Pages

Subscribe:

Labels

Tampilkan postingan dengan label Kajian Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Islam. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Oktober 2016

JANGAN MENGABAIKAN AMALAN SUNNAH

JANGAN MENGABAIKAN AMALAN SUNNAH
Allah menciptakan kita adalah untuk satu tujuan saja yaitu mengabdi atau beribadah kepadaNya. Tidak ada kegunaan yang lain.  Ketahuilah bahwa amalan atau ibadah  kita tidaklah memberi manfaat  kepada Allah. Ibadah atau amal kebaikan apapun yang kita lakukan tidak menambah kemuliaan dan keagungan Allah sedikitpun. Sungguh ibadah yang kita lakukan adalah untuk kebaikan dan keselamatan bagi diri kita sendiri di dunia dan sampai ke akhirat. 
Allah berfirman : “In ahsantum ahsantum li anfusikum, wain asa’tum falaha” Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat keburukan maka (akibat keburukan) itu untuk dirimu. (Q.S al Isra’ 7)
Untuk beribadah kepada Allah dengan benar maka Allah melalui RasulNya telah mengajarkan kepada kita cara caranya dengan lengkap. Jadi tidaklah diperkenankan kita beribadah atau beramal sesuai dengan yang kita mau atau yang baik menurut kita. Rasulullah bersabda :“ Man ‘amila ‘amalan laisa lahu amruna fahuwa raddun”  Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami maka (amalnya itu) tertolak. (H.R Imam Muslim).
 
Ibadah atau amalan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita ada yang wajib dan ada pula yang sunnah atau tidak wajib. Contohnya adalah perintah shalat ada shalat wajib dan ada pula shalat yang tidak wajib. Ada puasa wajib  ada pula puasa sunnah. Zakat adalah wajib tapi bersedekah atau berinfak adalah tidak wajib. Ibadah haji wajib bagi yang mampu sekali selama umurnya tapi ada  ibadah umrah yang tidak wajib dan yang lainnya.
Lalu kenapa ada ibadah yang wajib dan ada pula ibadah yang tidak wajib. Itu adalah karena :
Pertama : Tanda kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya. Kita diperintahkan melakukan yang wajib tapi diberi pula kesempatan untuk mendapatkan tambahan pahala melalui amalan amalan sunnah sehingga kita bisa mendapat kedudukan yang semakin tinggi disisi Allah dengan ibadah ibadah sunnah.
Kedua : Sangatlah besar kemungkinan amalan wajib yang kita lakukan banyak kekurangannya. Lalu Allah beri kesempatan untuk menutup kekurangan itu dengan amalan yang tidak wajib atau amalan amalan sunnah. 
Manfaat amalan sunnah
Pertama : Menutup kekurangan amalan wajib
Rasulullah bersabda :“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak?
Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang  ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.”(H.R Imam Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Kedua : Penghapus dosa
Setiap amalan yang dilakukan seorang hamba akan diberikan ganjaran berupa pahala yang banyak. Selain itu amalan yang kita lakukan juga bermanfaat untuk menghapus dosa.
Ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu yaitu pada suatu kali : “Ada seorang laki-laki yang pernah mencium seorang wanita (yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut.
Lalu Allah azza wa jalla menurunkan firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. (QS. Hud: 114). Kemudian orang itu bertanya : Ya Rasulullah, apakah ini khusus untukku? Beliau menjawab: Untuk umatku seluruhnya. (H.R Imam Bukhari)
Ketiga : Mendapatkan kecintaan Allah.
Diantara keutamaan melakukan amalan amalan sunnah yang tidak diwajibkan adalah sebagai pendekatan diri kepada Allah Ta’ala sehingga mendatangkan kecintaan-Nya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda : “Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku melindunginya.” (H.R Imam Bukhari)

Itulah sebagian manfaat yang bisa diperoleh seorang hamba jika mengerjakan amalan amalan  sunnah yang sangat dianjurkan. Oleh karenanya sungguh merugi orang orang yang mengabaikannya padahal dia berkemampuan untuk melakukannya.
Memang ada diantara saudara saudara kita yang  terkadang melalaikan amalan amalan sunnah. Mereka berkata : Ah inikan cuma amalan sunnah. Jika dikerjakan memang berpahala tapi jika tidak dikerjakan tidak apa apa, tidak  berdosa. Perkataan ini memang  ada sedikit benarnya karena begitulah makna sunnah menurut ulama fiqih. Tapi ketahuilah wahai saudaraku, bahwa suatu amalan sunnah jika dilakukan maka Allah menjanjikan pahala yang besar dan jika tidak dikerjakan akan rugi karena kehilangan tambahan pahala dan kebaikan.
Oleh karena itu mari kita senantiasa mengiringi dan melengkapi amalan amalan wajib kita dengan amalan amalan sunat. Shalat fardhu kita lengkapi dengan shalat sunnah, Zakat yang wajib kita lengkapi dengan infak dan sadaqah, puasa ramadhan kita tambah dengan puasa sunah diluar ramadhan, ibadah haji kita tambah dengan umrah dan yang lainnya sesuai kemampuan kita. 
Wallahu A’lam.

