Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 27 Maret 2017

FITRAH DAN POTENSI MANUSIA: Tujuan Pendidikan Dalam Al Qur’an Dan Pengembangan Pendidikan Islam



FITRAH DAN POTENSI MANUSIA: Tujuan Pendidikan Dalam Al Qur’an 
Dan Pengembangan Pendidikan Islam
Oleh: Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.[1]
Dosen UMRI, Dosen LB STIT Hidayatullah

Abstrak: Salah satu tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia paripurna melalui pembiasaan, penanaman, pemberian hadiah (reward) dan hukuman (punishment). Tujuan pendidikan Islam sebagaimana diatas dapat diwujudkan dengan upaya mengarahkan, membimbing anak didik dan yang lebih penting dari itu menumbuhkembangkan potensi-potensi alamiah yang diterima anak sejak ia dilahirkan. Potensi-potensi itulah yang dikenal dalam pendidikan Islam sebagai fitrah. Fitrah dengan berbagai derivasinya dikembangakan melalui proses pembelajaran dalam pendidikan Islam dengan menekankan keseimbangan antara fitrah lahiriyah dan fitrah bathiniyah.
Kata kunci : Tujuan pendidikan Islam, fitrah, potensi
Pendidikan Islam merupakan suatu upaya untuk mentransfer nilai- nilai dan ajaran Islam dari orang tua/pendidik kepada anak didik agar anak dapat mempunyai pengetahuan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang benar.
Secara etimologi terdapat beberapa istilah yang diperdebatkan sebagai arti pendidikan Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Pertama, ta’lim, terutama sekali digunakan oleh Muhammad Rasyid Ridla. Melalui istilah ini Ridla mendefinisikan pendidikan sebagai ”suatu proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu”.[2] Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan kata ta’lim dari akar kata 'allama seperti firman-Nya : ”Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”.[3]
Dalam perspektif ‘Abd al-Fattah Jalal, ta’lim pada ayat di atas menekankan tingginya kedudukan ilmu (pengetahuan ) dalam Islam. Ia menegaskan bahwa ta’lim lebih luas daripada tarbiyah, karena ketika Rasulullah mengajarkan al-Qur’an kepada kaum muslimin, beliau tidak sebatas pada upaya agar mereka dapat membaca, tapi lebih dari itu, yaitu membaca disertai penghayatan dan perenungan yang berisi pemahaman, tanggung jawab dan amanah. Dengan menggunakan cara membaca sebagaimana disebutkan itulah, Rasululah membawa kaum muslim pada proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), serta membawa jiwa mereka kepada kondisi yang memungkinkannya untuk menerima al-hikmah.3
Kedua, tarbiyah. Kata ini dapat dilacak dari beberapa akar kata; (1) raba-yarbu-tarbiyah yang berarti berkembang.4 Dari akar kata ini, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai upaya menumbuhkembang- kan potensi yang ada pada anak didik, (2) rabiya-yarba-tarbiyah, yang berarti tumbuh (nasya-a) dan menjadi besar atau dewasa. Dari kata ini, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menumbuhkan dan mendewasakan anak didik, dan (3) rabba-yarubbu-tarbiyah yang berarti memperbaiki, merawat, memelihara, memperindah, memberi makan, mengasuh, memiliki, mengatur dan menjaga kelestariannya. Dari kata ini, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu kegiatan dalam merawat, memelihara, mengasuh, mengatur dan mengembang- kan potensi anak didik untuk mencapai kedewasaannya.
Kata tarbiyah dipopulerkan oleh Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi yang menurutnya al-tarbiyah mencakup seluruh aktivits pendidikan, karena dalam kata itu tercakup seluruh upaya mempersiapkan anak didik dalam mencapai kesempurnaan, mencapai kebahagian hidup, cinta tanah air, memperkuat fisik, menyempurnakan akhlaq, memper- tajam intuisi, rajin dalam berkreasi, toleransi terhadap perbedaan dan mempertinggi keterampilan. Sementara itu, ta’lim adalah bagian dari [4]  pada tarbiyah yang mencakup hanya ranah kognitif (pengetahuan dan pemahaman). Dalam pandangannya, tarbiyah mencakup seluruh domain dalam pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.[5]
Kata ketiga adalah ta’dib. Kata ini dipopulerkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang menyatakan bahwa kata ta’dib lebih tepat digunakan terhadap pendidikan. Ia menyatakan bahwa tarbiyah lebih mengarah kepada seluruh makhluk manusia dan hewan sedangkan ta’lim lebih luas cakupannya dari pada tarbiyah. Ta’lim disebutkannya sebagai suatu pengajaran yang tanpa dibarengi dengan pengenalan yang lebih mendasar. Ia menegaskan bahwa konsep tarbiyah dan ta’lim lebih dipengaruhi oleh Barat. Sedangkan ta’dib mencerminkan tujuan esensial pendidikan Islam, yaitu penanaman akhlak sebagai misi utama diutusnya Rasul saw. Ia menegaskan bahwa orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban.[6]
Sementara itu, dalam perspektif istilah, pendidikan Islam-- sebagaimana disebutkan Muhaimin bisa berarti; pendidikan (menu- rut) Islam, pendidikan (agama) Islam, dan pendidikan (dalam) Islam. Pendidikan (menurut) Islam atau pendidikan Islami, yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian ini, dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang berdasarkan sumber- sumber dasar Islam.
