PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM: Fitrah dan Potensi Manusia
dalam al-Qur’an,
dan Tujuan Pendidikan Islam
Oleh: Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.[1]
Dosen UMRI, Dosen LB STIT
Hidayatullah
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan tentang fithrah
dan Potensi manusia. Apakah fithrah dan potensi manusia itu baik atau
jahat? Disebut fithrahnya itu baik, faktanya banyak manusia yang jahat, dan
sebaliknya dibilang fithrahnya jahat, tidak sedikit manusia yang baik. Maka, pendidikan
dalam Islam sebagai lahan untuk menyemai bibit unggul fithrah bertujuan agar
manusia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesuai dengan fithrahnya.
Pendahuluan
Allah Swt menciptakan
manusia dalam keadaan yang paripurna. “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya” (QS. At Tiin : 4) .Modal manusia ketika
dilahirkan ke dunia seluruhnya sama yaitu tidak mengetahui sesuatu apapun, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S. An Nahl : 78). Dan seluruh manusia
dilahirkan diatas fitrahnya. “Setiap anak dilahirkan di
atas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau
Majusi[2]. Allah Swt
menciptakan manusia tidak untuk main-main, tetapi ada maksud dan tujuanya. “
Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. Al
Mu’minun : 115). Manusia mengemban tugas mengabdi kepada Allah. “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzariat :
56), dan
fungsinya sebagai khalifah fil ard.
Manusia diciptakan oleh Allah swt. selain sebagai hamba juga
sebagai penguasa (khalifah) di atas bumi. Sebagai hamba dan khalifah, manusia
telah dibekali kemampuan jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (mental
psikologis) yang dapat ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi
alat yang berdaya guna untuk menjalankan tugas pokoknya di atas dunia ini.
Namun proses menumbuh kembangkan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah
menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik sesuai kehendak
pencipta-Nya, karena Allah telah menggariskan bahwa di dalam diri manusia
terdapat kecenderungan dua arah, yaitu ke arah perbuatan fisik yang menyimpang
dari peraturan dan ke arah ketakwaan yaitu menaati peraturan atau perintah
Allah swt.[3]
Tugas Manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah), dituntut untuk
mengabdi secara totalitas kepada Allah SWT. dengan penuh keikhlasan. Islam
menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam
semesta ini harus bernilai ibadah, ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan redho-Nya[4].
Musa
Asy’arie[5] mengatakan
bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan yang
kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada
kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hukum-hukum
Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari
setiap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi
bagian dari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias
terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama.
Yang mengakui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan
manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al- Qur’an disebabkan karena
telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia tak kala ia berada di alam
arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya,
tidak bisa dipisahan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah
berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya.
Dan manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh. Al-Qur’an
menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Diantara
amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi. Karena
amat mulianya manusia mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan
sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Salah satu aplikasi dari kekhalifahan
manusia di muka bumi adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta
tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral manusia untuk
mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam ini untuk
memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan
martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk
kepada-Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta[6].
Aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan proses
pemanusiaan manusia (humanizing of
human being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara
normatif berkembang lebih baik. Upaya
membantu manusia berkembang normatif lebih baik dimulai dari proses merumuskan
hakikat manusia. Sebab, tanpa pemahaman yang benar tentang apa, siapa, mengapa,
dan untuk apa manusia, maka pendidikan akan gagal mewujudkan manusia yang
dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang hakikat manusia dengan
segala potensi yang dimilikinya, agar manusia tidak keluar dari fitrah
kemanusiaannya.
A. Fitrah (Potensi) Manusia
Kata
( فطرة )
diambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Kemudian ditambahkan
bahwa fitrah adalah “Mencipta sesuatu pertama kali tanpa ada contoh
sebelumnya”. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal
kejadian, atau bawaan sejak lahir. Para ulama berbeda pendapat tentang maksud
kata fitrah pada ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah swt,
yang ditanamkan Allah dalam diri setiap insan.[7]
Al-Biqa’I tidak membatasi arti
fitrah pada keyakinan tentang keesaan Allah swt. Menurutnya, yang dimaksud
dengan fitrah adalah ciptaan pertama dan tabiat awal yang Allah ciptakan manusia
atas dasarnya. Al-Biqa’I kemudian mengutip pendapat Imam al-Ghazali yang
menulis dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din bahwa “ Setiap manusia telah diciptakan
atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui
persoalan-persoalan sebagaimana adanya, yakni bagaikan tercakup dalam dirinya
karena adanya potensi pengetahuan.” Al-Biqa’I kemudian menjelaskan maksud
al-Ghazali itu bahwa yang dimaksud adalah kemudahan mematuhi perintah Allah
serta keluhuran budi pekerti yang merupakan cerminan dari fitrah Islam.[8] Dengan
demikian yang dimaksud dengan fitrah adalah penerimaan kebenaran dan kemantapan
mereka dalam penerimaannya.