Rabu, 21 September 2016

KONSEPSI TENTANG MANUSIA DARI BERBAGAI PANDANGAN

Fenomena di dunia ini sesungguhnya terkadang menyimpang berbagai pertanyaan. Terutama sekali bila kita dihadapkan pada problematika carut marutnya kehidupan antar umat manusia. sebagai contoh, serangan yang dilakukan rezim zionis Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu yang lalu. Ribuan manusia di Gaza menjadi korban dalam kejahatan tersebut, sementara yang melakukan pembantaian itu adalah tentara zionis Israel yang juga manusia. lantas bagaimana sesungguhnya watak dasar dan tabiat makhluk yang bernama manusia itu? Tulisan ini akan mencoba membahas sekelumit tentang konsepsi manusia dari berbagai pandangan.
Konsep-Konsep Tentang Manusia
Plato. Ia memandang manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Dua elemen manusia ini memiliki esensi dan karakteristik yang berbeda. Jiwa adalah zat sejati yang berasal dari dunia sejati, dunia idea. Jiwa tertanam dalam tubuh manusia. sementara tubuh manusia adalah zat semu yang akan hilang lenyap bersamaan dengan kematian manusia. sedangkan ide tetap abadi. Sesuatu yang abadi terperangkap di dalam sesuatu yang fana, itulah nasib jiwa. Tubuh adalah penjara bagi jiwa. Sebagai zat yang berasal dari dunia idea, jiwa selalu ingin kembali ke dunia sejati itu. Manusia yang bagian sejatinya adalah jiwa yang terperangkap dalam tubuh, selalu merasa tidak bebas selama tubuhnya mengungkung jiwanya. Untuk membebaskan jiwa dari dunia fana dan kembali ke dunia idea, manusia harus memenuhi dirinya dengan hal-hal yang menjadi sifat utama dari jiwa. Sifat utama itu adalah rasionalitas, keutamaan moral dan kabajikan selama hidup di dunia ini.
Aristoteles. Berbeda dengan Plato, ia memandang manusia sebagai satu kesatuan. Tubuh dan jiwa adalah satu substansi. Perbedaan keduanya bukan perbedaan esensial. Bagi Aristoteles jiwa manusia tidak terpenjara dalam tubuh. Ketidakbebasan manusia bukan dalam kondisi terpenjaranya jiwa oleh badan melainkan ketidakmampuan mereka menggunakan keseluruhan sistem psiko-fisik dalam memahami alam semesta dan ketidakmampuan mengembangkan dirinya dalam kehidupan sehari-hari,termasuk kehidupan sosial. Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan, tetapi bukan kebahagiaan yang hedonistik, bukan yang semata mementingkan kenikmatan fisik. Kebahagiaan manusia adalah kebahagiaan yang dicapai dengan tindakan-tindakan  rasional .
Psikoanalisa. Sigmund Freud adalah salah satu tokoh psikologi yang memandang manusia sebagai makhluk deterministik, dengan kata lain ia melihat manusia tidak bebas. Kepribadian manusia terdiri dari dua bagian yaitu kesadaran dan ketidaksadaran. Bagian ketidaksadaran jauh lebih luas dari bagian kesadaran. Dan bagian ketidaksadaran tersebut memiliki pengaruh besar pada diri manusia. banyak perilaku manusia  yang dipengaruhi oleh ketidaksadarannya. Menurut Freud pada bagian ketidaksadaran ini diisi oleh dorongan-dorongan instingtif bersifat primitif yang menggerakkan manusia untuk mendapatkan kenikmatan. Selain insting primitif, dalam wilayah ketidaksadaran tersimpan pula berbagai kenangan peristiwa traumatik dan hal-hal yang dilupakan oleh seseorang, yang tidak dapat ditampilkan di kesadarannya karena dianggap tidak dapat diterima oleh masyarakat. Jadi dalam pandangan Freud, manusia terutama digerakkan oleh instingnya.
Psikologi Behaviorisme. Dua tokoh behaviorisme yang terkenal adalah J.B. Watson dan B.F. Skinner. Keduanya memandang manusia sebagai hasil pembiasaan stimulus-respons. Lingkungan berperan penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Mengikuti pandangan kaum empiris seperti John locke, behaviorisme memandang manusia lahir dalam kondisi seperti tabularasa atau kertas putih yang masih belum ditulisi. Pengalaman berhadapan dan bersentuhan dengan lingkungan menyebabkan kertas putih tertulisi. Manusia adalah makhluk pasif yang menerima bentukan dari lingkungan.
Psikologi Humanistik. Carls Rogers dan Abraham Maslow memandang manusia sebagai makhluk yang bebas dengan kehendak untuk mengaktualisasi potensi-potensinya. Sejak lahir manusia memiliki potensi-potensi yang dapat dikembangkannya sendiri. Manusia tidak ditetapkan akan jadi apa nantinya. Ia bisa jadi apa saja karena ia memiliki semua potensi untuk jadi apapun. Yang menentukan akan jadi apa dia adalah dirinya sendiri dengan bantuan fasilitas dari lingkungan. Manusia pada tingkat tertentu bertingkah laku bukan lagi karena dorongan-dorongan insting atau kekurangan-kekurangan yang ada padanya, tetapi karena keinginannya untuk mengaktualisasi potensi-potensinya. Ia mencintai karena memiliki potensi mencintai, bekerja karena memiliki potensi bekerja dan sebagainya.
