Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 27 Maret 2017

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM: Fitrah dan Potensi Manusia dalam al-Qur’an, dan Tujuan Pendidikan Islam



PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM: Fitrah dan Potensi Manusia
dalam al-Qur’an, dan Tujuan Pendidikan Islam 
Oleh: Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.[1]
Dosen UMRI, Dosen LB STIT Hidayatullah


Abstrak 
Tulisan ini menjelaskan tentang fithrah dan Potensi manusia. Apakah fithrah dan potensi manusia itu baik atau jahat? Disebut fithrahnya itu baik, faktanya banyak manusia yang jahat, dan sebaliknya dibilang fithrahnya jahat, tidak sedikit manusia yang baik. Maka, pendidikan dalam Islam sebagai lahan untuk menyemai bibit unggul fithrah bertujuan agar manusia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesuai dengan fithrahnya.

Kata kunci : Fithrah manusia, pendidikan Islam

Pendahuluan
            Allah Swt menciptakan manusia dalam keadaan yang paripurna. “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At Tiin : 4) .Modal manusia ketika dilahirkan ke dunia seluruhnya sama yaitu tidak mengetahui sesuatu apapun,   Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S. An Nahl : 78). Dan seluruh manusia dilahirkan diatas fitrahnya. Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang menjadikan dia  Yahudi, Nasrani atau Majusi[2]. Allah Swt menciptakan manusia tidak untuk main-main, tetapi ada maksud dan tujuanya. “ Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. Al Mu’minun : 115). Manusia mengemban tugas mengabdi kepada Allah. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzariat : 56), dan fungsinya sebagai khalifah fil ard.
   Manusia diciptakan  oleh Allah swt. selain sebagai hamba juga sebagai penguasa (khalifah) di atas bumi. Sebagai hamba dan khalifah, manusia telah dibekali kemampuan jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (mental psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna untuk menjalankan tugas pokoknya di atas dunia ini. Namun proses menumbuh kembangkan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik sesuai kehendak pencipta-Nya, karena Allah telah menggariskan bahwa di dalam diri manusia terdapat kecenderungan dua arah, yaitu ke arah perbuatan fisik yang menyimpang dari peraturan dan ke arah ketakwaan yaitu menaati peraturan atau perintah Allah swt.[3]
Tugas Manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah), dituntut untuk mengabdi secara totalitas kepada Allah SWT. dengan penuh keikhlasan. Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini harus bernilai ibadah, ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan redho-Nya[4].
Musa Asy’arie[5] mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama. Yang mengakui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al- Qur’an disebabkan karena telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia tak kala ia berada di alam arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya.
Dan manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Diantara amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi. Karena amat mulianya manusia mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Salah satu aplikasi dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral manusia untuk mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam ini untuk memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk kepada-Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta[6].
Aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan  manusia (humanizing of human being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara normatif  berkembang lebih baik. Upaya membantu manusia berkembang normatif lebih baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia. Sebab, tanpa pemahaman yang benar tentang apa, siapa, mengapa, dan untuk apa manusia, maka pendidikan akan gagal mewujudkan manusia yang dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang hakikat manusia dengan segala potensi yang dimilikinya, agar manusia tidak keluar dari fitrah kemanusiaannya.

