Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 27 Maret 2017

PENGEMBANGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM: Fitrah Dan Potensi Manusia Dalam Pendidikan Islam



PENGEMBANGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM:
Fitrah Dan Potensi Manusia Dalam Pendidikan Islam
Oleh: Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.[1]
Dosen UMRI, Dosen LB STIT Hidayatullah,


A.    Pendahuluan
            Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain hanya untuk mengabdi dan beribadah. Dan juga bertugas untuk mengemban amanah untuk mengelola dan memamfaatkan kekayaan yang terdapat di bumi agar manusia dapat hidup sejahtera dan makmur lahir dan batin. Begitu spesialnya manusia diciptakan oleh allah SWT. Dengan diberinya potensi, maka manusia dapat berpikir dan memngembangkan potensi yang terdapat pada dirinya. Mengembangkan potensi tersebut salah satunya melalui dunia pendidikan.
Dalam pembahasan ini penulis akan berupaya mengupas dan menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan fitrah manusia dan potensi manusia itu sendiri dalam pendidikan islam. Pertama penulis akan mencoba menjelaskan tentang manusia yang mencakup bagian-bagiannya, fitrah manusia, selanjutnya macam-macam fitrah, dan hubungan fitrah manusia itu sendiri dengan dunia pendidikan.
Semoga dengan adanya penjelasan tersebut kitta menjadi paham tentang fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam. Terutama bagi penulis sendiri agar menambah pemahaman dan cakrawala tentang manusia dalam pendidikan, berikut penjelasannya.