Pandangan Erich Fromm. Ia  melihat kondisi eksistensial manusia sebagai makhluk dilematik. Manusia sebagai pribadi sekaligus bagian dari alam, sebagai binatang dan sekaligus manusia. dalam The Sane Society, Fromm menyatakan bahwa secara biologis manusia tidak berbeda dengan binatang. Sebagai binatang, ia memerlukan pemenuhan kebutuhan  fisiologis seperti makan dan minum. Sedangkan sebagai manusia ia memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal (imajinasi). Ia juga mengalami pengalaman-pengalaman khas manusia seperti perasaan lemah lembut, cinta, perhatian, rasa kasihan, tanggung jawab, identitas diri, integritas, dan transendensi. Ia juga memiliki pengalaman keterikatan dengan nilai dan norma. Manusia dan lingkungannya saling berinteraksi, saling mempengaruhi. Manusia mampu melakukan perubahan lingkungan, sebaliknya juga lingkungan dapat mengubah manusia. Manusia berkembang dengan mengaktualisasi potensi-potensinya, tetapi seberapa jauh aktualisasi potensi dan perkembangan manusia dapat dicapai, juga dipengaruhi seberapa fasilitatifnya lingkungan tempat ia hidup.
Pandangan Islam. Lantas bagaimana Islam memandang manusia? Islam memiliki pandangan yang optimistik tentang manusia. Dalam ajaran Islam, manusia yang lahir dalam keadaan fitri, suci dan bersih adalah merupakan makhluk terpuji dan dimuliakan meskipun pada kondisi-kondisi tertentu manusia dipandang sebagai makhluk yang rendah. Dalam bukunya Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama, Murtadha Muthahhari telah menunjukkan bagaimana Islam dan Al-Quran memandang manusia. Berikut ini adalah sebagian ayat-ayat Al-Quran yang dikutip dan dianalisis oleh Muthahhari berkenaan dengan masalah tersebut :
  1. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi.
Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…………” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.2:30)
Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi………., untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS.6:165)
2. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri.
Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak keturunan Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS.30:43)
Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada keyakinan yang lurus sebelum datang dari Allah suatu hari  yang tidak dapat ditolak kedatangannya. (QS.30:43)
3. Manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa(materi), antara jiwa dan raga.
(Dialah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai penciptaan manusia dari lempung, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani), kemudian menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya…(QS.32:7-9)
4. Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. Karenanya manusia merupakan suatu makhluk pilihan.
Kemudian Tuhannya memilihnya, menerima tobatnya dan membimbingnya. (QS.20:122)
5. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, mereka pun bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.
Sesungguhnya telah Kami tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka semua enggan memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang mau memikul amanat itu, sungguh ia sangat zalim dan bodoh. (QS.33:72)
Sesengguhnya  Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur  yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat, ke jalan lurus Kami telah membimbingnya, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS.76:2-3)
6. Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataannya, telah menganugrahi manusia keunggulan-keunggulan atas makhluk-makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan dan hawa nafsu.
Sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di darat dan di lautan…., dan Kami lebihkan mereka  dengan kelebihan yang telah Kami ciptakan. (QS.17:70)
7. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.
Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah telah mengilhamkan ke dalam jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. (QS.91:7-8)
8. Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat Allah. Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tentram dengan mengingat Allah. (QS.13:28)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencapai Tuhanmu, maka kamu pasti menemukan-Nya. (QS.84:6)
9. Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….. (QS.2:29)
Dan Dia telah merundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (QS.45:13)
10. Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembah-Nya. Tunduk patuh kepada Tuhan menjadi tanggung jawab manusia.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.51:56)
Demikianlah pandangan Islam dan Al-Quran tentang manusia, disamping hal positif terdapat pula sisi negatif pada dirinya. Manusia berulang-kali diangkat derajatnya, berulang-kali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh menggungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahannam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah.” Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri dan ingin menjadi seperti apa. Oleh Tuhan kita terlahir sebagai manusia, maka akankah kita kembali lagi sebagai manusia? Wallahu a’lam bisshawab.