A. Fitrah (Potensi) Manusia
              Kata ( فطرة ) diambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Kemudian ditambahkan bahwa fitrah adalah “Mencipta sesuatu pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud kata fitrah pada ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud  adalah keyakinan tentang keesaan Allah swt, yang ditanamkan Allah dalam diri setiap insan.[7]
              Al-Biqa’I tidak membatasi arti fitrah pada keyakinan tentang keesaan Allah swt. Menurutnya, yang dimaksud dengan fitrah adalah ciptaan pertama dan tabiat awal yang Allah ciptakan manusia atas dasarnya. Al-Biqa’I kemudian mengutip pendapat Imam al-Ghazali yang menulis dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din bahwa “ Setiap manusia telah diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya, yakni bagaikan tercakup dalam dirinya karena adanya potensi pengetahuan.” Al-Biqa’I kemudian menjelaskan maksud al-Ghazali itu bahwa yang dimaksud adalah kemudahan mematuhi perintah Allah serta keluhuran budi pekerti yang merupakan cerminan dari fitrah Islam.[8] Dengan demikian yang dimaksud dengan fitrah adalah penerimaan kebenaran dan kemantapan mereka dalam penerimaannya.
Kata Fitrah terulang sebanyak 28 kali dalam al Qur’an di surat dan ayat yang berbeda, 14 kali diantaranya berbicara tentang penciptaan manusia[9]. Menurut Tedi Priatna[10], fitrah mengandung pengertian asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar.  pengertian dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Seperti yang tersurat dalam Surat Ar-Rum  ayat 30:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”2 (Q.S. Ar-Rum: 30)                      
Abdul Mujib Muhaimin[11], menjelaskan pemaknaan fitrah, yaitu ; Pertama, Fitrah yang berarti suci (thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah Islam (dienul Islam), pemaknaan tersebut menunjukan bahwa tujuan diciptakanya manusia adalah penyerahan diri kepada sang pencipta, tanpa beragama Islam berarti telah keluar dari fitrahnya. Ketiga, Fitrah mengakui keesaan Allah (at-tauhid), manusia semenja lahir membawa potensi tauhid. yaitu kecenderungan manusia untuk meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut. Keempat, Fitrah selamat (al salamah), fitrah secara potensial berati keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan strukturnya. Iman dan kufurnya baru tumbuh setelah manusia mencapai aqil balig. Kelima, Fitrah kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran. Secara fitriah manusia lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun pencarian itu masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam. Adakalanya manusia telah menemukan kebenaran, karena ada faktor ektrnal yang mempengryhunya, maka ia berpaling dari kebenaran. Keenam,  Fitrah ikhlas. Manusia lahir membawa sifat-sifat yang baik, diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam melakukan kreasi. Pemaknaan tulus ini merupakan konsekwensi fitrah manusia yang harus menjemput agama tauhid. Dengan bertauhid berati seseorang telah menghambakan diri kepada dzat yang mutlak Allah Yang aha kuasa sekaligus menghilangkan segala dominasi yang temporal atau nisbi. Ketujuah,  Fitrah dasar manusia untuk beribadah dan ma’rifatullah. (mengenal Alah).  Dalam pemaknaan ini, aktivitas manusia dan pengenalan manusia kepada Allah merupakan tolak ukur dan indikator pemaknaan kefitrahanya. Dan kedelapan, Fitrah  tabiat alami yang dimiliki manusia  (human nature). Watak atau tabiat merupakan daya dari daya nafs kulliyun yang menggerakan jasad manusia. Bedanya fitrah manusia pasti sama mempunyai potensi bertauhid, sedangkan tabiat merupakan sesuatu yang ditantukan Allah melalui ilmunya.
             Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa manusia memiliki citra baik, dan menunjukan superioritas manusia dibanding dengan malaikat. Kalau malaikat terstruktur sebagai makhluk yang baik, melakukan pekerjaanya sesuai dengan yang ditugaskan Allah kepadanya.
مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦
Artinya: “... penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim : 6).
            Berbeda dengan manusia yang diberi potensi “ fitrah sebagai bibit unggul”. Persoalanya, Apakah fitrah sebagai bibit unggul tersebut  akan   “ditanam” di tanah pendidikan Islam yang subur, sehingga bibit fitrah tersebut akan tumbuh menjadi baik sesuai kehendak yang memberi-Nya? Ataukah bibit unggul fitrah tersebut mau ditanam di tanah yang gersang, sehingga sekalipun bibitnya unggul, tapi jika ditanam di tanah yang tandus, maka tidak akan tubuh dengan baik. Wujudnya manusia, tapi keberadaanya lebih sesat dari pada binatang[12].

B. Pendidikan Islam
            Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama,  sekalipun ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan ketiga istilah tersebut[13]. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.
Kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda[14].
Pertama,  Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan[15]. Kedua, Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan[16]. Ketiga, Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan perkembangan)[17]. Keempat, al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata at-Tarbiyah dengan rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh[18].  Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan at-ta’lim, para fakar memberikan pengertian diantaranya, Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya . At-ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan[19]. Munurut Rasyid Ridho[20]at-ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqarah: 31
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِ‍ُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١
Artinya: “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak[21].
Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem[22]. Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Sementara pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya .
Selanjutnya term ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”[23]
Pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan[24].
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.
Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempattempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja. Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.