Pendidikan pendidikan (agama) Islam atau pendidikan ke-Islaman adalah upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian ini pendidikan Islam dapat berwujud: (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta anak didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai- nilainya, (2) segenap fenomina atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuhkembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
Pendidikan (dalam) Islam adalah proses dan praktik penyelengga- raan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah ummat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dalam realitas sejarahnya mengandung dua kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut benar-benar dengan idealitas Islam dan/atau mungkin mengandung jarak kesenjangan dengan idealitas Islam.[7]
Sementara itu Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai “usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiousity), subyek didik agar lebih mampu memaha- mi, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam”.[8] Ahmadi menekankan kepada proses pengembangan potensi fitrah manusia untuk selalu melaksanakan ajaran-ajaran Islam, yang diawali dengan pemberian pengetahuan, pengertian dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam.
Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Atau dengan kata lain, pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semak- simal mungkin.[9] Dengan definisi tersebut, Ahmad Tafsir menekankan kepada sifat dari aktivitas pendidikan Islam, yaitu berupa bimbingan sebagai suatu upaya yang tidak hanya ditekankan kepada aspek pengajaran (transfer ilmu pengetahuan), tapi berupa arahan, bimbingan, pemberian petunjuk dan pelatihan menuju terbentuk pribadi muslim yang seutuhnya.
Selanjutnya, Abdul Mudjib menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya guna men- capai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.[10]
Sedangkan Omar Muhammad al-Toumiy al-Syaibany mendefinisi- kan pendidikan sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Definisi ini lebih menekankan pada upaya mengubah tingkah laku yang buruk kepada perilaku yang baik dalam hubungan anak didik dengan sesama manusia, alam sekitar dan masyarakatnya dengan melalui proses pembelajaran yang dilakukan secara profesional.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu untuk mengembangkan fitrah keagamaannya, yang secara konseptual dipahami, dianalisis serta dikembangkan dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah melalui proses pembudayaan dan pewarisan dan pengembangan kedua sumber Islam tersebut pada setiap generasi dalam sejarah ummat Islam dalam mencapai kebahagian, kebaikan di dunia dan akhirat.
Dasar pendidikan Islam dapat ditelurusuri dalam Filsafat Pendidi­kan Islam. Dalam menentukan dasar pendidikan Islam dapat ditinjau dari perspektif filosofis dan teologis.
Dalam perspektif teologis, pendidikan Islam harus didasari dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Hadits yang berintikan tauhid. Tauhid dalam posisi ini menempati inti yang bersifat fundamental dan merupakan nilai dasar pendidikan Islam. Tauhid adalah keyakinan seorang muslim yang termanifestasikan dalam hal-hal sebagai berikut: (a) Tauhid Uluhiyah, yaitu suatu keyakinan bahwa Allah adalah satu- satunya zat yang patut disembah serta satu-satunya sumber nilai, ajaran, dan kehidupan.[11] Implikasi dari keyakinan seperti ini adalah bahwa pendidikan Islam harus diniatkan (direncanakan), dilaksanakan dan dievaluasi dalam kerangka menyembah (beribadah) kepada Allah.
Implikasi lainnya adalah bahwa anak didik harus ditumbuhkan inisiatif dan kreativitasnya sehingga dapat menemukan suatu pola pembelajar- an yang ideal bagi dirinya tanpa dihinggapi rasa takut dan khawatir kepada pihak eksternal termasuk kepada gurunya; (b) Tauhid Rububiyah, yaitu suatu keyakinan dalam agama Islam bahwa Allah adalah yang menciptakan, memelihara, merawat alam semesta. Keyakinan ini memberikan implikasi pada pelaksanaan pendidikan bahwa pendidikan diarahkan kepada upaya merawat, memelihara, membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Dalam perspektif anak didik, keyakinan tauhid ini memberikan kesempatan kepada anak didik untuk membaca, mengkaji, meneliti keteraturan alam semesta dengan segala isinya. Dengan telaah, bacaaan dan penelitian ini anak didik dapat memperoleh nilai-nilai positif berupa sikap rasional, obyektif-empirik dan obyektif-matematis.[12]; (c) Tauhid Mulkiyah, adalah keyakinan akan kekuasaan kerajaan Allah SWT. Dengan keyakinan ini seorang muslim meyakini bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu dimuka bumi ini dan juga penguasa Hari Kemudian. Implikasi dari keyakinan ini adalah seorang guru adalah pemimpin dalam pendidikan harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak didiknya. Ini sesuai dengan pernyataan Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan bahwa setiap muslim adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya; (d) Tauhid Rahmaniyah, adalah keyakinan yang bertolak dari pandangan bahwa Allah SWT. adalah Tuhan semesta alam yang mengasihi makhluk-Nya.
Dengan kasih sayang yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, maka kehidupan ini berjalan dengan damai, tenang, sentosa, meskipun terdapat banyak manusia yang durhaka kepada-Nya. Namun dengan sifat Maha Pengasih dan Penyayang-Nya itulah maka manusia ini tetap dalam keteraturan, keseimbangan dan harmoni alam, meskipun masih banyak musibah sebagai peringatan kepada manusia.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari keyakinan demikian adalah bahwa dalam proses pendidikan, seorang guru/pendidik harus dapat mendidik, membimbing anak didiknya dengan kasih sayang. Sebagai- mana dinyatakan oleh al-Ghazali bahwa guru berfungsi sebagi penuntun dan pembimbing bagi anak didik. Dalam menjalankan tugas- nya itu, al-Ghazali menganjurkan agar guru mengajar, membimbing dengan penuh kasih sayang sebagaimana ia mengajar dan mendidik anaknya sendiri. “Didiklah muridmu dan perlakukanlah mereka seperti anakmu sendiri”, pesan al-Ghazali kepada para guru. Bahkan al- Ghazali mengutip Sabda Rasululah; “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya” (HR. Abu Dawud, al- Nasa’i, Ibn Majah, Ibn Hibban dari Abu Hurairah).[13]
Dalam pemikiran pendidikan Islam, fitrah penciptaan manusia merupakan diskursus yang banyak dibahas oleh para ahli, mengingat salah satu aspek pendidikan Islam adalah upaya menumbuhkem- bangkan potensi manusia yang dibawa sejak lahir. Potensi inilah yang dalam konteks pendidikan Islam disebut dengan fitrah.