Senin, 19 September 2016

تحقيق معنى "ملة " والفرق بينها وبين "الدين"

هذا البحث في بيان المعنى الدقيق لـكلمة ملة في القرآن لاستجلاء اللطائف البلاغية في مواقع استعمالها :

أقوال العلماء في اشتقاق الملة :
الملة :الدين والسنة والطريقة المسلوكة هذا معناها بشكل عام [1]، واختلف العلماء في اشتقاق لفظ الملة على أربعة أقوال :
القول الأول : قالوا الملة : سميت بذلك تشبيها بالطريق الحسي المسلوك كثيرا مدة طويلة حتى صار علما .

، يقال طريقٌ مُمَلٌّ: أي: أثَّر فيه المَشْيُ،[2]، قال الزمخشري في الأساس: "وطريق مملّ: معمل سلكوه كثيراً وأطالوا الاختلاف عليه، ومنه: أملّ عليه الملوان: طال اختلافهما عليه ـ ـ ومنه: الملّة الطريقة المسلوكة"
قال ابن سيده : وطَرِيقٌ مَلِيْلٌ وَمُمِلٌّ قد سُلِكَ فيه حتَّى صَارَ مَعْلَمًا
قال الزجاج : والملة في اللغة : السنة والطريقه"
وهي مجموع عقائد وأعمال يلتزمها طائفة من الناس ويدومون عليها مدة طويلة تكون جامعة لهم كطريقة يتبعونها
ممن اختار هذا القول : الزجاج و البغوي وابن عطية والثعالبي والسمين الحلبي وسيد طنطاوي والصابوني وأجازه أبو حيان
القول الثاني : الاشتقاق من أمللت مأخوذ من الإملاء أي إملاء الكتاب ليكتب ؛لأن الشريعة تبتنى على متلو ومسموع ، وفيها مَن يُمْلي ويُمْلَى عليه، فسميت الشريعة والسنة المتبعة والدين ـ ملة من حيث إنها تملى وتبين للناس لأن الرسول أو واضع الدين يعلمها للناس ويمللها عليهم .

قال ابن عاشور :و مِلَّةِ فعلة بمعنى المفعول، أي المملول، من أمللت الكتاب إذا لقنت الكاتب ما يكتب
اختار هذا ابن الهائم والراغب وابن عاشور والماوردي والمظهري ودروزة وهميان الزاد والآلوسي وأجازه أبو حيان
القول الثالث :سميت ملة لما فيها من تكرر قالوا والأصل فيه تكرر الأمر ، من قولهم : طريق مُمَل ومليل ، إذا تكرر سلوكه حتى توطأ و صار معلماً . ومنه الملل : تكرار الشيء على النفس حتى تضجر منه [3] .

اختاره : الطبرسي والطوسي والقاسمي والجشمي
القول الرابع : قالوا أصله من المليلة: وهي حُمَّى تلحق الإنسان ، فالملة مذهب جماعة يَحْمَى بعضها لبعض في الديانة أي يغضب وينتصر ، ومنه الملة بالفتح موضع النار، وذلك أنه إذا دُفن اللحم وغيره تكرر عليه الحمي حتى ينضج
الرماني ونقله البقاعي في موضع .
القول الخامس : اصل الملَّة فِي الْعَرَبيَّة الملّ وَهُوَ أَن يعدو الذِّئْب على شَيْء ضربا من الْعَدو فسميت الملة مِلَّة لاستمرار أَهلهَا عَلَيْهَا قال أبو الهلال العسكري في الفروق
الترجيح :

الراجح : أن الملة مجموع عقائد وأعمال تلتزم كثيرا وتكرر مدة طويلة ويطول العمل بها عملا ممتدا ، وتملى وتقلب من جيل إلى جيل ، سميت بذلك باعتبار أنها تملى وتنقل طويلا وتكرر من جيل إلى جيل وتكون لهم طريقة يتبعونها بالتكرار طويلا .