Kata
Fitrah terulang sebanyak 28 kali dalam al Qur’an di surat dan ayat yang
berbeda, 14 kali diantaranya berbicara tentang penciptaan manusia[9]. Menurut
Tedi Priatna[10], fitrah
mengandung pengertian asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar. pengertian dalam konteks penciptaan manusia
baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian
tentang fitrah manusia. Seperti yang tersurat dalam Surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا
تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ
لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”2 (Q.S. Ar-Rum:
30)
Abdul
Mujib Muhaimin[11],
menjelaskan pemaknaan fitrah, yaitu ; Pertama, Fitrah yang berarti suci
(thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah Islam (dienul
Islam), pemaknaan tersebut menunjukan bahwa tujuan diciptakanya manusia
adalah penyerahan diri kepada sang pencipta, tanpa beragama Islam berarti telah
keluar dari fitrahnya. Ketiga, Fitrah mengakui keesaan Allah (at-tauhid),
manusia semenja lahir membawa potensi tauhid. yaitu kecenderungan manusia untuk
meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut.
Keempat, Fitrah selamat (al salamah), fitrah secara potensial berati
keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan strukturnya. Iman dan kufurnya
baru tumbuh setelah manusia mencapai aqil balig. Kelima, Fitrah
kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran. Secara fitriah manusia
lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun pencarian itu
masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam. Adakalanya manusia
telah menemukan kebenaran, karena ada faktor ektrnal yang mempengryhunya, maka
ia berpaling dari kebenaran. Keenam, Fitrah ikhlas. Manusia lahir membawa
sifat-sifat yang baik, diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam
melakukan kreasi. Pemaknaan tulus ini merupakan konsekwensi fitrah manusia yang
harus menjemput agama tauhid. Dengan bertauhid berati seseorang telah
menghambakan diri kepada dzat yang mutlak Allah Yang aha kuasa sekaligus
menghilangkan segala dominasi yang temporal atau nisbi. Ketujuah, Fitrah dasar manusia untuk beribadah dan
ma’rifatullah. (mengenal Alah). Dalam pemaknaan ini, aktivitas manusia dan
pengenalan manusia kepada Allah merupakan tolak ukur dan indikator pemaknaan kefitrahanya.
Dan kedelapan, Fitrah tabiat alami yang dimiliki manusia (human
nature). Watak atau tabiat merupakan daya dari daya nafs kulliyun yang
menggerakan jasad manusia. Bedanya fitrah manusia pasti sama mempunyai potensi
bertauhid, sedangkan tabiat merupakan sesuatu yang ditantukan Allah melalui
ilmunya.
Dari gambaran
tersebut dapat dipahami bahwa manusia memiliki citra baik, dan menunjukan
superioritas manusia dibanding dengan malaikat. Kalau malaikat terstruktur
sebagai makhluk yang baik, melakukan pekerjaanya sesuai dengan yang ditugaskan
Allah kepadanya.
مَلَٰٓئِكَةٌ
غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا
يُؤۡمَرُونَ ٦
Artinya: “... penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”
(QS. At Tahrim : 6).
Berbeda dengan manusia yang diberi
potensi “ fitrah sebagai bibit unggul”. Persoalanya, Apakah fitrah sebagai
bibit unggul tersebut akan “ditanam” di tanah pendidikan Islam yang
subur, sehingga bibit fitrah tersebut akan tumbuh menjadi baik sesuai kehendak
yang memberi-Nya? Ataukah bibit unggul fitrah tersebut mau ditanam di tanah
yang gersang, sehingga sekalipun bibitnya unggul, tapi jika ditanam di tanah
yang tandus, maka tidak akan tubuh dengan baik. Wujudnya manusia, tapi
keberadaanya lebih sesat dari pada binatang[12].