Ahmad Tafsir menegaskan bahwa fitrah adalah potensi.[14] Potensi adalah kemampuan. Dalam hal ini fitrah dapat disebut sebagai pem- bawaan. Tafsir menghubungkan fitrah dengan hadits yang artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa bahwa fitrah adalah pembawaan yang dibawa manusia sejak lahir. Sedangkan bapak dan ibu dalam hadits tersebut adalah lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan sosial. Kedua faktor itulah yang menentukan perkembangan manusia.
Kata fitrah berasal dari kata fathara, yang berarti menjadikan. Kata ini disebutkan sebanyak 20 kali dalam 19 al-Qur’an. Makna fitrah dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam empat makna yaitu; (1) proses penciptaan langit dan bumi, (2) proses penciptaan manusia, (3) pengaturan alam dengan seluruh isinya yang serasi dan seimbang, dan (4) pemaknaan agama Allah sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugasnya.15
Dalam konteks penciptaan manusia, fitrah banyak dimaknai sebagai sebuah kecenderungan yang dimiliki oleh manusia untuk percaya (iman) kepada adanya Allah. Pendapat ini merujuk kepada ayat al- Qur’an yang artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukanlah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.16
Ayat di atas menggambarkan betapa manusia telah diambil ke- saksiannya oleh Allah terhadap keberadaan-Nya dan manusia mengakui adanya Allah. Kesaksian inilah yang merupakan kecenderungan manusia sejak lahir untuk beriman kepada Allah.17 Namun demikian, pemaknaan fitrah sebagaimana di atas dalam kaitannya dengan pendidikan Islam belum menyentuh seluruh aspek psikologis manusia, karena hanya menyentuh aspek kepercayaan saja dan manusia cenderung--dengan pengakuannya itu fatalis dan passif, yaitu manusia dengan otomatis membawa imannya dan dituntut untuk dapat menyembah dan melaksanakan perintah Tuhannya.
Untuk itu, para ahli mencari pemaknaan lain terhadap fitrah guna mencari cakupannya yang lebih luas dan menyeluruh dalam semua aspek kejiwaan manusia. [15] Hasan Langgulung memaknai fitrah dengan menghubungkannya terhadap penciptaan primordial manusia, yaitu ketika manusia pertama (Adam) diciptakan oleh Allah SWT[16]. Pada saat   babak akhir penciptaannya, Allah meniupkan ruh-Nya kepada Adam dan menyuruh kepada para malaikat untuk hormat kepadanya.[17]
Pada saat peniupan ruh Allah kepada Adam itulah, Adam memiliki sifat-sifat yang dimiliki Allah. [18] Perbedaannya adalah jika Adam memiliki sifat melihat, mendengar, mengetahui, hidup, maka Allah memiliki sifat Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Hidup dan seterusnya. Atau dengan kata lain, Allah memiliki sifat-sifat dengan segala kesempurnaan-Nya dan manusia memiliki sifat-sifat itu dengan segala keterbatasannya. Dengan keterbatasan itulah manusia membutuhkan pertolongan kepada Tuhannya dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Dengan keadaan ini, maka manusia menyadari akan keterbatasannya dan mengakui ke-Maha Kuasa-an dan ke-Maha Sempurna-an Allah.[19]
Sifat-sifat ketuhanan yang ditiupkan kepada manusia itulah yang harus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan perorangan maupun dalam hubungannya dengan masya- rakat, karena kemuliaan seseorang ditentukan oleh sejauh mana seseorang mampu mengembangkan potensi-potensi yang berasal dari sifat-sifat ketuhanan itu.
Selanjutnya, Muhaimin[20] menyebutkan setidaknya ada beberapa macam fitrah manusia, yaitu:
1.      Fitrah beragama; fitrah ini merupakan potensi bawaan yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk tunduk, taat melaksanakan perintah Tuhan sebagai pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta.
2.      Fitrah berakal budi; fitrah ini adalah potensi yang dimiliki manusia untuk selalu berpikir sambil mengingat Allah untuk memahami persoalan kekuasaan dan keagungan Allah yang terlihat dari keserasian, keseimbangan dan kehebatan di alam semesta.
3.      Fitrah bermoral dan berakhlaq; fitrah ini adalah potensi yang dimiliki oleh manusia untuk melaksanakan dengan penuh komitmen nilai-nilai moral dan akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Fitrah kebersihan dan kesucian; fitrah ini memberikan potensi kepada manusia untuk mencintai kebersihan dan kesucian.
5.      Fitrah kebenaran; fitrah ini merupakan kecendrungan manusia untuk selalu mencari kebenaran.
6.      Fitrah kemerdekaaan; fitrah ini memberikan kecenderungan kepada manusia untuk mempunyai kebebasan dan kemerdekaan, tidak terbelenggu dan diberbudak oleh orang lain kecuali berdasarkan kemauan sendiri
7.      Fitrah keadilan; fitrah ini mendorong manusia untuk mencari keadilan di muka bumi ini.
8.      Fitrah persamaan dan persatuan; fitrah ini merupakan potensi manusia untuk mempersamakan hak dan perlakuan dan menentang diskriminasi berdasarkan ras, suku, bahasa, warna kulit serta berusaha menjalin persatuan dan kesatuan antara sesamanya..
9.      Fitrah sosial; fitrah ini mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan manusia sekitarnya, dalam bentuk saling bekerja sama, bergotong royong dan saling membantu.