وفي المادة بكل تصرفاتها معنى الطول والتكرر ويدل على ذلك تصريفات الكلمة وتقلباتها وأقوال العلماء
وإليك تصريفات المادة وتقليباتها وأقوال العلماء :
· قالوا أمللت الكتاب إذا لقنت الكاتب ما يكتب وكررت وأطلت قال ابن الجوزي : قال شيخنا أبو منصور اللغوي: يقال: أمللت أمل، وأمليت أملي لغتان: فأمليت من الإملاء وأمللت من الملل والملال، لأن الممل يطيل قوله على الكاتب ويكرره.
· وطريق مملّ: معمل سلكوه كثيراً وأطالوا الاختلاف عليه، ومنه: أملّ عليه الملوان: طال اختلافهما عليه ومنه: الملّة الطريقة المسلوكة، ومنها: ملّة إبراهيم خير الملل.
· المُلالُ : التَّقَلُّبُ مرَضاً أَو غَمّاً.
·تَمَلَّلَ الرَّجُلُ وتَمَلْمَلَ : تقلَّبَ ، من مرضٍ أَو نحوِهِ كأَنَّه على مَلَّةٍ وتَمَلْمَلَ اللَّحْمُ عَلَى النَّارِ اضطَرَبَ
·مَمْلولَةُ الصَّوتِ ، فَعيلَةٌ بمعنى مَفعولَة ، يصِفُها بكَثرَةِ الكلامِ ورفعِ الصَّوتِ حتّى تُمِلَّ السّامعينَ
·وقال أَبو زيدٍ : أَمَلَّ فلان على فُلانٍ : إذا شَقَّ عليه وأَكثرَ في الطَّلَبِ .
· وبَعيرٌ مُمَلٌّ : أُكْثِرَ رُكوبُه حتّى أَدْبَرَ
· ومنه الملل : تكرار الشيء على النفس حتى تضجر منه .
·والملمول المكحال يهيئ ويسني أخذ الكحل وهو ممتد
· وململة الفيل يتناول بها وهي ممتدة
·وكامتداد زمن بقاء الخبز في الملة لينضج أي يتهيأ للأكل
·ومن ذلك حديث الاستسقاء فأرسل الله السحاب فملتنا أي أمطرتنا مدة طويلة
ومما يساعدنا في تحقيق معنى كلمة الملة الآيات التي تشترك مع كلمة الملة في الاشتقاق بأنواعه :
· وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ (178) وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
· واهجرني مليا قال الآلوسي :" مَلِيّاً أي دهراً وزمانا طويلاً قال الآلوسي : وأصله على ما قيل من الإملاء أي الإمداد وكذا الملاوة بتثليث الميم وهي بمعناه ومن ذلك الملوان الليل والنهار".
· وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَمْلَيْتُ لَهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ ثُمَّ أَخَذْتُهَا وَإِلَيَّ الْمَصِيرُ (48) وَأَصْحَابُ مَدْيَنَ وَكُذِّبَ مُوسَى فَأَمْلَيْتُ لِلْكَافِرِينَ ثُمَّ أَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ (44) وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَمْلَيْتُ لِلَّذِينَ كَفَرُوا ثُمَّ أَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ (32) وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ (25)
·
فتبين بهذه النقولات أن كل الأقوال الثلاثة الأولى صحيحه وأنه لا منافاة بينها ومن تأمل استعمالات الكلمة وجد أن كلا من هذه الأقوال قد اقتصر على جانب مما تدل عليه الكلمة ولا تعارض بينها أما القول الأخير فهو يرجع لما ذكرناه من الأقوال الثلاثة لا سيما القول الثالث وأما القول الرابع فغير ظاهر
ويؤيد ما رجحته قول الطبري في تفسير قوله تعالى واتَّبع ملة إبراهيم حنيفًا"، يعني بذلك: واتبع الدين الذي كان عليه إبراهيم خليل الرحمن، وأمر به بنيه من بعده وأوصاهم به ".
وقول الطبرسي :" و اتبع ملة إبراهيم » أي اقتدى بدينه و سيرته و طريقته يعني ما كان عليه إبراهيم و أمر به بنيه من بعده و أوصاهم به من الإقرار بتوحيده و عدله و تنزيهه عما لا يليق به و من ذلك الصلاة إلى الكعبة و الطواف حولها و سائر المناسك ".
وقول الآلوسي : والملة في الأصل اسم من أمللت الكتاب بمعنى أمليته كما قال الراغب، ومنه طريق ملول- أي مسلوك معلوم- كما نقله الأزهري ثم نقلت إلى أصول الشرائع باعتبار أنها يمليها النبي صلى الله تعالى عليه وسلم ولا يختلف الأنبياء فيها [4].
الآيات التي فيها ملة مع ذكر بعض أسرار استعمالها :


وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (130)
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (135)
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (95)
مَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا (125)
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (161)
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (123) وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
معنى "ملة إبراهيم" : يفسره قوله تعالى في سورة النحل إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (120) شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (121) وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (122) ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (123)
أي اقتد بدينه و سيرته و طريقته التي دام عليها وكررها فكانت طريقة مسلوكة وسنة له و أمر به بنيه من بعده و أوصاهم به وتناقلوه جيلا بعد جيل وتكرر حتى صار طريقا مسلوكا ومعلما من الإقرار بتوحيده والقنوت له وشكره ، و تنزيهه عما لا يليق به فالإضافة إليه لأنه اتبعها فكانت له طريقا ولأنه سنها وأمر بها .[5]
يؤيده إِنَّ إِبْراهِيمَ كانَ أُمَّةً قانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ شاكِراً لِأَنْعُمِهِ اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ وَآتَيْناهُ فِي الدُّنْيا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ ثُمَّ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَما كانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
وبهذا البيان يظهر سر استعمال ملة إبراهيم وما فيها من الترغيب في سلوكها
ـــــــــــــــــــــــــ ــــــــــــــــــــــ
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا قَالَ أَوَلَوْ كُنَّا كَارِهِينَ (88)