B. Manusia
a. Hakikat Manusia
Pengkajian tentang manusia dipandang dari berbagai aspek. Dari segi fisik disebut antropologi fisik. Dari sudut pandang budaya disebut antropologi budaya, sedangkan yang memandang manusia dari segi hakikatnya yaitu antropologi filsafat. Dari pandangan filsafat inilah yang menyebabkan pengkajian tentang hakikat manusia itu tidak pernah berakhir. Sehingga ada 4 aliran yang berbicara apa itu manusia. Aliran tersebut yaitu aliran serba zat yang mengatakan bahwa yang sungguh-sugguh ada itu adalah zat dan materi. Kedua, aliran serba ruh yang mengatakan bahwa segala sesuatu hakikatnya adalah ruh, begitupun manusia. Sementara zat hanyalah manfestasi dari ruh.
Ketiga, aliran dualisme yang merupakan gabungan dari zat dan ruh yang mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Keempat, aliran eeksistensialisme yang memandang manusia buakan dari zat dan ruh akan tetapi dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia ini.
Berdasarkan kenyataan bahwa manusia itu mempunyai jasmani dan roh, jiwa atau rohani. Maka ada empat macam pandangan tentang hal tersebut yaitu:
  1. Pandangan idealistis tentang badan manusia
  2. Pandangan materialistis tentang badan manusia
  3. Pandangan bahwa badan adalah musuh dari roh
  4. Pandangan bahwa badan manusia adalah jasmani yang di rohanikan ataupun sebaliknya.[2]
Pengetahuan tentang hakikat manusia ini merupakan bagian yang sangat penting. Dengan demikian kita dapat mengetahui hakikat manusia, kedudukan dan fungsinya di alam semesta ini. karena manusia dalam pendidikan bukan saja sebagai objek namun juga sebagai subjek. Sehingga pendekatan yang dilakukan dan aspek yang dilaksanakan dapat direncanakan secara matang.
Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah sejarah yang hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah bangsa manusia. Pengamatan terhadap pengalaman manusia merupakan rangkaian Antropological Constant yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Ada enam Antropological Constant yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia yaitu:
  1. Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
  2. Ketertiban dengan sesama
  3. Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional
  4. Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
  5. Hubungan timbal balik antara teori dan praktek
  6. Kesadaran religius dan pemeluk agama[3]
Salah satu pemikir di abad modern yang mangkaji tentang hakikat manusia yaitu Alaxis Carrel yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat perpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada diluar dirinya.
Ibn Arabi melukiskan hakikat manusia bahwa tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, yang merupakan sifat rabbaniyah.
b. Manusia Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an banyak sekali gambaran yang membahas tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk yang sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal dan pikiran.
Murthada Mutahhari melukiskan gambaran Al-Qur’an tentang manusia yaitu manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhluk semi samawi dan semi duniawi yang didalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpecaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, langit dan bumi. Akan tetapi manusia sering melupakan hakikat kedudukannya sebagai hamba Allah.
Kesulitan para ahli dalam mendefinisikan hakikat manusia, akhirnya menyebabkan gagalnya usah-usaha ilmiah, ideologi dan tatanan sosial untuk memberikan kebahagian kepada manusia di zaman modern ini. Itu semua disebabkan karena ketidak tahuan manusia untuk mengenal dirinya.
Di dalam Al-Qur’an ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk menunjuk pengertian manusia. Ketiga kata tersebut yaitu: al-basyar, al-insan, al-nas. Meskipun ketiga kata tersebut merujuk kepada manusia, akan tetapi secara khusus memiliki makna yang berbeda, hal demikian dapat dilihat dari pengertian dibawah ini yaitu:[4]
1.       Al-Basyar
Kata Al-Basyar ini dinyatakan dalam alqur’an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-basyar merupakan bentuk jamak dari al-basyarat  (البشرة) yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, sexs dan lain sebagainya.
Kata Al-Basyar ditujukan pada seluruh umat manusia tampa terkecuali. Ini berarti bahwa Rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ciri pokok tersebut diantaranya adalah persamaan dalam dunia ini memerlukan ruang dan waktu seta tunduk terhadap sunatullah. Dengan demikian persamaan manusia dari aspek materi atau dimensi alamiah saja.[5]
2. Al-Insan
Kata ini dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 73 kali yang tersebar dalam 43 surat. Penggunaan kata Al-Insan pada umumnya digunakan menggambarkan pada keisimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Ini dikarenakan manusia memiliki potensi dasar yaitu fitrah akal dan kalbu. Menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia dan tertinggi dibanding makluk lainnya.