C. Tujuan pendidikan islam
            Tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalamai proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
Sebagai pendidikan yang nota benenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam menurut beberapa pakarnya, diantaranya : Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identik dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya[25]. Dr. Ali Ashraf; ‘tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umunya”[26]  Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)[27]” Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh”[28].
              Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti/akhlak adalah jiwa dari pendidikan Islam dan mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam dengan tidak mengabaikan pendidikan jasmani, ilmu atau segi-segi praktis lainnya. Artinya bahwa pendidikan akhlak harus seimbang dengan pendidikan lainnya. Pendidikan akhlak menurutnya adalah sama dengan menanamkan fadhilah (keutamaan), membiasakan sopan santun demi mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur. [29]
              Dalam pandangan al-Gazali, sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, demikian pula  fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan penting dalam pendidikan.[30] Selanjutnya al-Gazali menegaskan bahwa hendaknya seorang pendidik mengarahkan anak didiknya kepada tujuan mempelajari ilmu adalah taqarrub kepada Allah swt. bukannya mengarah kepada pimpinan dan kemegahan.[31]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya manusia cenderung ke arah yang baik sesuai dengan fitrah dan akal sehat yang dimiliki. maka tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.


D. Fitrah Manusia dan Pendidikan Islam
            Konon, sebelum penciptaannya manusia pernah bersaksi kepada Allah Swt. bahwa Dia adalah Tuhan mereka (Al-A’raf:172). Janji ini menjadi fitrah manusia, bahwasanya ketika jiwa mereka ditiupkan dalam rahim dan lahir ke dunia ini, mereka dalam keadaan patuh dan tunduk kepada Allah Swt. Hal ini dibuktikan dengan ketaataan mereka terhadap aturan kosmos Allah SWT. Baru setelah mereka berintekrasi dengan ayah bunda serta lingkungan, mereka tersilap dari kesaksian yang mereka berikan dahulu. Akhirnya melencenglah mereka dari fitrah penciptaan. Begitu kata Rasullullah SAW dalam haditsnya. Fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia memiliki kebutuhan. Menurut Zakiyah Drajat ada dua kebutuhan peserta didik[32] yaitu:
  1. Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, bebas, mengenal, dan rasa sukses
  2. Kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pangan. Dalam pendidikan berupaya mengembangkan dan memenuhi kebutuahn tersebut secara integral agar berkembang.
 Ada tiga alasan penyebab awal kenapa manusia memerlukan pendidikan, yaitu: pertama, dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan nilai kebudayaan antara generasi tua kepada generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai intelektual, seni, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam kehidupan manusia sebagai individu, memiliki kecendrungan untuk dapat mengembnagkan potensi-potensi yang ada dalamdirinyaseoptimal mungkin. Untuk maksud tersebut, manusia perlu suatu sarana. Saran itu adalah pendidikan. Ketiga, konvergensi dari kedua tuntutan di atas yang pengaplikasiannya adalah lewat pendidikan[33].
Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Ada dua implikasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam[34], yaitu:
1.      Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistim pendidikan Islam harus dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral.
  1. Al-quran menjelakan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan tugas ini Allah membekali dengan seperagkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermamfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.
Kedua hal di atas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pedidikan Islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd.
Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuwan dan rasional filosofis. Yang harus dipahami bahwa pendekatan keilmuwan dan filosofis hanyalah sebuah media untuk menalar pesan-pesan Tuhan, baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (Qur’aniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual (kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.
Dalam buku lain ditemukan bahwa pendidikan merupakan gejala dan kebutuhan manusia. Dalam artian bahwa bilamana anak tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan menjadi manusia sesungguhnya, dalam artian tidak sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Hanya pendidikanlah yang dapat memanusiakan dan membudayakan manusia[35].
Untuk mengembangkan potensi atau kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kehidupannya kelak dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan bagi manusia, ada tiga aliran yang sangat populer, yakni aliran  Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi.
Doktrin aliran empirisme yang amat masyhur adalah “Tabula Rasa,” sebuah istilah bahasa latin yang berarti batu tulis atau lembaran kosong. Tabula rasa menekankan pentingnya pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Artinya perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Aliran empirisme dengan tokoh utamanya adalah John Locke (1632-1704). Aliran ini berpendapat jika seorang peserta didik memperoleh kesempatan  yang memadai untuk belajar ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi seorang politisi, karena ia memiliki pengalaman belajar di bidang politik. Dia tidak akan pernah menjadi pemusik, walaupun orang tuanya pemusik sejati.[36]
     Suatu prinsip yang dikemukakan oleh John Locke sebagai konsekuensi dari teorinya tentang tabula rasa adalah bahwa setiap tingkah laku pada dasarnya dipelajari. Karena itu tingkah laku dapat diubah melalui pengalaman baru.
        Dengan demikian jelaslah pandangan empirisme bahwa pendidikan dan perkembangan anak ditentukan oleh faktor lingkungan, baik melalui pengalaman yang diperolehnya dengan bebas maupun melalui program pendidikan.
