu pengetahuan,
akan tetapi juga merupakan proses transfer nilai. Tujuan tersebut terkait
dengan membangun habl min Allah, habl min
al-nas, dan habl min al- ‘a lam. Jadi tujuan pendidikan
dalam perspektif al- Qur’an itu terfokus dalam tiga hal. Pertama, untuk
mencetak manusia paripurna dalam sendi-sendi kehidupannya. Kedua, untuk
menciptakan manusia yang komprehensif dari dimensi agama, budaya, dan ilmu
pengetahuan Ketiga, untuk menciptakan manusiayang sadar akan fungsinya sebagai
hamba Allah dan pewaris Nabi. Beberapa tujuan tersebut, hakikatnya untuk
membentuk figur muslim yang rahamatan li al- ‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1969. ‘Aisyah, Maqal fiaf-Insan, Dirasah Qur’aniyyah.
Mesir: Dar al-Ma’arif.
Al-’Ainain, Ali Khalil Abu.
1980. Faisafah at-Tarbiyah ai-Isiamiyyah fi al-Qur’an ai-Karim. Mesir: Dar al-Fikri al- ’Araby.
Ancok, Djamaluddin dan Fuat Nashori Suroso. 1994. Psikoiogi Isiam: Soiusi Isiam atas Probiem-probiem Psikoiogi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asy-Syaibany, Omar Muhammad at-Toumy. 1979. Faisafah Pendidikan Isiam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’ary, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qufan. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Barnadib, Imam. 1994. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Boullata, Issa J. 1992. Tafsir al-Qufan Modem:
Studi atas Metode Bintusy-Syathi’. Terj. Ihsan Ali-Fauzi. Bandung: Yayasan Muthahari.
Daradjat, Zakiah.
1992. llmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Izutsu, Toshihiku. Relasi Tuhan dan Manusia.
Terj. Agus Fahri Hussein, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta.
Munawar, Budhy - Rahman (Ed.) 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Muthahhari, Murtadha.
1986.
Memahami al-Qufan.
Terj. Agus Fahri Husein.
Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradgma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah.
Yogyakarta: SIPRESS.
Nasution, Harun. 1987. MuhammadAbduh dan TeologiRasionalMu’tazilah. Jakarta: UI-Press.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan daIam Islam.
Surabaya: Al-Ikhlas.
Quthb, Muhammad. 1993. Manhaj at-tarbiyah
al-Islamiyyah. Kairo: Dar asy-Syuruq.
[1]Lalu Muhammad Nurul Wathoni, mahasiswa program Doktor Universitas
Islama Negeri Sulan Syarif Kasim Riau, NIM; 31694104589, Program studi
Pendidikan Agama Islam.
[2] Lihat, Q.S al-Baqarah: 30
[3] Omar Muhammad at-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, alih bahasa Hasan Langgulung (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hal. 101. Menurut Mastuhu; ada dua kelebihan yang
dimiliki oleh manusia, yaitu manusia mempunyai daya akal dan daya kehidupan
dalam arti membentuk peradaban, sedangkan pada binatang kedua daya itu tidak
diberikan sehingga manusia mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri dan
menetapkan nilai-nilai luhur yang ingin dicapai lengkap dengan strategi untuk
mencapai cita-cita kehidupannya. Kemampuan-kemampuan itu tidak dimiliki oleh
binatang, apalagi tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta, INIS, l994), hal. 1.
[4] Muhammad at-Toumy Asy-Syaibany, Ibid, hal. 101
[5] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Pasca Sarjana IAIN Sunan
Kalijaga, 1994), hal. 1.
[6] Syed Sajjad Husain and Syed Ali Asyrof, Crisis in Muslim Education (Jeddah: Hodder and Strughton King Abdul
Aziz University, 1979), haI. 36
[7] Chabib Thoha, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, l996), hal.
129.
[8] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.
30.