B. Pendidikan
Islam
Pengertian pendidikan
dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan konotasi istilah
“tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara
bersama-sama, sekalipun ahli tafsir
berbeda-beda dalam menafsirkan ketiga istilah tersebut[13].
Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan
masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan
satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup
pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.
Kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar
dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama
dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur’an tidak
ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu
yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya
dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai
konotasi makna yang berbeda-beda[14].
Pertama, Menurut al-Qurtubi, bahwa;
arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha
pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan[15].
Kedua, Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik,
memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan[16].
Ketiga, Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang
seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang
berarti (pertumbuhan dan perkembangan)[17].
Keempat, al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata at-Tarbiyah
dengan rabban dan rabba dengan memberi
makan, memelihara dan mengasuh[18]. Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka
kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki,
menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan
berarti pula mendidik.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan at-ta’lim,
para fakar memberikan pengertian diantaranya, Abdul Fattah Jalal,
mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan,
pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian
atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada
dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa
yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya . At-ta’lim menyangkut
aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta
pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang
terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak
mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang
mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta
memanfaatkanya dalam kehidupan[19]. Munurut
Rasyid Ridho[20], at-ta’lim adalah
proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah
al-Baqarah: 31
وَعَلَّمَ
ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ
أَنۢبُِٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١
Artinya: “Dan dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah
kepada Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap
sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah
kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih
luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang
khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi,
anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus
pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak[21].
Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim
disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar,
namun bila at-ta’lim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai
arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem[22].
Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu
ruang lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah
tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan
juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education,
yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi
sumbernya bukan dari wahyu.
Sementara pengunaan at-ta’dib, menurut
Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep
inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan,
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan
sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan
dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya .
Selanjutnya term ‘addaba’ yang juga berarti
mendidik dan kata ‘ta’dib’ sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi “Tuhanku
telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”[23]
Pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian
at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim
lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan
upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja,
sedangkan at-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan[24].
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai
suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk
beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. Dari berbagai literatur
terdapat berbagi macam pengertian pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy,
pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan
bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola
pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan
manis tutur sapanya. Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum
islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses
penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem
penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan
pendidikan tersebut.
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang
membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian
disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke
dalam diri manusia”.
Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia,
tentang tempattempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia
saja. Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas
diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam
At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan
pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena
pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut
Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa
tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat
dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi
jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman
yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan
tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan”
merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa
pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan
belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal
maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah
kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga,
kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan
dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan
(ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara
positif, dipujikan serta terpuji.
C. Tujuan pendidikan islam
Tujuan pendidikan adalah
perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalamai proses
pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun
kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai
arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai
pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
Sebagai pendidikan yang nota benenya Islam, maka
tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun
rumusan tujuan pendidikan Islam menurut beberapa pakarnya, diantaranya : Ahmad
D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identik dengan tujuan hidup orang
muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah.
Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya[25]. Dr. Ali
Ashraf; ‘tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri
secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan
pada umunya”[26]
Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral
refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari
pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)[27]”
Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang
berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak,
berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin
yang tinggi dan berpendirian teguh”[28].
Muhammad Athiyah al-Abrasyi
mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti/akhlak adalah jiwa dari pendidikan
Islam dan mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari
pendidikan Islam dengan tidak mengabaikan pendidikan jasmani, ilmu atau
segi-segi praktis lainnya. Artinya bahwa pendidikan akhlak harus seimbang
dengan pendidikan lainnya. Pendidikan akhlak menurutnya adalah sama dengan
menanamkan fadhilah (keutamaan), membiasakan sopan santun demi
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan
jujur. [29]
Dalam
pandangan al-Gazali, sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman
mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mengarah pada realisasi tujuan
keagamaan dan akhlak, demikian pula fadhilah
(keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan penting dalam
pendidikan.[30]
Selanjutnya al-Gazali menegaskan bahwa hendaknya seorang pendidik mengarahkan
anak didiknya kepada tujuan mempelajari ilmu adalah taqarrub kepada
Allah swt. bukannya mengarah kepada pimpinan dan kemegahan.[31]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pada
dasarnya manusia cenderung ke arah yang baik sesuai dengan fitrah dan akal
sehat yang dimiliki. maka tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang
sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
D. Fitrah Manusia dan Pendidikan
Islam
Konon, sebelum penciptaannya manusia
pernah bersaksi kepada Allah Swt. bahwa Dia adalah Tuhan mereka (Al-A’raf:172).