Kebalikan dari aliran empirisme adalah aliran Nativisme berpandangan bahwa yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.[37] Tokoh utama aliran ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman. Ia menganut aliran filsafat nativisme, dikenal juga dengan aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Karena penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh sama sekali.[38]
                Berdasarkan pandangan tersebut di atas maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh peserta didik sendiri. Bagi nativisme lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Perkembangan anak merupakan hasil perubahan dari sifat-sifat pembawaan itu sendiri. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa paham ini tidak mempercayai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan anak.
       Sedangkan aliran konvergensi berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai dengan pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Dalam proses perkembangannya faktor pembawaan dan faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Tokoh utamanya adalah William Stern (1871-1938). Dia mengatakan bahwa bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat itu. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak akan menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan anak yang diharapkan. William Stern berkesimpulan bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan.[39]
          Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, William Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan atau pengalaman, juga tidak berpegang hanya pada pembawaan tetapi berpegang pada kedua faktor tersebut sama pentingnya. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebalikya, faktor pengalaman tanpa faktor bakat atau pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia sesuai yang diharapkan.[40]
          Untuk lebih kongkritnya dapat diambil sebuah contoh seorang anak yang normal pasti memiliki bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya, tetapi apabila anak tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya dibuang ke hutan belantara dan tinggal bersama hewan maka bakat yang ia miliki secara turun-temurun dari orang tuanya akan sulit terwujud. Jika ia hidup bersama sekelompok serigala maka ia akan berjalan di atas kedua kaki dan tangannya. Dia akan berjalan dengan merangkak seperti Serigala. Jadi bakat dan pembawaan tidak berpengaruh kalau lingkungan tidak mengembangkannya.[41]
          Pandangan Islam lebih bercorak konvergensi daripada empiris dan nativis, karena mengakui adanya pengaruh internal berupa keimanan dalam diri dan pengaruh eksternal yang berupa kegiatan sosial dalam bermasyarakat.[42]
            Konsep fitrah memilki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan pada landasan al-Tauhid. Apa saja yang dipelajari oleh anak hendaknya tidak bertentangan dengan konsep al-Tauhid. Sebab al-Tauhid merupakan inti semua ajaran agama yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam hendaknya berisikan nilai-nilai keislaman yang pada akhirnya mengarah pada konsep al-Tauhid ini.
Selain itu, firah manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, minum, seks dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmani ini harus diarahkan dalam rangka mengaktualisasikan fitrah manusia[43].
Potensi dasar fitrah manusia harus ditumbuh kembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayat. Manusia diberi kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan potensi-potensi dasar fitrah yang dimilikinya. Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bias dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum tertentu yang menguasai alam, hukum-hukum yang menguasai benda-benda maupun manusia, yang tidak tunduk dan tidak tergantung pada kemauan manusia. Disamping itu, pertumbuhan dan perkembangan potensi dasar fitrah manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio kultural dan sejarah. Oleh karena itu maka minat, bakat dan kemampuan skill dan sikap manusia yang diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapinya bermacam-macam[44].
Proses kependikan yang terjadi pada manusia menurut ajaran Islam dipandang sebagai perkembangan alamiah pada diri manusia yang sudah ditetapkan oleh Allah berdasarkan sunnatullah.  Proses kependidikan yang ada pada akhirnya diharapkan mampu membina kepribadian manusia, baik demi  ultimate goal maupun tujuan-tujuan yang terdekat. Tujuan akhir pendidikan adalah kesempurnaan pribadi yang didasarkan pada asas  self-realisasi, yakni merealisasikan potensi-potensi yang sudah ada pada diri manusia baik berupa potensi moral, keterampilan maupun perkembangan jasmani[45].
Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba, yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya yakni “khalifah fil ardl”. Oleh karena itu, pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai: makhluk yang beriman, berpikir dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan proses pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan fitrahnya.
Memberdayakan potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian dengan
nilai-nilai yang mendasari fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani yang bersumber kepada Rab yang menciptakan manusia itu sendiri, sebagai zat yang maha mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan memperhatikan azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat sebagai  sunnatulkaun  pada pertumbuhan dan perkembanga manusia, juga memperhatikan situasi dan kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan kehidupan kelak.Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi
fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar
ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (Qs. As-Syams: 8, Adz-Zariyat: 56), yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi (Qs..(2): 30: (33): 72). Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, berpikir dan berkarya, sehat, kuat, dan berketerampilan tinggi untuk kemaslahatan diri, masyarakat, dan lingkungannya.
            Fitrah manusia merupakan potensi dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak lahir dan merupakan pusat dasar segala tindakan, yang berkembang secara menyeluruh dan bersifat dinamis-responsif setiap perkembangan lingkungan, menempatkan fitrah pada posisi sentral dalam memanusiakan manusia.