[9] Ibid, hal. 10
[10] Musa Asy’ary, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qufan (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam,
1992), hal. 22. Lihat juga karya Aisyah Abdurrahman
atau yang lebih dikenal dengan Bintusy-Syathi’ dalam, Maqal f al- Islam; Dirasah Qur’aniyah, 1966, aih bahasa, M. Adib al-Arief
dengan judul, Manusia SensiMas Hermeneutka al-Qur ‘an (Yogyakarta: LKPSM, 1997).
[11] Pada kategori kedua, kata insan
dihubungkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Quran,
manusia itu cenderung zalim dan kafir (14: 34; 22 : 66; 43 : 15), tergesa-gesa (17
: 11; 21 :37), bakhil (17 : 100), bodoh (33 : 72), banyak membantah atau
mendebat (18 : 54; 16 : 4; 36 : 77), resah, gelisah, dan segan membantu (70 :
19, 20, 21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (84 : 6, 90 : 4),
tidak berterima kasih (100: 6), berbuat dosa (96: 6; 75: 5), dan meragukan hari
akhirat (19: 66).
[12] Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk
sosial. Inilah manusia yang paling banyak disebut al-Qur’an (240 kali, lihat
‘Abd al-Baqi, al-Mu]am pada kata al-Nas).
[13] Lihat, Q.S. [3] : 47. Menurut Qardhawi
(1973; 76), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur material dan yang
kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam
keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk
memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak
tubuh.
[14] Menurut Ali Syari’ati, manusia dalam hal
ini, tidak tampak esensi kemanusiaannya karena aktivitasnya hampir sama dengan
binatang, selengkapnya, lihat Ali Syari’ati, Tugas cendekiawan Muslim, Alih bahasa Salahuddin (Yogyakarta:
Salahuddin Press, TT), hal 52
[15] Sayyid Sabiq, Islamuna (Beirut: Darul Kitab, TT), hal. 237
[16] Omar Muhammad al-Toumy as-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Teij. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), hal. 134
[17] Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Azyumardi Azra dalam Esai-esai Inteiektuai Muslim dan Pendidikan
Islam, hal. 3 dan Pendidikan Islam: Tradsi dan Modemisasi Menuju Miienium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 3
[18] Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Naiar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal.
l0
[19] Yang dimaksud dengan potensi dasar manusia
adalah benih-benih yang dimiliki oleh manusia sejak lahir, bahkan sejak dalam
kandungan ibunya. Lihat, Mas’ud Khasan Abdul Qahar et. al, Kamus Istiiah Pengetahuan Popuier (Gresik: Bintang Pelajar, TT), hal. 197
[20] Kata “Hlhrah’ berarti bersih, suci, dan asli, bukan
berart kosong, tetapi membawa daya-daya yang proses perkembangannya tergantung
pada usaha-usaha manusia. Berbeda dengan teori tabularasa yang diprakarsai oleh
John Locke yang mengatakan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan putih bersih
bagaikan kertas kosong, dan selanjutnya terserah orangtua, sekolah, dan
masyarakat, ke arah mana kepribadian anak akan dibentuk dan dikembangkan. Lihat
Imam Barnadib, Fiisafat Penddkan (Yogyakarta: Andi Ofeet, l996), hal. 87
[21] Jalaluddin, “Sisi Pendidikan Islam, Konsep
Peningkatan Sumber Daya Insani”, dalam Makaiah, 6 Mei, 1993, hal. 5
[22] Kata “Qalbun” berasal dari kata “Qalaba”,
yang berarti membalik, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa hati kita sering
berbolak balik dan tidak konsisten. Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang
menggunakan kata “qalb”, di antaranya Q.S. Qaf : 37, Q.S. al-Hadid : 27, Q.S.
Ali Imran : 27. Lihat M. Qurashihab, Wawasan ai-Qur'an (tafsir Maudiu’I atas peibagai Persoaian Umat (Bandung, Mizan, l996), hal.