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ (13)
السر في استعمال الملة هنا أنهم يقولون :هذه عقائدنا وأعمالنا التي التزمت طويلا كثيرا ومدة طويلة وتكرر العمل بها عملا ممتدا وأخذت عن الآباء جيلا عن جيل وكانت لنا مسلوكة فيجب أن ترجعوا إليها لأنها الأحق بالاتباع لما ذكر

ـــــــــــــــــــــــــ ـــــــــــــــــــــــــ ـــــــــــــــــــــــــ ـ
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
السر في استعمال الملة : أنهم يقولون أو يعيدوكم في دينهم الباطل الذي توارثوه وهم مستمرون عليه وهو طريقتهم التي لا يقلعون عنها ، فهم لن يرضوا منكم إلا الرجوع إليه فهو أنسب تعبير يناسب يرجموكم أو يعيدوكم وهو كالتعليل لفعلهم وكذلك آية لن ترضى ، بخلاف ما لو عبر بالدين فلا يفيد هذا لأن الدين يفيد أنهم خاضعون له منقادون فقط ويدل عليه قل إن هدى الله هو الهدى حيث بين أن هدى الله هو الهدى الوحيد لا ملتهم مما يشعر أنهم في دعائهم للناس يزعمون أن عندهم الهدى فيجب أن يتبع وأن شيء لهذا استعمال الملة [6]
ـــــــــــــــــــــــــ ـــــــــــــــــــــــ
مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ (7)
الأصح أن المراد بالملة الآخرة : ملة قريش التي أدركوا عليها أباءهم أي ما أدركنا عليه آباءنا واستمروا عليها وتناقلوها و ، وما وجدوا عليه أسلافَهم من الضلالة . وهو قول مجاهد وقتادة وابن زيد والبيضاوي والبقاعي
قال مجاهد : أرادوا ملتهم ونحلتهم التي العرب عليها ، فيعلم أن انتفاءه في ملتهم الأولى بالأحرى .
قال بعض العلماء :قوله تعالى : ما سمعنا بهذا في الملة الآخرة إن هذا إلا اختلاق : أرادوا بالملة الآخرة المذهب الذي تداوله الآخرون من الأمم المعاصرين لهم أو المقارنين لعصرهم قبال الملل الأولى التي تداولها الأولون كأنهم يقولون : ليس هذا من الملة الآخرة التي يرتضيها أهل الدنيا اليوم بل من أساطير الأولين .
و قيل : المراد بالملة الآخرة النصرانية لأنها آخر الملل وهم لا يقولون بالتوحيد بل بالتثليت ، و ضعفه ظاهر




ـــــــــــــــــــــــــ ــــــــــــــ
إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ (37) وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ذَلِكَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ (38)
في التعبير بالملة إقناع لهما على ترك ملتهما لأن الذي يدعوهما إلى التمسك بالكفر أنه دين الآباء وطريقتهم المتكررة التي داموا عليها طويلا فهو كأنه يقول هذا ليس لا يدعوكم إلى البقاء عليه فأنا تركت ملة القوم الذين لا يؤمنون مع أنها دامت طويلا واستمرت وتكررت وصارت طريقة مسلوكة وتوارثها الناس وتناقلوها وتوجد ما يقابلها من ملة أبائي إبراهيم وإسحاق ويعقوب
ومعنى الترك هنا : أني برئت من ملة من لا يصدّق بالله ، ويقرّ بوحدانيته وليس معناها أنه كان فيها ثم تركها حاشاه فالأنبياء معصومون من هذا
قال أبو حيان : والظاهر أن قوله : إني تركت ، استئناف إخبار بما هو عليه ، إذ كانا قد أحباه وكلفا بحبه وبحسن أخلاقه ، ليعلمهما ما هو عليه من مخالفة قومهما فيتبعاه .
وفي الحديث : « لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير لك من حمر النعم » وعبر بتركت مع أنه لم يتشبث بتلك الملة قط ، إجراء للترك مجرى التجنب من أول حالة ، واستجلاباً لهما لأن يتركا تلك الملة التي كانا فيها .
ـــــــــــــــــــــــــ ـــــــــــــــــــــــــ ـــــــــــــــــــــــــ ــــ
الفرق بين الدين والملة :
اتضح مما سبق معنى الملة أما الدين : فيطلق باعتبار الخضوع والانقياد له والطواعية لأن أصل مادة دين هو الخضوع والانقياد لبرنامج أو مقررات قال ابن فارس : أصل واحد إليه يرجع فروعه كلها وهو جنس نم الانقياد والذل .
ويدل على ذلك الآيات التي وردت منها
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ
وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
دلت الآيات على أن حقيقة الدين التسليم والخضوع والانقياد لأحكام الله تعالى وإذا تأملت سر استعمال الدين في قوله تعالى مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ فلم يقل قانون الملك حتى يبين أنه قانون صارم لا يمكن مخالفته والكل منقادون له خاضعون كما تدل عليه لام الجحود والتعبير بالدين فلذلك لما أراد أخذ أخيه عامل إخوته على قانونهم هم ، إضافة إلى أن جزاء السارق في قانون الملك غير هذا الحكم .[7]