10.   Fitrah individu; fitrah ini mendorong manusia untuk melakukan tindakan dengan penuh tanggung jawab, menyelesaikan persoalan- nya dangan kemandirian, menjaga harga diri dan kehormatannya dan mempertahankan keselamatan diri dan keluarganya.
11.   Fitrah seksual; fitrah ini memberikan dorongan kepada manusia untuk berhubungan dengan lain jenis, membentuk keluarga dan menghasilkan keturunan. Kepada keturunannya itulah, manusia menurunkan dan mewariskan nilai-nilai yang diyakininya benar.
12.   Fitrah ekonomi; fitrah ini mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas ekonomi.
13.   Fitrah politik; fitrah ini memberikan dorongan kepada manusia untuk memiliki dan menyusun kekuasaan dan melindungi kehidup- an dan kesejahteraan bersama.
14.   Fitrah seni; adalah kecenderungan manusia untuk mencintai seni dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa macam fitrah sebagaimana dijelaskan di atas didasarkan pada sifat dasar manusia dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan sosialnya. Namun demikian Muhaimin belum menjelaskan konsep fitrah berdasarkan perspektif psikologis manusia sejak dilahirkan sampai ia mencapai kesempurnaan hidup. Dalam perspektif psikologis, fitrah manusia sebagai potensi dasar, menurut Ibnu Taimiyah, dibagi dalam tiga macam daya. Ketiga daya tersebut--sebagaimana dikutip oleh Juhaja S.Praja adalah :
1.      Daya intelektual (quwwah al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk membedakan sesu- atu itu baik atau buruk. Dengan daya intelektualnya manusia dapat mengetahui dan mempercayai ke-Esa-an Allah.
2.      Daya ofensif (quwwah al-syahwah) yaitu potesi dasar yang dimiliki manusia untuk mampu menerima obyek-obyek yang menguntung- kan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.      Daya defensif (quwwah al-ghadlb) yaitu potensi dasar manusia untuk mampu menghindarkan diri dari obyek-obyek dan keadaan yang membahayakan dan merugikan dirinya.[21]
Perspektif keberadaan fitrah, maka fitrah dibagi menjadi dua sebagaimana disebutkan oleh Nurcholish Madjid, yaitu: 1) Fitrah al-Gharizah, yaitu fitrah yang diterima manusia sejak ia dilahirkan. Bentuk fitrah ini dapat berbentuk nafsu, akal dan hati nurani. 2) Fitrah al-Munazzalah, yaitu fitrah (potensi) luar manusia yang merupakan petunjuk Tuhan yang ditujukan untuk membimbing dan mengarahkan manusia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.[22]
Telah dijelaskan di atas, bahwa pendidikan Islam adalah proses pembentukan individu untuk mengembangkan fitrah keagamaannya, yang secara konseptual dipahami, dianalisis serta dikembangkan dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah melalui proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan kedua sumber Islam tersebut pada setiap generasi dalam sejarah umat Islam dalam mencapai kebahagian dan kebaikan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, pendidikan Islam harus dapat menumbuh- kembangkan seluruh potensi dasar (fitrah) manusia terutama potensi psikis dengan tidak mengabaikan potensi fisiknya. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa pendidikan Islam harus dapat mengaktifkan dan mengoptimalkan potensi rohaniah peser- ta didik dengan tidak mengabaikan potensi jasmaniahnya.[23]
Dalam konteks pengembangan potensi inilah, pendidikan Islam harus dapat memenuhi beberapa keinginan, harapan dan kebutuhan anak didik, baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Di sisi inilah letak pentingnya pembelajaran dalam pendidikan Islam dengan mengguna- kan pendekatan konstruktivistik, yaitu bagaimana menkonstruk pem­belajaran pendidikan Islam sesuai dengan keinginan dan kebutuhan potensi dasar anak didik.
Lebih jauh pembelajaran pendidikan Islam berparadigma humanis- tik-konstruktivistik, yaitu pembelajaran yang menekankan pada pengembangan potensi anak didik sesuai keinginan dan kebutuhannya dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Sebagai hamba Allah, pendidikan Islam dilaksanakan untuk mem- berikan pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan yang benar dalam melaksanakan ajaran Islam sebuah kebutuhan emosional spiritual. Pada tataran praktis pembelajaran agama Islam dengan menggunakan pende­katan ini menekankan pada pembelajaran kepercayaan/keyakinan yang benar ('aqidah), pengamalan ibadah secara istiqamah (syari’ah) serta pembiasan etika-moral Islam (akhlaq).
Dalam konteks pembelajaran modern, materi, kurikulum, metode dan evaluasi pendidikan Islam harus ditekankan pada proses pembelajaran afektif melalui penanaman pengetahuan moral (moral knowing) yang dilanjutkan dengan kesadaran moral (moral under­standing) dan yang terpenting adalah perilaku moral (moral action), di samping juga tidak dapat dikesampingkan pembelajaran kognitif dan psikomotorik.
Sedangkan dalam konteks manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, pendidikan Islam harus dapat menumbuhkembangkan potensi dasar anak didik dalam upayanya melaksanakan tugas-tugas kekhalifa- hannya. Potensi-potensi itu barangkali dapat mengacu berbagai fitrah yang dimiliki manusia dalam upaya memakmurkan bumi.
Pada tataran praktis, dalam perspektif di atas pendidikan Islam harus dapat mempersiapkan anak didik dengan berbagai ilmu penge- tahuan, keahlian, dan skill untuk dapat mengelola, merawat, mengatur bumi untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Pada sisi inilah letak pentingnya pengembangan potensi pikir manusia dengan melalui pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan berbagai keahlian dan profesionalisme sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di samping itu, yang tak kalah pen- tingnya adalah pengembangan potensi dzikir sebagai aspek aksiologis ilmu pengetahuan.