Janji ini menjadi fitrah manusia, bahwasanya ketika jiwa mereka ditiupkan dalam
rahim dan lahir ke dunia ini, mereka dalam keadaan patuh dan tunduk kepada
Allah Swt. Hal ini dibuktikan dengan ketaataan mereka terhadap aturan kosmos
Allah SWT. Baru setelah mereka berintekrasi dengan ayah bunda serta lingkungan,
mereka tersilap dari kesaksian yang mereka berikan dahulu. Akhirnya
melencenglah mereka dari fitrah penciptaan. Begitu kata Rasullullah SAW dalam
haditsnya. Fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia memiliki kebutuhan. Menurut
Zakiyah Drajat ada dua kebutuhan peserta didik[32]
yaitu:
- Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, bebas, mengenal, dan rasa sukses
- Kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pangan. Dalam pendidikan berupaya mengembangkan dan memenuhi kebutuahn tersebut secara integral agar berkembang.
Ada tiga alasan
penyebab awal kenapa manusia memerlukan pendidikan, yaitu: pertama,
dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan nilai kebudayaan antara
generasi tua kepada generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat
tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai
intelektual, seni, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam
kehidupan manusia sebagai individu, memiliki kecendrungan untuk dapat mengembnagkan
potensi-potensi yang ada dalamdirinyaseoptimal mungkin. Untuk maksud tersebut,
manusia perlu suatu sarana. Saran itu adalah pendidikan. Ketiga,
konvergensi dari kedua tuntutan di atas yang pengaplikasiannya adalah lewat
pendidikan[33].
Para ahli pendidikan Muslim pada
umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan
pada konsepsi dasar tentang manusia. Ada dua implikasi penting dalam
hubungannya dengan pendidikan Islam[34],
yaitu:
1. Karena manusia adalah
makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka
konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan
pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistim pendidikan Islam harus dibangun
diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah
sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara intelektual dan
terpuji secara moral.
- Al-quran menjelakan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan tugas ini Allah membekali dengan seperagkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermamfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.
Kedua hal di atas harus menjadi acuan dasar dalam
menciptakan dan mengembangkan sistem pedidikan Islam masa kini dan masa depan.
Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung
pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep
filsafat penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta ini.
Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana yang
kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia
sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan
sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar
sebagai khalifah dan taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd.
Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka
konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus
sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui
pendekatan kewahyuan, empirik keilmuwan dan rasional filosofis. Yang harus
dipahami bahwa pendekatan keilmuwan dan filosofis hanyalah sebuah media untuk
menalar pesan-pesan Tuhan, baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual
(Qur’aniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual (kauniyah) yang
telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.
Dalam buku lain ditemukan bahwa pendidikan merupakan
gejala dan kebutuhan manusia. Dalam artian bahwa bilamana anak tidak
mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan menjadi manusia sesungguhnya,
dalam artian tidak sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi fungsinya
sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Hanya pendidikanlah
yang dapat memanusiakan dan membudayakan manusia[35].
Untuk mengembangkan potensi atau kemampuan dasar, maka
manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong,
dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang
secara wajar dan secara optimal, sehingga kehidupannya kelak dapat berdaya guna
dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial.
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan bagi
manusia, ada tiga aliran yang sangat populer, yakni aliran Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi.
Doktrin aliran empirisme yang amat masyhur adalah “Tabula
Rasa,” sebuah istilah bahasa latin yang berarti batu tulis atau lembaran
kosong. Tabula rasa menekankan pentingnya pengalaman, lingkungan dan
pendidikan. Artinya perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada
lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak
lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Aliran empirisme dengan tokoh utamanya
adalah John Locke (1632-1704). Aliran ini berpendapat jika seorang peserta
didik memperoleh kesempatan yang memadai
untuk belajar ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi seorang politisi,
karena ia memiliki pengalaman belajar di bidang politik. Dia tidak akan pernah
menjadi pemusik, walaupun orang tuanya pemusik sejati.[36]
Suatu
prinsip yang dikemukakan oleh John Locke sebagai konsekuensi dari teorinya
tentang tabula rasa adalah bahwa setiap tingkah laku pada dasarnya dipelajari.