Kata Al-Insan juga menunjuk pada proses kejadian manusia, baik Adam amupun manusia setelah Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan berproses. Dalam hal ini ada dua dimensi yang terkandung yaitu pertama dimensi tanah (dengan berbagai unsurnya) yang mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari pengaruh kekuatan alam dan kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut dengannya dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Dimensi kedua yaitu dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia) yang mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya kehidupan manusia diarahkan kepada tujuan disamping material dan non material, dengan kata lain kehidupan manusia hendaknya senantiasa diarahkan kepada suatu realitas yang Maha Sempuna (Allah), tampa batas, tampa cacat, dan tampa akhir.
Dengan demikian kata Al-Insan mengandung makna tentang keunikan manusia yaitu agar manusia hidup dengan nilai illahiyah, agar manusia senantiasa menggunakan akal dan potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran Ilahi. Dengan inilah manusia dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia jika tidak maka masnusia akan terjerumus dan jatuh kejurang kenistaan dan kehancuran serta kehinaan.[6]
Al-Qur’an juga menjelaskan tentang sifat umum manusia, serta sisi kelebihan dan kelemahan manusia yaitu:
a)      Tidak semua yang di inginkan manusia berhasil dengan usahanya, bila Allah tidak menginginkannya.
b)      Gembira bila ada nikmat, susah bila dapat cobaan
c)      Manusia sering bertindak bodoh dan zalim baik terhaap dirinya maupun makhluk Allah lainnya
d)     Manusia seringkali ragu dalam memutuskan persoalan
e)      Apabila mendapat kenikmatan materi sering lupa diri dan kikir
f)       Manusia adalah makhluk yang lemah
g)      Kewajiban berbakti kepada kedua orang tua
h)      Peringatan Allah agar manusia waspada terhadap bujukan rayuan orang-orang munafik  
3. Al-Nas
Kata Al-Nas dalam Al-Qur’an dinyatakan sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 surat. Kata ini menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tampa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Kata ini juga menunjukkan kepada karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia yang mau memmpergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya. Sedangkan sebagian yang lain menggunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasaan Tuhan.
Kata Al-Nas juga dipergunakan Al-Qur’an yaitu untuk menunjukkan kepada makna lawan dari binatang buas. Ia diasumsikan sebagai makhluk yang senantiasa tunduk pada alam di mana ia berada.
Pendefinisian yang dinyatakan Allah SWT dalam Al-Qur’an dengan menyebut manusia dengan istilah Kata Al-Nas juga dipergunakan Al-Qur’an yaitu untuk Al-Basyar, Al-Insan, Al-Nas memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Referensi ini menjelaskan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) im materil (psikis) yang dipandu oleh ruh illahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling berhubungan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan fisik dan psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat melaksanakan tugasnya yang memerlukan dukungan kekuatan fisik dan dengan kelengkapan psikis ia dapat melaksanakan kegiatannya ynag memerlukan dukungan  mental.[7]
c. Kedudukan Manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya dilengkapi dengan berbagai organ psiko fisik yang istimewa seperti panca indra dan hati agar manusia bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahi keistimewaan-keistimewaan itu.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah SWT. menciptakan manusia bukan secara main-main melainkan dengan suatu tujuan dan fungsi. Kesatan wujud antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu:
1. Manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah)
Konsep ’abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah SWT. Dengan penuh keikhlasan. Yang  meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakalah aktivitas itu memang ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan redho-Nya.[8]
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hokum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama. Yang mengakui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al- Qur’an disebabkan karena telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia tak kala ia berada di alam arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahan dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya .
2. Manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh
Kata khalifah berasal dari fiil madhi Khalafa yang berarti mengganti dan melanjutkan. Jadi khalifah yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain. Sebagai seorang khalifah ia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan orang lain menggantikan kedudukann kepemimpinannya atau kekuasaanya.[9]
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Diantara amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi. Karena amat mulianya manusia mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Menurut Ahmad Musthafa Al Marghi, kata khalifah dalam ayat ini memiliki dua makna. Pertama, pengganti yaitu pengganti Allah SWT dalam menjalankan titahnya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan mendayagunakan alam semesta bagi kepentingan manusia secara keseluruhan.
Salah satu aplikasi dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral manusia untuk mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam ini untuk memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk kepada-Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta.[10]