Secara lebih terperinci, M. Arifin menjelaskan bahwa secara psikis, potensi-potensi manusia yang harus dikembangkan dalam pendidikan Islam berupa: (1) Potensi dasar yang merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia yang bersifat dinamis dan berkembang secara aktif, (2) Bakat dan kecerdasan yang berupa kemampuan daya kognisi, daya konasi, dan emosi. Dengan mengembangkan kemampuan ini manusia menjadi ahli dan professional dalam bidangnya, (3) Instink (gharizah), kemampuan untuk berbuat, (4) Intuisi, kemampuan psikologis manusia untuk mengadakan kontak dengan Tuhan, (5) Karakter, yaitu kemampuan psikolgis untuk memiliki moral dan etika dalam interaksinya dengan sesama manusia. Karakter ini berkaitan erat dengan kepribadian seseorang yang terbentuk dari kekuatan dari dalam diri manusia, (6) Nafsu/dorongan yang mempengaruhi motif perbuatan seseorang,[24] (7) Keturunan/hereditas, suatu faktor kemampuan dasar manusia psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua.[25]
Pengembangan potensi asli sebagaimana di atas juga diungkapkan oleh Conny R. Semiawan yang menegaskan bahwa pendidikan Islam-- dalam kerangka pengembangan fitrah--harus dilaksanakan dengan berlandaskan nilai-nilai Ilahiyah. Proses pendidikan yang demikian tidak hanya menuntut transfer ilmu pengetahuan dan nilai sikap kepada peserta didik, akan tetapi juga kemampuan pendidik yang profesional di bidangnya dengan tidak mengenyampingkan aspek sosio-kultural di mana manusia itu dibesarkan. 25
Untuk itu, proses pendidikan Islam harus mampu mampu menyentuh totalitas potensi yang dimiliki peserta didik yang meliputi pertumbuhan fisik, intelektual, emosional, sosial, moral, dan keimanan Ilahiyah yang merupakan fitrah manusia yang hanif, sebagai upaya mewujudkan tingkat kematangan optimal dalam totalitas struktur individual peserta didik. [26]
D. Tujuan Pendidikan Dalam Al Qur’an
Allah ta’ala menurunkan al Qur’an kepada manusia dengan sebuah tujuan mendidik dan mengarahkan manusia agar berhasil menjalankan fungsi utama keberadaan mereka dimuka bumi. Sebagai khalifah Allah dan hamba-Nya, seluruh potensi kecerdasan yang Allah karuniakan untuk membangun peradaban kelak harus dipertanggung-jawabkan, dan al Qur’an merupakan jawaban atas seluruh permasalahan itu
إن القرآن نزل كله للتربية و التوجيه لبناء الأمة الراشدة التى تقوم بمهمة الخلافة الراشدة في الأرض، و يربي النفس البشرية من جميع جوانبها، مهما كانت مستوياتها النفسية و الروحية و الإجتماعية و الحضارية.[27]
Sesungguhnya al Qur’an seluruhnya berisi pendidikan dan pengarahan untuk membangun sebuah bangsa yang mulia yang tegak sebagai khilafah ar Rasyidah di dunia, dan mendidik jiwa kemanusiaan dalam seluruh aspeknya, sehingga terbangun integralitas manusia dalam aspek pribadi, spiritual, sosial dan peradaban. 
Dengan demikian tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah terciptanya perubahan yang diharapkan dalam seluruh perubahan pada dunia kehidupan manusia. Dan Allah menginginkan seluruh perubahan itu terjadi dibawah naungan al Qur’an, dibawah inspirasinya, sehingga perubahan itu tercipta ke arah yang baik, sebagaimana sifat al Qur’an itu sendiri. Ali bin Abi Thalib ra, pernah berkata, “القرآنُ جديدٌ لا تُبلى جِدّتُه[28] al Qur’an itu baru dan tak kan usang inovasinya.
Pendapat serupa tentang tujuan pendidikan dalam al Qur’an dikemukakan Asy syaibani yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah, “adanya perubahan yang positif yang ingin dicapai melalui sebuah proses atau upaya-upaya pendidikan, baik perubahan itu terjadi pada aspek tingkah laku, kehidupan pribadi dan masyarakat, dan lingkungan luas dimana pribadi itu hidup.”[29]
Atas dasar inilah al Qur’an tidak memandang bahwa pencarian pengetahuan adalah demi pengetahuan itu sendiri tanpa merujuk kepada idealisme spiritual yang harus diraihnya yaitu kemaslahatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, atau dengan kata lain sukses sebagai khalifah dan sukses sebagai seorang hamba yang mengabdi Allah.

E. Kajian Tafsir Tentang Tujuan Pendidikan
Surat at Taubah ayat 122 Allah ta’ala menyampaikan sebuah arti penting kedudukan pendidikan bagi manusia,
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلولا نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
                Pada ayat ini Allah ta’ala memerintahkan agar senantiasa ada sekelompok manusia yang memperdalam ilmu pengetahuan meski sedang ada perintah jihad. Hal ini menunjukkan, “kebutuhan suatu bangsa terhadap jihad dan para mujahid sama seperti kebutuhan bangsa terhadap ilmu dan para ulama.”[30]
                Al Mawardi, memberikan sebuah pengertian bahwa tujuan atas seluruh peristiwa apapun dalam kehidupan orang beriman adalah untuk mengambil pelajaran dalam rangka meningkatkan keimanan mereka dan meraih kedudukan yang lebih baik dalam ketaqwaan kepada Allah ta’ala. Dalam ayat  ini peristiwa pergi berperang / sariyah maupun memperdalam pengetahuan adalah untuk tujuan tersebut. Al Mawardi menyebutkan makna “liyatafaqqahu fid diin “ sbb,
ليتفقهوا في أحكام الدين ومعالم الشرع ويتحملوا عنه ما يقع به البلاغ وينذروا به قومهم إذا رجعوا إليهم. وليتفقهوا فيما يشاهدونه من نصر الله لرسوله وتأييده لدينه وتصديق وعده ومشاهدة معجزاته ليقوى إيمانهم ويخبروا به قومهم.[31]
Pertama, memperdalam pemahaman terhadap hukum-hukum agama dan pengetahuan syari’at dan menjaga dan membawa risalah tersebut serta memberikan peringatan kepada kelompok yang ikut berperang ketika mereka kembali. Dan kedua adalah Agar mereka memahami bahwa apa yang mereka saksikan adalah pertolongan Allah terhadap Rosul-Nya dan menguatkan agama mereka, membenarkan janji Allah atas mereka, serta memberikan kesaksian atas mu’jizat Allah atas mereka untuk menguatkan keimanan dan hal-hal tersebut mereka kabarkan kepada kelompok mereka.