Kesimpulan
            Setiap manusia dilahirkan diatas fitrahnya. Fitrah manusia yang di bawa sejak lahir laksana “bibit unggul”. Ibarat tanaman, sekalipun bibitnya unggul, tapi jika di semai atau di tanam di tanah yang gersang dan tandus, maka tidak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dan sebaliknya, jika bibit unggul tersebut di semai atau di tanam di tanah yang subur, di pupuk, dirawat sebagai mana mestinya, maka akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Fitrah adalah bibit unggul, pendidikan Islam adalah tanah yang subur. Tidak berlebihan jika Pendidikan Islam dapat Mengembalikan Manusia pada Fitrahnya, karena fitrahnya di semai, di pupuk, di rawat dan dibesarkan di tanah pendidikan Islam yang subur, sehingga hasilnya bisa memanusiakan manusia.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul Kutub Misriyah. 1977)

Al-Rasyidin, Samsul Nizar , Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Press, 2005) , hal: 19

Ahmad Nurwajah, Tafsir Tarbawi, Hati yang Selamat Higga Kisah Luqman, (Bandung : Marja, 2007)

Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung, Al-Ma’arif.1989)

al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj; Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry) (Jakarta, Bulan Bintang. 1998)

Ali Ashraf , Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum). (Jakarta, Pustaka Firdaus. 1989).

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992).

An Naquib Al-Attas,  Konsep Pendidikan Dalam Islam.  (Bandung, Mizan, 1988),
Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi,  Tafsir al-Qurtubi. (Cairo, Durusy. Tt), hal. 15.

Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah.(Maktabah Syamilah).

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005).

Zuhairini. Metodik pendidikan Islam. (Malang, IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. 1950).

Rasyid  Ridho, Tafsir al-Manar. (Maktabah waqfiyah)

Syahminan Zaini. Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. (Jakarta, Pustaka al-Husna. 1986).

Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam  (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1993).

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. III)  (Bandung:  Mizan, 1996).

Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda Karya, 1993).

Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Gazali  (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986).

Samsul Nizar,  Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama: 2001)

Muhibbin Syah,  Perkembangan Pendidikan. (Bandung: Rosdakarya, 2005).

Tedi Priatna,  Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan Insaniah di Indonesia,  (Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 95-96.