C.    Fitrah
a.Konsep Fitrah Manusia
Dalam dimensi pedidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk alllah lainnya, terangkum dalam kata “fitrah”. Secra bahasa fitrah berasal  dari kata fathaha yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kataal-fathr yang berarti belahan atau pecahan.
Dalam Al-Qur’an kata-kata yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah muncul sebanyak 20 kali yang tersebar dalam 19 surat. Sehingga secara umum pemaknaan kata fitrah dapat dikelompokkan kedalam empat yaitu:
  1. Proses penciptaan langit dan bumi
  2. Proses penciptaan manusia
  3. Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
  4. Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (ma’rifat al-iman)
Para pemikir muslim cendrung memaknai kata fitrah berdasarkan QS:30:30 sebagai potensi manusia untuk beragama. Ada juga yang memaknai bahwa fitrah merupakan bawaan yang telah diberikan Allah sejak manusia berada dalam alam rahim.
Hasan langgulung mengartikan fitrah tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam Asma’ul Husna. Batasan tersebut memberikn arti, misalnya sifat Allah Al-Ilmu “maha mengetahui” maka manusia pun memiliki potensi untuk bersifat mengetahui dan begitu juga semuanya. Akan tetapi kemampuan manusia tentu saja berbeda dengan Allah. Hal ini disebabkan karena berbeda hakikat diantara keduanya. Allah memilki sifat kemaha sempurnaan sedangkan manusia memiliki sifat keterbatasan. Keterbatasan itulah yang menyebabkan manusia membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk memenuhi segala kebutuhan. Keadaan ini menyadarkan manusia tentang ke-Esaan Allah, sehingga inilah letak fitrah beragama manusia sebagai manifestasi memenuhi kebutuhan rohaniahnya.
Abdurrahman Shaleh Abdullah mengartikan kata fitrah sebagai bentuk potensi yang diberikan Allah padanya disaat peciptaan manusia dialam rahim. Potensi tersebut belum bersifat final, akan tetapi merupakan proses. Ia juga mengatakan bahwa anak yang lahir belum tentu muslim, meskipun ia berasal dari keluarga muslim. Akan tetapi Allah SWT telah membekalinya dengan potensi-potensi yang memungkinkannya menjadi seorang Muslim.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah manusia kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang meliputi potensi seluruh dimensi manusia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “setiap anak manusia itu terlahir dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi” (HR Aswad Bin Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan pengertian secara teoritis bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk penempatan fitrah seseorang maka akan semakin buruk sifat dan tingkah lakunya. Namun demikian, pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis manusia, sedangkan dosa balik itu dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu hidayah dari Allah SWT sebagai penentu yang Maha final.[11]
b.      Macam-Macam Fitrah Manusia
Dari sekian banyak pengertian tentang fitrah, maka dapat diambil kata kunci bahwa fitrah adalah potensi manusia. Potensi tersebut bukan saja potensi agama saja. Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S. Praja pada diri manusia juga memiliki setidaknya tiga potensi fitrah yaitu:
  1. Daya intelektual (quwwat al-al-‘aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
  2. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) yaitu potensi yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan bermamfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
  3. Daya defensif (quwwat al-ghaddab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduki sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Ada juga pendapat Ibn Taimiyah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk yaitu:
  1. Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
  2. Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami keserasian, bahkan berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab dalam mendefinisikan fitrah manusia ada beberpa potensi yang dimiliki oleh manusia diantaranya yaitu:
  1. Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki.
  2. Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu kesimpulan dari sejumlah premis.
  3. Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang macam-macam potensi manusia, maka dapat diambil kesimpualan bahwa potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri dari:
  1. Potensi agama
  2. Potensi akal yang mencangkup spiritual
  3. Potensi fisik atau jasadiah
  4. Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu.[12]
D.    Hubungan Fitrah Manusia Dengan Dunia Pendidikan
Dalam perspektif pendidikan Islam, fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup, upaya mempertahankan dan melestarikan kehidupannya, kekuatan rasional (akal), dan kekutan spiritual (agama). Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan terkait secara integral. Potensialitas manusia inilah yang kemudian dikembangkan, diperkaya, dan diaktualisasikan secara nyata dalam perbuatan amaliah manusia sehari-hari, baik secara vertikal maupun horizontal. Perpaduan ketiganya merupakan kesatuan yang utuh.
Dalam pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang ada pada aspek jasmani maupun rohani, intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta didiknya. Dengan ini, pendidikan Islam akan mampu membantu peserta didiknya untuk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimiliknya. Mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pada dasarnya pedidikan berfungsi sebagai media yang menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai ‘abdillah maupun khalifah.
Fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia memiliki kebutuhan. Menurut Zakiyah Drajat ada dua kebutuhan pesertadidik yaitu:
  1. Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, bebas, mengenal, dan rasa sukses
  2. Kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pangan
Dalam pendidikan berupaya mengembangkan dan memenuhi kebutuahn tersebut secara integral agar berkembang.[13]
Dalam perkembngannya manusia ingin selalu dipenuhi kebutuhan hidupnya, secara layak dan dapat hidup sejahtera. Tetapi kehidupan sejahtera sifatnya relatif, karena selalu brubah dan berkembang sesuia dengan perkembangan sosial budaya. Semakin maju suatu masyarakat, maka akan semakin beraneka ragam kebutuhannya.[14]
Kebutuhan pokok manusia antara lain yaitu:
1. Kebutuhan biologis
Kebutuhan biologis atau kebutuhan jasmaniah, yang merupakan kebutuhan hidup manusia yang primer, seperti makan, tempat tinggal, pakaian, dan kebutuhan sexsual. Setiap orang tentu akan memenuhi kebutuhan biologis tersebut, namun cara pemenuhan kebutuhan tersebut berbeda satu dengan yang lain, tergantung kemampuan dan kebutuhan masing-masing.
2. Kebutuhan Psikis
Kebutuhan Psikis yaitu kebutuhan rohaniah. Manusia membutuhkan rasa aman, dicintai dan mencintai, bebas, dihargai, dan lainnya. Manusia adalah makhluk yang disebut “psycho-physik netral” yaitu sebagai makhluk yang memiliki kemandirian jasmaniah dan rohaniah. Dalam kemandirian itu manusia memiliki potensi untuk berkembang dan tumbuh, untuk itu diperlukan adanya pendidikan, agar kebutuhan psikis dapat terpenuhi dengan seimbang.
3. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan Sosial, yaitu kebutuhan manusia bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain. Karna manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki keinginan untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial maka manusia memiliki rasa tanggung jawab untuk mengembangkan interaksi antara masyarakat.
4. Kebutuhan Agama (spiritual)
Kebutuhan Agama (spiritual) yaitu kebutuhan manusia terhadap pedoman hidup yang dapat menunjukkan jalan kearah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Semenjak lahir manusia sudah membawa fitrah beragama dan akan berkembang degan adanya pendidikan. Dengan demikian manusia disebut dengan makhluk berketuhanan atau disebut juga dengan makhluk beragama, karena dengan adanya agama manusia akan dapat ketenangan lahir dan batin.
5. Kebutuhan Paedagogis (intelek)
Kebutuhan Paedagogis (intelek) yaitu kebutuhan manusia terhadap pendidikan. Manusia disebut homo-educandum, yaitu akhluk yang harus dididik, oleh karena manusia itu dikategorikan sebagai animal educable, yakni sebagai makhuk sebangsa binatang yang dapat dididik. Karena manusia mempunyai akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengeahuan, di samping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk dirinya sendiri (self-formig).
Dengan demikian jelaslah bahwa manusia dalam hidunya memerlukan pendidikan. Namun pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia yang telah ia bawa semenjak lahir. Karena fitrah manusia pada umumnya sama, hanya saja yang membedakan mereka adalah pendidikan yang mereka dapatkan, sehingga terjadilah beragam agama dan kecerdasan setiap individu.
Ada tiga alasan penyebab awal kenapa manusia emerlukan pendidikan, yaitu: pertama, dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan nilai kebudayaan antara generasi tua kepada generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai intelektual, seni, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam kehidupan manusia sebagai individu, memiliki kecendrungan untuk dapat mengembnagkan potensi-potensi yang ada dalamdirinyaseoptimal mungkin. Untuk maksud tersebut, manusia perlu suatu sarana. Saran itu adalah pendidikan. Ketiga, konvergensi dari kedua tuntutan di atas yang pengaplikasiannya adalah lewat pendidikan.[15]
Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Ada dua implikasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:[16]
  1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistim pendidikan Islam harus dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan qaliyah sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral.
  2. Al-quran menjelakan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan tugas ini Allah membekali dengan seperagkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermamfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.
Kedua hal di atas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pedidikan Islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsivpenciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd.
Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuwan dan rasional filosofis. Yang harus dipahami bahwa pendekatan keilmuwan dan filosofis hanyalah sebuah media untuk menalar pesan-pesan Tuhan, baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (Qur’aniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual (kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.
Dalam buku lain ditemukan bahwa pendidikan merupakan gejala dan kebutuhan manusia. Dalam artian bahwa bilamana anak tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan menjadi manusia sesungguhnya, dalam artian tidak sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Hanya pendidikanlah yang dapat memnusiakan dan membudayakan manusia.[17]
Untuk mengembangkan potensi/kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kehidupannya kelak dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam, seperti keadaan geografis, iklim dan lainnya. Sedangkan lingkunagan sosial ialah lingkungan yang berupa manusia-manusia yang ada disekitar anak, yang berinteraksi dengan mereka, seperti orang tua, saudara, tetangga dan lainnya.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa fitrah yang dibawa oleh setiap manusia semenjak ia lahir harus dikembangkan dengan pendidikan. Karena sifata manusia yang yang selalu membutuhkan orang lain untuk perubahan dan perbaikan dirinya. Dan juga perkembangan fitrah manusia itu akan di pengaruhi oleh lingkungan. Di dalamfitrah manusia terdapatnya suatu kebutuhan-kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu adanya bantuan dari orang laian tersebut. Sehingga kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.
Dari penjelasan yang panjang lebar tentang fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam, ada beberpa poin pokok yang sangat penting, yaitu manusia (hakikat manusia, manusia dalam al-quran, dan kedudukan manusia), fitrah (konsep fitrah manusia, macam-macam fitrah manusia), dan hubungan manusia dengan pendidikan islam.
Akhirnya, dari beberapa penjelasan yang telah penulis coba paparkan tentang fitrah dan dan potensi manusia dalam pendidikan islam semoga dapat dipahami dan dimengerti. Penulis menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis berharap kritik dan saran yang membnagun untuk pembuatan artikel kedepannya. Semoga artikel yang penulis buat ini dapat diajukan sebagai salah satu tugas akhir dari filsafat pendidikan dalam hal pengganti ujian semester.

E. Reference
  1. Samsul Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press: Padang
  2. Prof. H.M. Arifin, M.Ed., 1996, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta
  3. Prof. DR. H. Ramayulis,  2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta
  4. Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press:  Jakarta
  5. Dra. Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta
  6. Samsul Nizar,  2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta


[1]Lalu Muhammad Nurul Wathoni, mahasiswa program Doktor Universitas Islama Negeri Sulan Syarif Kasim Riau, NIM; 31694104589, Program studi Pendidikan Agama Islam.
[2] Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta. Hal:74
[3] Ramayulis,  2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta, hal: 1-2
[4] Samsul Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press: Padang, hal: 13
[5] Ramayulis,  opcit, hal: 4-5
[6] Samsul Nizar, opcit, hal:16-17
[7] Ramayulis,  opcit, hal: 5-6
[8] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press:  Jakarta, hal: 19
[9] Ramayulis,  opcit, hal: 9
[10] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 17-18
[11] Samsul Nizar, opcit, hal: 36-45
[12] Ibid, hal:42-44
[13] Samsul Nizar,  2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, hal: 135-138
[14] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 95-97
[15] Samsul Nizar, hal: 85
[16] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 21-23
[17] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 92-95

0 komentar:

Posting Komentar