[1]سيأتي ذكر معناها الدقيق بعد ذكر الأقوال .

[2] وقريب منه قول التحقيق : " الملة بمعنى الدين فالكلمة على فعلة وتدل على نوع من التضيق والمحدودية والعيش تحت مقررات مضبوطة فالملة تطلق بلحاظ دلالتها على التضيق والمحدودية كما أن الدين هو الخضوع والانقياد تحت برنامج معين والملة تطلق على الحق والباطل" .

[3] ومما له صلة بالموضوع قول زاد المسير : أمليت من الإملاء لأن الممل يطيل قوله على الكاتب ويكرر وقريب منه ما قاله المعجم الاشتقاقي :والمعنى المحوري تهيؤ أو تهيئة بالامتداد للانتفاع والصلاح الأساسي كالطريق الموصوف وهو ممتد ومهيأ والخياطة الأولى تهيئ للخياطة الدائمة فهي باقية والملمول المكحال يهيئ ويسني أخذ الكحل وهو ممتد وململة الفيل يتناول بها وهي ممتدة وكامتداد زمن بقاء الخبز في الملة لينضج أي يتهيأ للأكل والمليل ممتد ومن ذلك حديث الاستسقاء فأرسل الله السحاب فملتنا أي أمطرتنا مدة طويلة ومنه الملة : الشريعة والدين شريعة تمد ويزود بها لإصلاح حال الخلق ومآلهم دائما ومنه أمل الشيء : قاله فكتب والنقل بالإملاء امتداد ، والكتابة تهيئ حفظ الحقوق فهي تملى عليه بكرة وأصيلا ومنه الملل : أن تمل شيئا وتعرض عنه من طول الأمر




[5] هذه بعض كلام العلماء في شرح معنى ملة إبراهيم في هذه الآية وفي غيرها : قال أبو حيان ولما وصف إبراهيم بتلك الأوصاف الشريفة أمر نبيه أن يتبع ملته ، وهذا الأمر من جملة الحسنة التي آتاها الله إبراهيم في الدنيا . البقاعي: ولما قرر من عظمته في الدنيا والآخرة ما هو داعٍ إلى اتباعه ، صرح بالأمر به تنبيهاً على زيادة عظمته بأمر متباعد في الرتبة على سائر النعوت التي أثنى عليه بها ، وذلك كونه صار مقتدي لأفضل ولد آدم ، مشيراً إلى ذلك بحرف التراخي الدال على علو رتبته بعلو رتبة من أمر باتباعه فيما مهده مما أمر به من التوحيد والطريق الواضح السهل فقال سبحانه : ثم أوحينا ، أي : ثم زدناه تعظيماً وجلالة بأن أوحينا إليك وأنت أشرف الخلق ، وفسر الإيحاء بقوله ترغيباً في تلقي هذا الوحي أحسن التلقي باقتفاء الأب الأعظم : أن اتبع ، أي : بغاية جهدك ونهاية همتك .
ولما كان المراد أصل الدين ، وحسن الاقتضاء فيه بسهولة الانقياد ، والانسلاخ من كل باطل ، والدعوة بالرفق مع الصبر ، وتكرير الإيراد للدلائل وكل ما يدعوا إليه العقل الصرف والفطرة السليمة ، عبر بالملة فقال تعالى : ملة إبراهيم ، ولا بعد في أن يفهم ذلك الهجرة أيضاً .
البيضاوي - 685هـ : أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا في التوحيد والدعوة إليه بالرفق ، وإيراد الدلائل مرة بعد أخرى ، والمجادلة مع كل أحد على حسب فهمه قال المنار : وَقَدْ تَحَقَّقَتْ إِمَامَتُهُ لِلنَّاسِ بِدَعْوَتِهِ إِيَّاهُمْ إِلَى التَّوْحِيدِ الْخَالِصِ - وَكَانَتِ الْوَثَنِيَّةُ قَدْ عَمَّتْهُمْ وَأَحَاطَتْ بِهِمْ - فَقَامَ عَلَى عَهْدِهِ بِالْحَنِيفِيَّةِ وَهِيَ الْإِيْمَانُ بِتَوْحِيدِ اللهِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَإِثْبَاتُ الرِّسَالَةِ، وَتَسَلْسَلَ ذَلِكَ فِي ذُرِّيَّتِهِ خَاصَّةً، فَلَمْ يَنْقَطِعْ مِنْهَا دِينُ التَّوْحِيدِ؛ وَلِذَلِكَ وَصَفَ اللهُ الْإِسْلَامَ بِأَنَّهُ مِلَّةُ إِبْرَاهِيمَ.وقال المنار : مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ) أَيْ بَلْ نَتَّبِعُ أَوِ اتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ الَّذِي لَا نِزَاعَ فِي هُدَاهُ وَلَا فِي هَدْيِهِ، فَهِيَ الْمِلَّةُ الْحَنِيفِيَّةُ الْقَائِمَةُ عَلَى الْجَادَّةِ بِلَا انْحِرَافٍ وَلَا زَيْغٍ، الْعَرِيقَةُ فِي التَّوْحِيدِ وَالْإِخْلَاصِ بِلَا وَثَنِيَّةٍ وَلَا شِرْكٍ." قال أبو زهرة : (فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا) أي اتبعوا منهاجه وشرعته وطريقته، وقد كان طريقه هو طريق الفطرة السليمة، ولذلك وصفه بقوله " حنيفا "
ومن العلماء من اقتصر على قوله ملة إبراهيم طريقته وسنته ومثلها وجعلها كلمة باقية في عقبه ووصى بها إبراهيم بنيه ويعقوب