                Pendapat ini serupa dengan pendapat Ibnu ‘Ajibah yang mengatakan bahwa dalam ayat ini terdapat 2 perjalanan yang menggambarkan tujuan pendidikan, yaitu perjalanan mendidik diri melalui proses mempelajari hukum-hukum agama dan proses melatih kekuatan kepribadian. Kedua perjalanan memberikan tujuan yang berbeda yaitu “فمن رجع عن سياحة الأحكام قام بلسانه يدعو الخلق إلى ربه، ومن رجع من سياحة الأدب والرياضة قام في الخلق يهديهم لأخلاقه وشمائله[32] Mereka yang kembali dari perjalanan hukum-hukum menegakkan dengan lisannya mengajak manusia kembali kepada Allah, dan mereka yang kembali dari perjalanan adab dan riyadhoh menegakkan pada manusia dengan memberikan petunjuk dengan kesempurnaan akhlaq.
                Atas pendapat tersebut dapat kita simpulkan bahwa ibnu ‘Ajibah berpendapat bahwa bentuk pendidikan tidak hanya proses pengajaran ataupun penerangan dalam forum talaqqi melainkan pula dalam bentuk latihan dan praktek dalam lapangan-lapangan amal. Masing-masing dari model pendidikan ini mempunyai tujuan yang berbeda namun saling melengkapi. Satu sisi menekankan pada penguasaan konseptual dan pengajaran kembali dan sisi lain menekankan pada aspek praktek, internalisasi dan keteladanan atau model.
                Pendidikan juga bertujuan membina seluruh potensi manusia baik aspek pemikiran, mentalitas dan fisik. Pendapat ini dikemukakan oleh al Qasimy, menurutnya tujuan pendidikan adalah tafaqquh, dan barang siapa yang menginginkannya maka berjalanlah dijalan Allah, carilah jalan untuk menyucikan dan membersihkan jiwa, hingga nampak dengan jelas ilmu dari hatinya atas perkataannya. Menurut al Qasimy tafaqquh adalah “علم راسخ في القلب، ضارب بعروقه في النفس، ظاهر أثره على الجوارح[33] ilmu yang tertanam kuat di hati, menggerakkan jiwa, dan nampak dengan jelas dampak ilmu atas anggota badannya. Dengan demikian keberhasilan tujuan pendidikan tampak dalam semua aspek potensi dasar manusia dan dapat terlihat dalam aspek amaliahnya.
                As Shobuni dalam tafsirnya memerincikan tujuan pendidikan dari segi pelaku proses pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik, menurutnya, tujuan pendidikan terbagi dua yaitu “أن يكون غرض المعلم: الإِرشاد والإِنذار، وغرض المتعلم: اكتساب الخشية لا التبسط والاستكبار” bagi seorang pendidik, pendidikan bertujuan sebagai sarana penerangan bagi orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan sarana peringatan bagi mereka yang lalai. Sedangkan bagi peserta didik, pendidikan bertujuan menumbuhkan rasa takut kepada Allah dengan tidak lupa diri dan sombong atas penguasaan pengetahuan maupun prestasi yang diraih.
                Pendidikan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu menjadikan peserta didik memiliki integritas antara aspek perkataan, perbuatan dan kebaikan niat atau motivasi. Pendapat ini dikemukakan oleh al biqa’i. ia mengatakan “أي بما يسمعونه من أقواله ويرونه من جميل أفعاله ويصل إلى قلوبهم من مستنير أحواله[34] agar mereka mendengarkan penuturan lisannya, mencontoh dan melihat kebaikan perbuatannya dan sampai kepada hati mereka segala perbuatan mereka yang berkesan.
                Dengan demikian al Biqa’iy memandang bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan secara utuh aspek jasmani dan ruhaninya. Peserta didik juga dibentuk menjadi manusia yang memiliki integritas kepribadian antara aspek perkataan, perbuatan dan kebaikan hati mereka. Lebih jauh lagi tujuan pendidikan selain menjelma dalam bentuk kebaikan individu juga menjadi contoh dan menginspirasi sesamanya.
Ayat ke 122 surat at Taubah ini juga mengisyaratkan bahwa teknik pertahanan dan keamanan serta ekspansi dan penguasaan wilayah selain melalui jihad peperangan juga membutuhkan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi. az Zuhailiy mengemukakan pendapatnya tentang pentingnya memperdalam ilmu pengetahuan sebagai berikut “الاسهام في إقامة صرح المدنية والحضارة، من طريق تنمية العلوم والمعارف، وازدهار الحقل العلمي بالمتابعة والتأمل والتجربة والتجديد[35] pendidikan adalah kontribusi dalam menegakkan negara dan peradaban melalui jalan pengembangan ilmu dan pengetahuan, evaluasi pengembangan bidang ilmiah, penelitian, eksperimen, dan inovasi.