 




[1]Lalu Muhammad Nurul Wathoni, mahasiswa program Doktor Universitas Islama Negeri Sulan Syarif Kasim Riau, NIM; 31694104589, Program studi Pendidikan Agama Islam.
[2] H.R. Muslim. No.
                [3] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), hal. 141.
[4] Al-Rasyidin & H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, : (Jakarta : Ciputat Press, 2005), hal: 19
[5] Musa Asy’ari,
[6] Al-Rasyidin & H. Samsul Nizar, opcit, hal: 17-18
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. III)  (Bandung:  Mizan, 1996), hal. 283-284
[8] Ibid.
[9] Ahmad Nurwajah, Tafsir Tarbawi, Hati Yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (Bandung : Marja : 2007), hal. 86.
[10] Tedi Priatna,  Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan Insaniah di Indonesia,  (Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 95-96.
[11] Abdul Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 13-19
[12] Lihat Q.S. al A’raf : 179.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992), hal. 5
[14] An Naquib Al-Attas,  Konsep Pendidikan Dalam Islam.  (Bandung, Mizan, 1988), hal. 12.
[15] Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi,  Tafsir al-Qurtubi. (Cairo, Durusy. Tt), hal. 15.
[16]  Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah.(Beirut, Dar al-Masyriq. 1960), hal. 6
[17] FathurRazi. Tafsir Fathur Razi. (Teheran, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. tt), hal. 12
[18] Zuhairini. Metodik pendidikan Islam. (Malang, IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. 1950), hal.17.
[19]  Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul Kutub Misriyah. 1977), hal. 32
[20] Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar. (Mesir, Dar al-Manar, 1373 H), hal. 42
[21] Ibid, hal. 42.
[22] An Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung, Mizan. 1988), hal.17.
[23] Ibid, hal. 19
[24] al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah, terj; Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry, (Jakarta, Bulan Bintang. 1998), hal. 32
[25]  Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung, Al-Ma’arif.1989), hal. 33
[26] Ali Ashraf , Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum). (Jakarta, Pustaka Firdaus. 1989), hal. 29..
[27] Al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah wal Falsafatuha, (Mesir, Isa al-Baby al-Halaby.Qahirah, 1969), hal. 11
[28] Syahminan Zaini. Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. (Jakarta, Pustaka al-Husna. 1986), hal. 19
                [29]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam  (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 1.
                [30]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Gazali  (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986), hal. ix.
                [31] Sebab-sebab yang mendorong al-Gazali sangat memperhatikan keagamaan ialah karena pada waktu itu kerusakan akhlak orang banyak telah merajalela (yang ditimbulkan oleh gerakan yang merusak) agama seperti gerakan yang dipimpin oleh Al-Hasan bin Shabah. Al-Hasan Shabah adalah orang yang memimpin sekte ismailiyah yang pandangan filsafatnya diambil dari Neo-Platonisme. Ia dan pengikutnya menggunakan cara-cara kekerasan dan intimidasi yang mengakibatkan timbulnya kekejaman yang dikenal dengan Hassyayin yakni orang-orang yang meminum hasyis atau daun ganja yang memabukkan. Lihat Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaranatun Fi Tarbiyatil Islamiyah, diterjemahkan oleh M. Arifin dengan judul Perbandingan Pendidikan Islam  (Cet. II; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hal. 134.

[32] Samsul Nizar,  2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, hal: 135-138
[33] Samsul Nizar, hal: 85
[34] Al-Rasyidin , H. Samsul Nizar, opcit, hal: 21-23
[35] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 92-95
[36]Ibid., h. 45.
[37]]Lihat Abuddin Nata, Akhlak…, op. cit., h. 166 – 167.
[38] Muhibbin Syah, Perkembangan Pendidikan. (Bandung: Rosdakarya, 2005), hal. 43-44.
                [39]Ibid., hal. 98-99.
                [40]ibid, hal. 46.
                [41]Ibid. Hal. 47.
[42]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), hal. 60.
[43] Muhaimin dan Abdul Mujib, ibid, hal. 28-29
[44] Muhaimin, ibid. Hal.  12-19
[45] Mohammad Noor Syam, ibid, hal. 179

0 komentar:

Posting Komentar