Karena itu tingkah laku dapat diubah melalui pengalaman baru.
Dengan
demikian jelaslah pandangan empirisme bahwa pendidikan dan perkembangan anak
ditentukan oleh faktor lingkungan, baik melalui pengalaman yang diperolehnya
dengan bebas maupun melalui program pendidikan.
Kebalikan dari aliran empirisme adalah aliran
Nativisme berpandangan bahwa yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah faktor pembawaan. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau
kecenderungan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi
baik.[37] Tokoh
utama aliran ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof
Jerman. Ia menganut aliran filsafat nativisme, dikenal juga dengan aliran
pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Karena
penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh
pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh sama
sekali.[38]
Berdasarkan
pandangan tersebut di atas maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh peserta
didik sendiri. Bagi nativisme lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan
tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Perkembangan anak merupakan
hasil perubahan dari sifat-sifat pembawaan itu sendiri. Secara ekstrem dapat
dikatakan bahwa paham ini tidak mempercayai pengaruh pendidikan terhadap
perkembangan anak.
Sedangkan
aliran konvergensi berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah
disertai dengan pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Dalam proses
perkembangannya faktor pembawaan dan faktor lingkungan sama-sama mempunyai
peranan yang sangat penting. Tokoh utamanya adalah William Stern
(1871-1938). Dia mengatakan bahwa bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan
perkembangan bakat itu. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak akan menghasilkan
perkembangan anak yang optimal kalau pada diri anak tidak terdapat bakat yang
diperlukan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan anak yang diharapkan.
William Stern berkesimpulan bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari
pembawaan dan lingkungan.[39]
Dalam
menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, William Stern dan
para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan atau
pengalaman, juga tidak berpegang hanya pada pembawaan tetapi berpegang pada
kedua faktor tersebut sama pentingnya. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa
jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebalikya, faktor pengalaman tanpa
faktor bakat atau pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia sesuai yang
diharapkan.[40]
Untuk
lebih kongkritnya dapat diambil sebuah contoh seorang anak yang normal pasti
memiliki bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya, tetapi apabila anak
tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya dibuang ke
hutan belantara dan tinggal bersama hewan maka bakat yang ia miliki secara
turun-temurun dari orang tuanya akan sulit terwujud. Jika ia hidup bersama
sekelompok serigala maka ia akan berjalan di atas kedua kaki dan tangannya. Dia
akan berjalan dengan merangkak seperti Serigala. Jadi bakat dan pembawaan tidak
berpengaruh kalau lingkungan tidak mengembangkannya.[41]
Pandangan
Islam lebih bercorak konvergensi daripada empiris dan nativis, karena mengakui
adanya pengaruh internal berupa keimanan dalam diri dan pengaruh eksternal yang
berupa kegiatan sosial dalam bermasyarakat.[42]
Konsep fitrah memilki
tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan pada landasan al-Tauhid. Apa saja yang
dipelajari oleh anak hendaknya tidak bertentangan dengan konsep al-Tauhid.
Sebab al-Tauhid merupakan inti semua ajaran agama yang dianugerahkan Allah
kepada manusia. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam hendaknya berisikan
nilai-nilai keislaman yang pada akhirnya mengarah pada konsep al-Tauhid ini.
Selain itu, firah manusia juga mempunyai
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, minum, seks dan lain
sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmani ini harus diarahkan dalam rangka
mengaktualisasikan fitrah manusia[43].
Potensi
dasar fitrah manusia harus ditumbuh kembangkan secara optimal dan terpadu
melalui proses pendidikan sepanjang hayat. Manusia diberi kebebasan untuk
berikhtiar mengembangkan potensi-potensi dasar fitrah yang dimilikinya. Namun
dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bias dilepaskan dari adanya
batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum tertentu yang menguasai alam,
hukum-hukum yang menguasai benda-benda maupun manusia, yang tidak tunduk dan
tidak tergantung pada kemauan manusia. Disamping itu, pertumbuhan dan
perkembangan potensi dasar fitrah manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio kultural dan
sejarah. Oleh karena itu maka minat, bakat dan kemampuan skill dan sikap
manusia yang diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapinya
bermacam-macam[44].