Dalam perspektif az Zuhailiy tujuan pendidikan bersifat ekspansif. Kemaslahatan sebagai tujuan dari pendidikan adalah kesejahteraan dan kemakmuran yang luas dalam lingkup sebuah bangsa atau negara. Jika menggunakan pendekatan langkah-langkah da’wah, menegakkan Islam atas negara itu terjadi setelah tegaknya Islam atas pribadi, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian semakin luas kemaslahatan hasil sebuah pendidikan semakin baik pula tujuan yang tercapai. Hal in sebagaimana sabda Nabi saw, yang diriwayatkan oleh jabir ra,
الْمُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ[36]
orang beriman itu bersatu dan menyatukan. Tak akan ada kebaikan bagi orang yang tidak bersatu dan menyatukan, dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
                Pendapat lain tentang tujuan pendidikan dikemukakan oleh at Tastariy, menurutnya tujuan pendidikan dalam ayat ini adalah untuk menjadikan objek didik “الفقيه الزاهد في الدنيا، الراغب في الآخرة، البصير في أمر دينه[37] Ilmuwan yang sederhana terhadap dunia, merindui kehidupan akhirat, dan bijaksana dalam perkara-perkara agamanya. Hal ini sebagaimana perkataan Imam Malik,” إِنَّ الْعِلْمَ لَيْسَ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّهُ نُورٌ يَجْعَلُهُ اللَّهُ فِي الْقُلُوبِ[38] sesungguhnya ilmu bukanlah banyaknya riwayat melainkan cahaya yang Allah turunkan pada hati.
                Dalam perspektif imam at Tastariy, tercapainya sebuah tujuan pendidikan adalah bukan sekedar mendengar secara lahiriah ucapan yang keluar dari lisan seorang objek didik, atau tulisan yang tertulis, maupun perbuatan yang dilakukan, melainkan aspek yang terpenting menurut at Tastariy adalah “kemampuan melakukan evaluasi dan secara mandiri atas seluruh amaliahnya ”.[39] istilah ini ia sebutkan sebagai “al muhasabah ”.
Dalam proses pendidikan, evaluasi merupakan proses yang tegak diatas di atas proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Evaluasi juga merupakan proses yang memungkinkan terjadinya pengembangan selanjutnya. Dengan demikian pendapat ini merupakan pendapat yang formatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensi manusia.
Penutup
Pengembangan fitrah dalam pendidikan Islam selayaknya dilakukan dengan menjalankan aktivitas pembelajaran dengan melihat anak didik sebagai suatu pribadi yang utuh dan mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang berangkat dari potensi-potensi yang ia miliki. Potensi-potensi anak didik itu haruslah diketahui dan dikenal oleh pendidik sehingga dapat diambil langkah-langkah strategis dalam upaya pengembangan potensi dimaksud.
Penjelasan para ulama tafsir klasik maupun kontemporer terhadap tema tujuan pendidikan dalam Islam, khususnya tafsir pada ayat ke 122 surat at Taubah ini memberikan sebuah kesimpulan dasar kokoh bahwa seluruh aspek yang diharapkan terlahir dari proses pendidikan mengarah kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
                Tujuan pendidikan dalam Islam juga menginginkan terbentuknya manusia muslim yang memiliki integritas pada kepribadiannya, kebaikan ucapannya menjelma pula dalam kebaikan prilaku yang semuanya merupakan cermin atas kebersihan hatinya. Selain wujud dalam bentuk manfaat bagi pribadi peserta didik hasil pendidikan juga diharapkan wujud manfaatnya secara luas dalam keluarga, masyarakat dan negara. Semakin luas manfaat yang dirasakan dari sebuah pendidikan maka semakin baik proses pendidikan tersebut.
                Tujuan pendidikan dalam Islam juga menghasilkan pribadi yang mandiri serta terus menerus berkembang dalam kebaikan pada semua potensi dasar yang dimilikinya, karena kemampuan melakukan evaluasi, pengembangan bidang keilmuan, dan inovasi.

DAFTAR PUSTAKA


al Baz, Anwar, 2007, at Tafsiir at Tarbawi lil Qur’an al Kariim, Cairo : Daar an Nashr lil Jami’at
al Maraghiy, Ahmad bin Musthafa, 1365 H, Tafsiir al Maraghiy, Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthafa al Baabiy al Halabiy.
asy Syaibani, Umar Muhammad at Tuumiy, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah, Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan.
al Mawardy, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin habib al Bashariy al Baghdady, tt, an Nukat wal Uyun, Beirut-Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah.
al Hasany, Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al Mahdiy bin ‘Ajibah, 1419 H, Bahrul Madiid fi Tafsiir al Qur’an al Majid, Cairo : Maktabah Hasan Abbas Zaky.
al Qasimy, Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim al halaq, 1418 H, Mahasin at Ta’wil, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah.
al Biqa’iy, Ibrahim bin ‘Amru bin Hasan ar Ribath bin Ali bin Abi Bakr, tt, Nidzham ad Dharar fi Tanasubi Ayat wa Suwar, Cairo: Daar al Kitab al Islamy.
az Zuhailiy, Wahbah bin Musthofa, 1422H, at Tafsir al Wasith li az Zuhaily, Damaskus: Daar al Fikr
ath Thabraniy, Sulaiman bin Ahmad Abu al Qasim, tt, al Mu’jam al Awsath, Cairo: Daar al Haramain.
at Tastariy, Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rofi’, 1423 H, Tafsiir at Tastariy, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah.




[1]Lalu Muhammad Nurul Wathoni, mahasiswa program Doktor Universitas Islama Negeri Sulan Syarif Kasim Riau, NIM; 31694104589, Program studi Pendidikan Agama Islam.