277
[23] Kata “ruh” dalam ai-Qur’an disebutkan
sebanyak 24 kali dan mengandung beberapa arti di antaranya; pembawa
wahyu/malaikat Jibril (Q.S. al-Syu’ara : 192-195), rahasia T uhan yang bisa
menjadikan manusia sesuatu yang hidup (Q.S. al-Hijr : 29), rahasia Tuhan yang
diberikan kepada wanita pilihan/Maryam (Q.S. al-Tahrim : 12). Aisyah
Bintussyati, Ibid., hal. 178-179.
[24] Dalam al-Qur’an kata “nafsun” juga
mengandung beberapa makna di antaranya; sebagai totalitas manusia (Q.S. al-Mlaidah : 32), sebagai wadah yang terdapat
dalam diri manusia yang menampung gagasan dan kemauan dan menghasilkan tingkah
laku (Q.S. al-Ra’d : 11), potensi baik dan buruk (Q.S. al-Syams : 7). Aisyah
Bintussyati, Ibid., hal. 180
[25] Kata “aql” berasal dari kata “aqala”
berarti mengikat dan menahan sehingga orang yang ‘aqil pada jaman jahiliyah
diartikan sebagi orang yang mampu menahan amarahnya, serta dapat mengambil
keputusan yang bijaksana dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Lebih
lanjut lihat, Harun Nasution, Aqai dan Wahyu daiam Isiam (Jakarta: UI Press, l986, hal. 6
[26] Imam al-Ghazali, Ihya’ Uium ai-Din (Semarang: Thaha Putra, TT), hal. 61
[27] Jalaluddin dan Usman Said, Fiisafat Penddkan Isiam (Konsep dan
Perkembangan Pemikinannya} (Jakarta: Raja Grafindo Persada, l994),
hal. 109
[28] Hal ini sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Nahl ayat 78 yang artinya; dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu, dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu semua bersyukur
[29] Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana P
TA/ IAIN, Fiisafat Penddkan Isiami (Jakarta: TP, 1983), hal. 92
[30] Ibid., hal. 93
[31]Ibn ‘Abd Allah Muhammad b. Ahmad al-Ansari
al-Qurtubi. Tafsir al- Qurtubi (Kairo: Durus al-Sha’b, t.t.), 55.
[33]Abu Ja’far Muhammad b. Jarir al-Tabari, Jami ’al-Bayan f Tafsir al-Qur ’an, Juz 21 (Dar Hijr: Dar al-Nashr: tth), 412.
[34]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Cet. 3 (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003), 91.
[35]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 67.
[36]Al-Tabari, Jami ’al-Bayan, Juz. 23, 528.
[37]Al-Abrashi, Ruh al-Tarbiyah, 72.
[38]Al-Imam Malik b. Anas, al-Muwatta’, Juz. 2, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), 242.
[39]Muhaimin, et. al. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004),
16.
[40]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional, Cet. 1. (Jakarta: Kencana, 2004), 103.
[41]QS. al-Maidah: 4 dan Ali Imran: 10.
[42]Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam
dan Sains Sosial. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 25.
[43]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 94.
[44]‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah, Educational Theory: Qur’anic Outlock. (Makkah: Umm al-Qura University, 1982),
119-120.
[45]QS. Ali ‘Imran: 191
[46]QS. al-Baqarah: 30.
[47]QS. al-Dhariyat: 56.
[48]QS. al-Qasas: 77.
[49]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 469
[50]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399.
[51]Abu al-Husayn Muslim b. al-Hajjaj
al-Qushayri al-Nisaburi, Sahih al- Muslim, Juz. 16. (Beirut: Dar al-Kutub
al-Tlmiyah, 1992), 184.
[52]QS. Ali Imran: 19.
[53]Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional:
Rekronstruksi dan Demokratisasi. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002),
86.
[54] Dawam Raharjo (penyunting), Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam (Jakarta: Temprint, 1989), 26.
[55]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam PerspektifIslam, Cet. 6 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), 41-46.
[56]Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan
Zaman. (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), 43-44.
[57]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 419-420.
0 komentar:
Posting Komentar