Proses kependikan yang terjadi pada manusia menurut
ajaran Islam dipandang sebagai perkembangan alamiah pada diri manusia yang
sudah ditetapkan oleh Allah berdasarkan sunnatullah. Proses kependidikan yang ada pada akhirnya
diharapkan mampu membina kepribadian manusia, baik demi ultimate goal maupun tujuan-tujuan yang
terdekat. Tujuan akhir pendidikan adalah kesempurnaan pribadi yang didasarkan
pada asas self-realisasi, yakni
merealisasikan potensi-potensi yang sudah ada pada diri manusia baik berupa
potensi moral, keterampilan maupun perkembangan jasmani[45].
Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni
memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran
dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba, yang siap
menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya yakni “khalifah fil ardl”. Oleh
karena itu, pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi
manusia sebagai: makhluk yang beriman, berpikir dan berkarya untuk kemaslahatan
diri dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan
proses pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan
fitrahnya.
Memberdayakan
potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian dengan
nilai-nilai yang
mendasari fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani yang bersumber kepada
Rab yang menciptakan manusia itu sendiri, sebagai zat yang maha mengetahui akan
segala sifat dan tabiat manusia. Dengan mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka
dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan memperhatikan azas-azas
fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat sebagai sunnatulkaun
pada pertumbuhan dan perkembanga manusia, juga memperhatikan situasi dan
kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan kehidupan kelak.Islam sebagai
agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan
hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi
fitrah manusia
yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar
ia dapat
memfungsikan dirinya sebagai hamba (Qs. As-Syams: 8, Adz-Zariyat: 56), yang
siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka
bumi (Qs..(2): 30: (33): 72). Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu
proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan
bertakwa, berpikir dan berkarya, sehat, kuat, dan berketerampilan tinggi untuk
kemaslahatan diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Fitrah manusia merupakan potensi
dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak lahir dan merupakan pusat dasar
segala tindakan, yang berkembang secara menyeluruh dan bersifat
dinamis-responsif setiap perkembangan lingkungan, menempatkan fitrah pada
posisi sentral dalam memanusiakan manusia.
Kesimpulan
Setiap manusia dilahirkan diatas
fitrahnya. Fitrah manusia yang di bawa sejak lahir laksana “bibit unggul”.
Ibarat tanaman, sekalipun bibitnya unggul, tapi jika di semai atau di tanam di
tanah yang gersang dan tandus, maka tidak akan tumbuh dan berkembang
sebagaimana yang diharapkan. Dan sebaliknya, jika bibit unggul tersebut di
semai atau di tanam di tanah yang subur, di pupuk, dirawat sebagai mana
mestinya, maka akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Fitrah adalah bibit
unggul, pendidikan Islam adalah tanah yang subur. Tidak berlebihan jika
Pendidikan Islam dapat Mengembalikan Manusia pada Fitrahnya, karena fitrahnya
di semai, di pupuk, di rawat dan dibesarkan di tanah pendidikan Islam yang
subur, sehingga hasilnya bisa memanusiakan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Fattah Jalal, Min
al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul Kutub Misriyah. 1977)
Al-Rasyidin, Samsul Nizar , Filsafat Pendidikan
Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat
Press, 2005) , hal: 19
Ahmad Nurwajah, Tafsir Tarbawi, Hati yang Selamat Higga
Kisah Luqman, (Bandung : Marja, 2007)
Ahmad D Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung, Al-Ma’arif.1989)
al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj;
Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry) (Jakarta, Bulan Bintang. 1998)
Ali Ashraf , Horison
Baru Pendidikan (Islam dan Umum). (Jakarta, Pustaka Firdaus. 1989).
Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992).
An Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung,
Mizan, 1988),
Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari
al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi. (Cairo, Durusy. Tt), hal. 15.
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah.(Maktabah
Syamilah).
Muzayyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2005).
Zuhairini. Metodik
pendidikan Islam. (Malang, IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. 1950).
Rasyid Ridho, Tafsir
al-Manar. (Maktabah waqfiyah)
Syahminan Zaini. Prinsip-Prinsip
Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. (Jakarta, Pustaka al-Husna. 1986).
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam (Cet. VII; Jakarta:
Bulan Bintang, 1993).
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. III) (Bandung:
Mizan, 1996).
Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam
Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda
Karya, 1993).
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Gazali (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986).
Samsul Nizar, Pengantar
Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama:
2001)
Muhibbin Syah, Perkembangan
Pendidikan. (Bandung: Rosdakarya, 2005).
Tedi Priatna, Reaktualisasi
Paradigma Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan
Insaniah di Indonesia, (Bandung,
Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 95-96.
[1]Lalu Muhammad Nurul Wathoni, mahasiswa program Doktor Universitas
Islama Negeri Sulan Syarif Kasim Riau, NIM; 31694104589, Program studi
Pendidikan Agama Islam.
[2] H.R. Muslim. No.
[4] Al-Rasyidin & H. Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, : (Jakarta
: Ciputat Press, 2005), hal: 19
[5] Musa Asy’ari,
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. III) (Bandung:
Mizan, 1996), hal. 283-284
[8] Ibid.
[9] Ahmad Nurwajah, Tafsir Tarbawi, Hati Yang Selamat
Hingga Kisah Luqman, (Bandung : Marja : 2007), hal. 86.
[10] Tedi Priatna, Reaktualisasi
Paradigma Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan
Insaniah di Indonesia, (Bandung,
Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 95-96.
[11] Abdul Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan
Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda
Karya, 1993), hal. 13-19
[12] Lihat Q.S. al A’raf : 179.
[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992), hal. 5
[14] An Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam
Islam. (Bandung, Mizan, 1988), hal. 12.
[15] Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari
al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi. (Cairo, Durusy. Tt), hal. 15.
[16] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah.(Beirut,
Dar al-Masyriq. 1960), hal. 6
[17] FathurRazi. Tafsir Fathur Razi. (Teheran,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah. tt), hal. 12
[18] Zuhairini. Metodik pendidikan Islam.
(Malang, IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. 1950), hal.17.
[19] Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli
al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul Kutub Misriyah. 1977), hal. 32
[20] Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar. (Mesir,
Dar al-Manar, 1373 H), hal. 42
[21] Ibid, hal. 42.
[22] An Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam
Islam. (Bandung, Mizan. 1988), hal.17.
[24] al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah
al-Islamiyah, terj; Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry, (Jakarta, Bulan
Bintang. 1998), hal. 32
[25] Ahmad D Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung, Al-Ma’arif.1989), hal. 33
[26] Ali Ashraf , Horison Baru Pendidikan (Islam
dan Umum). (Jakarta, Pustaka Firdaus. 1989), hal. 29..
[27] Al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah
al-Islamiyah wal Falsafatuha, (Mesir, Isa al-Baby al-Halaby.Qahirah, 1969),
hal. 11
[28] Syahminan Zaini. Prinsip-Prinsip Dasar
Konsepsi Pendidikan Islam. (Jakarta, Pustaka al-Husna. 1986), hal. 19
[31] Sebab-sebab
yang mendorong al-Gazali sangat memperhatikan keagamaan ialah karena pada waktu
itu kerusakan akhlak orang banyak telah merajalela (yang ditimbulkan oleh
gerakan yang merusak) agama seperti gerakan yang dipimpin oleh Al-Hasan bin
Shabah. Al-Hasan Shabah adalah orang yang memimpin sekte ismailiyah yang
pandangan filsafatnya diambil dari Neo-Platonisme. Ia dan pengikutnya
menggunakan cara-cara kekerasan dan intimidasi yang mengakibatkan timbulnya
kekejaman yang dikenal dengan Hassyayin yakni orang-orang yang meminum
hasyis atau daun ganja yang memabukkan. Lihat Ali al-Jumbulati Abdul Futuh
at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaranatun Fi Tarbiyatil Islamiyah,
diterjemahkan oleh M. Arifin dengan judul Perbandingan Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002),
hal. 134.
[32] Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar
Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, hal: 135-138
[33] Samsul Nizar, hal: 85
[34] Al-Rasyidin , H. Samsul Nizar, opcit, hal:
21-23
[35] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 92-95
[38] Muhibbin Syah, Perkembangan Pendidikan.
(Bandung: Rosdakarya, 2005), hal. 43-44.
[42]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), hal. 60.
[43] Muhaimin dan Abdul Mujib, ibid, hal. 28-29
[44] Muhaimin, ibid. Hal. 12-19
[45] Mohammad Noor Syam, ibid, hal. 179
0 komentar:
Posting Komentar