[6] يضاف إلى ذلك ما ذكره الآلوسي بقوله : " وَلَئِنِ اتبعت أَهْوَاءهُم أي آراءهم الزائغة المنحرفة عن الحق الصادرة عنهم بتبعية شهوات أنفسهم وهي التي عبر عنها فيما قبل بالملة وكان الظاهر ولئن اتبعتها إلا أنه غير النظم ووضع الظاهر موضع المضمر من غير لفظه إيذاناً بأنهم غيروا ما شرعه الله سبحانه تغييراً أخرجوه به عن موضوعه ، وفي صيغة الجمع إشارة إلى كثرة الاختلاف بينهم وأن بعضهم يكفر بعضاً"ويضاف إليه قول بعض العلماء :" حتى تتبع ملتهم التي ابتدعوها بأهوائهم ونظموها بآرائهم ثم أمره بالرد عليهم بقوله : قل إن هدى الله هو الهدى أي إن الاتباع إنما هو لغرض الهدى ولا هدى إلا هدى الله والحق الذي يجب أن يتبع وغيره - وهو ملتكم - ليس بالهدى ، فهي أهواؤكم ألبستموها لباس الدين وسميتموها باسم الملة ، ففي قوله : قل إن هدى الله إلخ ، جعل الهدى كناية عن القرآن النازل ، ثم أضيف إلى الله فأفاد صحة الحصر في قوله : إن هدى الله هو الهدى ، على طريق قصر القلب ، وأفاد ذلك خلو ملتهم عن الهدى ، وأفاد ذلك كونها أهواء لهم ، واستلزم ذلك كون ما عند النبي علما ، وكون ما عندهم جهلا ، واتسع المكان لتعقيب الكلام بقوله : ولئن اتبعت أهواءهم بعد الذي جاءك من العلم ، ما لك من الله من ولي ولا نصير ، فانظر إلى ما في هذا الكلام من أصول البرهان العريقة ، ووجوه البلاغة على إيجازه ، وسلاسة البيان وصفائه .


[7] و من الفروق بين الدين والملة ما ذكره ا الراغب والعسكري : أن الملة لا تطلق إلا على جملة الشريعة بخلاف الدين قال العسكري في الفروق : الفرق بين الملة والدين: أن الملة اسم لجملة الشريعة، والدين اسم لما عليه كل واحد من أهلها ألا ترى أنه يقال فلان حسن الدين ولا يقال حسن الملة وإنما يقال هو من أهل الملة قال الراغب:: والفرق بينها وبين الدين أن الملة لا تضاف إلا إلى النبي عليه الصلاة والسلام الذي تسند إليه. نحو: فاتبعوا ملة إبراهيم [آل عمران/95]، واتبعت ملة آبائي [يوسف/38] ولا تكاد توجد مضافة إلى الله، ولا إلى آحاد أمة النبي ، ولا تستعمل إلا في جملة الشرائع دون آحادها، لا يقال: ملة الله، ولا يقال: ملتي وملة زيد كما يقال: دين الله ودين زيد، ولا يقال: الصلاة ملة الله.