[3] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Juz 1 (Kairo: Dar al-Manar, 1373 H.), him. 262.
[4]QS. al-Baqarah : 31.
[5]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyyah wa al -Ta’lim (Saudi Arabia: Dar al- Ahya’, tt), hlm. 14.
[6]Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 256.
[7]Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 23-24.
[8]Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 29.
[9]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2006), hlm. 32.
[10]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Pranada Media, 2006), hlm. 27.
[11]Ahmadi, Ideologi, hlm. 85.
[12]Muhaimin, Wacana Pengembangan, hlm. 158.
[13]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ’ Ulumddin (Kairo: Dar al Kutub,tt), hlm. 231.
[14]Tafsir, Ilmu Pendidikan, hlm. 35.
[15]Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Media Pratama, 2001), hlm. 73
[16]QS. al-A’raf : 172
[17]QS. al Hijr: 29.
[18]Al-Attas menafsirkan ayat ini dengan menyebutkan bahwa manusia mempunyai keberuntungan wujud kepada penciptanya, yang bermula dari peristiwa yang digambarkan pada pada ayat di atas yakni sebagai masa “waktu sebelum perpisahan” (time of the pre-separation), yaitu masa ketika manusia belum diberi jasad dan masih berada dalam Kesadaran Tuhan. Ayat ini juga yang digunakan oleh al-Attas untuk menjelaskan kesadaran beragama manusia. Di samping itu, ayat ini menerangkan dua pokok permasalahan lain yaitu “bahasa” dan persaudaraan manusia. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat danPraktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib al Attas, ter. Hamid Fahmi dkk (Bandung: Mizan, 2003), hlm.95.
[19]Nizar, Pengantar Dasar-Dasar, hlm. 74.
[20]Muhaimin et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 18-19.
[21]Juhaja S. Praja, “Epistemologi Ibn Taimiyah”, Jurnal Ulumul Qur’an , (Vol. II, No. 7, 1990/1411 H).
[22]Nurcholish Majid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 8.
[23]Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 8 (Beirut: Dar al- Fikr, 1980), hlm. 4-5. Hal senada juga dikuatkan dengan pendapat Muhammad Abduh yang menekankan pentingnya pengembangan potensi rohaniah di samping jasmaniah dalam proses pendidikan Islam. Periksa Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, ter. K.H. Firdaus A. N. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 3.
[24]Dalam al-Qur’an terdapat berbagai macam nafsu; yaitu 1) al-Nafs al-Lawwamah, yaitu nafsu yang selalu menyuruh/mendorong manusia untuk berbuat keburukan dan kejahatan, 2) al-Nafs al-Ammarah, yaitu nafsu yang selalu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain, termasuk dalam hal ini adalah nafsu birahi yang mendorong kepada pemuasan nafsu seksualitas yang berlebihan dan keluar dari ajaran Allah, 3) al-Nafs al-Muthmainnah, yaitu nafsu yang tenang, tentram, yang senantiasa mendorong manusia untuk melakukan perbuatan- perbuatan yang terpuji. Dengan versi lain, al-Ghazali membagi nafsu menjadi dua bentuk, yaitu al-nafs al-malkiyyah, yaitu nafsu yang mendorong manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia sebagaimana yang dilakukan oleh para malaikat, yang selalu mensucikan Allah, patuh kepada Allah dan 2) al-nafs al-bahamiyyah, yang mendorong manusia melakukan perbuatan-perbuatan maksiat sebagaimana dilakukan oleh binatang. Lihat Nizar, Pengantar Dasar-Dasar, hlm. 140-141.
[25]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 100-103.
[26]Musa Asy’ari, et. al.(ed.) Agama, Kebudayaan dan Pembangunan, Menyongsong Era Industrialisasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijogo Press, 1988), hlm. 98.
[27] Anwar al Baz, 2007, at Tafsiir at Tarbawi lil Qur’an al Kariim, Cairo : Daar an Nashr lil Jami’at, 1/ب.
[28] Ahmad bin Musthafa al Maraghiy, 1365 H, Tafsiir al Maraghiy, Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthafa al Baabiy al Halabiy, 17/27
[29] Umar Muhammad at Tuumiy asy Syaibani, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah, Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan, h 282.
[30] Anwar al Baz, op.cit, 1/618
[31] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin habib al Bashariy al Baghdady al Mawardy, tt, an Nukat wal Uyun, Beirut-Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 2/145
[32] Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al Mahdiy bin ‘Ajibah al Hasany, 1419 H, Bahrul Madiid fi Tafsiir al Qur’an al Majid, Cairo : Maktabah Hasan Abbas Zaky, 2/442.
[33] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim al halaq al Qasimy, 1418 H, Mahasin at Ta’wil, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 5/530
[34] Ibrahim bin ‘Amru bin Hasan ar Ribath bin Ali bin Abi Bakr al Biqa’iy, tt, Nidzham ad Dharar fi Tanasubi Ayat wa Suwar, Cairo: Daar al Kitab al Islamy, 9/48
[35] Wahbah bin Musthofa az Zuhailiy, 1422H, at Tafsir al Wasith li az Zuhaily, Damaskus: Daar al Fikr, 1/930
[36] Sulaiman bin Ahmad Abu al Qasim ath Thabraniy, tt, al Mu’jam al Awsath, Cairo: Daar al Haramain, 6/58 hadits ke 5787.
[37] Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rofi’ at Tastariy, 1423 H, Tafsiir at Tastariy, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/75.
[38] Abu ‘Amr bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar, 1414H, Jami’ Bayan al Ilmi al Fadhlihi, Saudi Arabia: Daar Ibnul Jauziy, 1/758. Dalam hilyatul Aulia disebutkan “لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ
[39] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar