PENGEMBANGAN
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM:
Fitrah Dan Potensi
Manusia Dalam Pendidikan Islam
Oleh: Lalu Muhammad Nurul Wathoni, M.Pd.I.[1]
Dosen UMRI, Dosen LB STIT
Hidayatullah,
A. Pendahuluan
Sesungguhnya
manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain hanya untuk mengabdi dan
beribadah. Dan juga bertugas untuk mengemban amanah untuk mengelola dan
memamfaatkan kekayaan yang terdapat di bumi agar manusia dapat hidup sejahtera
dan makmur lahir dan batin. Begitu spesialnya manusia diciptakan oleh allah
SWT. Dengan diberinya potensi, maka manusia dapat berpikir dan memngembangkan
potensi yang terdapat pada dirinya. Mengembangkan potensi tersebut salah
satunya melalui dunia pendidikan.
Dalam pembahasan ini penulis akan
berupaya mengupas dan menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan fitrah
manusia dan potensi manusia itu sendiri dalam pendidikan islam. Pertama penulis
akan mencoba menjelaskan tentang manusia yang mencakup bagian-bagiannya, fitrah
manusia, selanjutnya macam-macam fitrah, dan hubungan fitrah manusia itu
sendiri dengan dunia pendidikan.
Semoga dengan adanya penjelasan tersebut
kitta menjadi paham tentang fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam.
Terutama bagi penulis sendiri agar menambah pemahaman dan cakrawala tentang
manusia dalam pendidikan, berikut penjelasannya.
B. Manusia
a. Hakikat Manusia
Pengkajian tentang manusia dipandang dari
berbagai aspek. Dari segi fisik disebut antropologi fisik. Dari sudut pandang
budaya disebut antropologi budaya, sedangkan yang memandang manusia dari segi
hakikatnya yaitu antropologi filsafat. Dari pandangan filsafat inilah yang
menyebabkan pengkajian tentang hakikat manusia itu tidak pernah berakhir.
Sehingga ada 4 aliran yang berbicara apa itu manusia. Aliran tersebut yaitu aliran
serba zat yang mengatakan bahwa yang sungguh-sugguh ada itu adalah zat dan
materi. Kedua, aliran serba ruh yang mengatakan bahwa segala sesuatu hakikatnya
adalah ruh, begitupun manusia. Sementara zat hanyalah manfestasi dari ruh.
Ketiga, aliran dualisme yang merupakan
gabungan dari zat dan ruh yang mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari dua
substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Keempat, aliran
eeksistensialisme yang memandang manusia buakan dari zat dan ruh akan tetapi
dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu
sendiri di dunia ini.
Berdasarkan kenyataan bahwa manusia itu
mempunyai jasmani dan roh, jiwa atau rohani. Maka ada empat macam pandangan
tentang hal tersebut yaitu:
- Pandangan idealistis tentang badan manusia
- Pandangan materialistis tentang badan manusia
- Pandangan bahwa badan adalah musuh dari roh
- Pandangan bahwa badan manusia adalah jasmani yang di rohanikan ataupun sebaliknya.[2]
Pengetahuan tentang hakikat manusia ini merupakan bagian yang
sangat penting. Dengan demikian kita dapat mengetahui hakikat manusia,
kedudukan dan fungsinya di alam semesta ini. karena manusia dalam pendidikan
bukan saja sebagai objek namun juga sebagai subjek. Sehingga pendekatan yang
dilakukan dan aspek yang dilaksanakan dapat direncanakan secara matang.
Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
historis. Hakikat manusia sendiri adalah sejarah yang hanya dapat dilihat dalam
perjalanan sejarah bangsa manusia. Pengamatan terhadap pengalaman manusia
merupakan rangkaian Antropological Constant yaitu dorongan-dorongan dan
orientasi yang tetap dimiliki manusia. Ada enam Antropological Constant
yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia yaitu:
- Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
- Ketertiban dengan sesama
- Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional
- Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
- Hubungan timbal balik antara teori dan praktek
- Kesadaran religius dan pemeluk agama[3]
Salah satu pemikir di abad modern yang
mangkaji tentang hakikat manusia yaitu Alaxis Carrel yang mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat perpisahan manusia dari
dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap
dunia yang ada diluar dirinya.
Ibn
Arabi melukiskan hakikat manusia bahwa tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus
dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa,
berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, yang merupakan sifat
rabbaniyah.
b. Manusia Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an banyak sekali gambaran
yang membahas tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia
merupakan makhluk yang sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan
akal dan pikiran.
Murthada Mutahhari melukiskan gambaran
Al-Qur’an tentang manusia yaitu manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan,
sebagai khalifah-Nya di bumi, serta sebagai makhluk semi samawi dan semi
duniawi yang didalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpecaya,
rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, langit dan bumi. Akan
tetapi manusia sering melupakan hakikat kedudukannya sebagai hamba Allah.
Kesulitan para ahli dalam mendefinisikan
hakikat manusia, akhirnya menyebabkan gagalnya usah-usaha ilmiah, ideologi dan
tatanan sosial untuk memberikan kebahagian kepada manusia di zaman modern ini.
Itu semua disebabkan karena ketidak tahuan manusia untuk mengenal dirinya.
Di dalam Al-Qur’an ada tiga istilah yang
biasa digunakan untuk menunjuk pengertian manusia. Ketiga kata tersebut yaitu: al-basyar,
al-insan, al-nas. Meskipun ketiga kata tersebut merujuk kepada manusia,
akan tetapi secara khusus memiliki makna yang berbeda, hal demikian dapat
dilihat dari pengertian dibawah ini yaitu:[4]
1. Al-Basyar
Kata Al-Basyar ini dinyatakan
dalam alqur’an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi
al-basyar merupakan bentuk jamak dari al-basyarat (البشرة) yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat
tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-basyar memberikan pengertian
bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di
dalamnya, seperti makan, minum, perlu hiburan, sexs dan lain sebagainya.
Kata Al-Basyar ditujukan pada
seluruh umat manusia tampa terkecuali. Ini berarti bahwa Rasul pun memiliki
dimensi Al-Basyar. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki
persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya seperti hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Ciri pokok tersebut diantaranya adalah persamaan dalam dunia
ini memerlukan ruang dan waktu seta tunduk terhadap sunatullah. Dengan demikian
persamaan manusia dari aspek materi atau dimensi alamiah saja.[5]
2. Al-Insan
Kata ini dinyatakan dalam Al-Qur’an
sebanyak 73 kali yang tersebar dalam 43 surat. Penggunaan kata Al-Insan
pada umumnya digunakan menggambarkan pada keisimewaan manusia penyandang
predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses
penciptaannya. Ini dikarenakan manusia memiliki potensi dasar yaitu fitrah akal
dan kalbu. Menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia dan tertinggi
dibanding makluk lainnya.
Kata Al-Insan juga menunjuk pada
proses kejadian manusia, baik Adam amupun manusia setelah Adam di alam rahim
yang berlangsung secara utuh dan berproses. Dalam hal ini ada dua dimensi yang
terkandung yaitu pertama dimensi tanah (dengan berbagai unsurnya) yang
mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari pengaruh
kekuatan alam dan kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut dengannya dan saling
mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Dimensi kedua yaitu dimensi
spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia) yang mengisyaratkan bahwa pada
hakikatnya kehidupan manusia diarahkan kepada tujuan disamping material dan non
material, dengan kata lain kehidupan manusia hendaknya senantiasa diarahkan
kepada suatu realitas yang Maha Sempuna (Allah), tampa batas, tampa cacat, dan
tampa akhir.
Dengan demikian kata Al-Insan
mengandung makna tentang keunikan manusia yaitu agar manusia hidup dengan nilai
illahiyah, agar manusia senantiasa menggunakan akal dan potensi yang
dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran Ilahi. Dengan
inilah manusia dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia jika
tidak maka masnusia akan terjerumus dan jatuh kejurang kenistaan dan kehancuran
serta kehinaan.[6]
Al-Qur’an juga menjelaskan tentang sifat
umum manusia, serta sisi kelebihan dan kelemahan manusia yaitu:
a)
Tidak semua yang di inginkan
manusia berhasil dengan usahanya, bila Allah tidak menginginkannya.
b)
Gembira bila ada nikmat, susah
bila dapat cobaan
c)
Manusia sering bertindak bodoh dan
zalim baik terhaap dirinya maupun makhluk Allah lainnya
d)
Manusia seringkali ragu dalam
memutuskan persoalan
e)
Apabila mendapat kenikmatan materi
sering lupa diri dan kikir
f)
Manusia adalah makhluk yang lemah
g)
Kewajiban berbakti kepada kedua
orang tua
h)
Peringatan Allah agar manusia
waspada terhadap bujukan rayuan orang-orang munafik
3. Al-Nas
Kata Al-Nas dalam Al-Qur’an
dinyatakan sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 surat. Kata ini menunjukkan
pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh
manusia secara umum tampa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Kata ini
juga menunjukkan kepada karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan
labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa
digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia yang mau
memmpergunakannya sesuai dengan ajaran Tuhannya. Sedangkan sebagian yang lain
menggunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasaan Tuhan.
Kata Al-Nas juga dipergunakan
Al-Qur’an yaitu untuk menunjukkan kepada makna lawan dari binatang buas. Ia
diasumsikan sebagai makhluk yang senantiasa tunduk pada alam di mana ia berada.
Pendefinisian yang dinyatakan Allah SWT
dalam Al-Qur’an dengan menyebut manusia dengan istilah Kata Al-Nas juga
dipergunakan Al-Qur’an yaitu untuk Al-Basyar, Al-Insan, Al-Nas
memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT. Referensi ini menjelaskan bahwa manusia merupakan satu
kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) im materil (psikis) yang
dipandu oleh ruh illahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling
berhubungan.
Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan fisik dan
psikis. Dengan kelengkapan fisik, ia dapat melaksanakan tugasnya yang
memerlukan dukungan kekuatan fisik dan dengan kelengkapan psikis ia dapat
melaksanakan kegiatannya ynag memerlukan dukungan mental.[7]
c. Kedudukan
Manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan yang
diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya dan rupa yang
seindah-indahnya dilengkapi dengan berbagai organ psiko fisik yang istimewa
seperti panca indra dan hati agar manusia bersyukur kepada Allah yang telah
menganugerahi keistimewaan-keistimewaan itu.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah
SWT. menciptakan manusia bukan secara main-main melainkan dengan suatu tujuan
dan fungsi. Kesatan wujud antara fisik dan psikis serta didukung oleh
potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim dan
menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu:
1. Manusia sebagai hamba
Allah (‘abd Allah)
Konsep ’abd mengacu pada
tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Dalam bentuk pengabdian
ritual kepada Allah SWT. Dengan penuh keikhlasan. Yang meliputi seluruh
aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas
seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah
manakalah aktivitas itu memang ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan redho-Nya.[8]
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘abd
adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak
diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang
senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hokum-hukum Tuhan yang menjadi
kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaa-Nya,
ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala yang
hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias terlepas dari
kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama. Yang mengakui
adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan
secara naluriah menurut Al- Qur’an disebabkan karena telah terjadi dialog
antara Allah dan roh manusia tak kala ia berada di alam arwah. Dengan demikian
kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahan
dari kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak alam
mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya .
2. Manusia sebagai
khalifah Allah fi al-ardh
Kata khalifah berasal dari fiil madhi Khalafa
yang berarti mengganti dan melanjutkan. Jadi khalifah yaitu proses
penggantian antara satu individu dengan individu yang lain. Sebagai seorang khalifah
ia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya.
Ia menggantikan orang lain menggantikan kedudukann kepemimpinannya atau
kekuasaanya.[9]
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia
diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Diantara amanat yang dibebankan
kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi. Karena amat mulianya manusia
mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di
muka bumi.
Menurut Ahmad Musthafa Al Marghi, kata khalifah
dalam ayat ini memiliki dua makna. Pertama, pengganti yaitu pengganti Allah SWT
dalam menjalankan titahnya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang
kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan mendayagunakan alam semesta
bagi kepentingan manusia secara keseluruhan.
Salah satu aplikasi dari kekhalifahan
manusia di muka bumi adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta
tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral manusia untuk
mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam ini untuk
memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan
martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk kepada-Nya dan
tidak akan tunduk kepada alam semesta.[10]
C. Fitrah
a.Konsep Fitrah Manusia
Dalam dimensi pedidikan, keutamaan dan
keunggulan manusia dibanding dengan makhluk alllah lainnya, terangkum dalam
kata “fitrah”. Secra bahasa fitrah berasal dari kata fathaha yang berarti
menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kataal-fathr yang berarti belahan
atau pecahan.
Dalam Al-Qur’an kata-kata yang mengacu pada pemaknaan kata
fitrah muncul sebanyak 20 kali yang tersebar dalam 19 surat. Sehingga secara
umum pemaknaan kata fitrah dapat dikelompokkan kedalam empat yaitu:
- Proses penciptaan langit dan bumi
- Proses penciptaan manusia
- Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
- Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (ma’rifat al-iman)
Para pemikir muslim cendrung memaknai kata fitrah berdasarkan
QS:30:30 sebagai potensi manusia untuk beragama. Ada juga yang memaknai bahwa
fitrah merupakan bawaan yang telah diberikan Allah sejak manusia berada dalam
alam rahim.
Hasan langgulung mengartikan fitrah
tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi
tersebut merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam Asma’ul Husna.
Batasan tersebut memberikn arti, misalnya sifat Allah Al-Ilmu “maha
mengetahui” maka manusia pun memiliki potensi untuk bersifat mengetahui dan
begitu juga semuanya. Akan tetapi kemampuan manusia tentu saja berbeda dengan
Allah. Hal ini disebabkan karena berbeda hakikat diantara keduanya. Allah
memilki sifat kemaha sempurnaan sedangkan manusia memiliki sifat keterbatasan.
Keterbatasan itulah yang menyebabkan manusia membutuhkan pertolongan dan
bantuan untuk memenuhi segala kebutuhan. Keadaan ini menyadarkan manusia
tentang ke-Esaan Allah, sehingga inilah letak fitrah beragama manusia sebagai
manifestasi memenuhi kebutuhan rohaniahnya.
Abdurrahman Shaleh Abdullah mengartikan
kata fitrah sebagai bentuk potensi yang diberikan Allah padanya disaat
peciptaan manusia dialam rahim. Potensi tersebut belum bersifat final, akan
tetapi merupakan proses. Ia juga mengatakan bahwa anak yang lahir belum tentu
muslim, meskipun ia berasal dari keluarga muslim. Akan tetapi Allah SWT telah
membekalinya dengan potensi-potensi yang memungkinkannya menjadi seorang
Muslim.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M.
Quraish Shihab mendefinisikan fitrah manusia kepada pengertian “fitrah
(makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk.
Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah
pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian
tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah
kepada manusia sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah
kepadanya yang meliputi potensi seluruh dimensi manusia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “setiap
anak manusia itu terlahir dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang akan
mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi”
(HR Aswad Bin Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan
pengertian secara teoritis bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki
manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya,
semakin buruk penempatan fitrah seseorang maka akan semakin buruk sifat dan
tingkah lakunya. Namun demikian, pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis
manusia, sedangkan dosa balik itu dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu
hidayah dari Allah SWT sebagai penentu yang Maha final.[11]
b.
Macam-Macam Fitrah Manusia
Dari sekian banyak pengertian tentang fitrah, maka dapat
diambil kata kunci bahwa fitrah adalah potensi manusia. Potensi tersebut bukan
saja potensi agama saja. Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S.
Praja pada diri manusia juga memiliki setidaknya tiga potensi fitrah yaitu:
- Daya intelektual (quwwat al-al-‘aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
- Daya ofensif (quwwat al-syahwat) yaitu potensi yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan bermamfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
- Daya defensif (quwwat al-ghaddab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama,
potensi akal menduduki sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Ada
juga pendapat Ibn Taimiyah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah
manusia kepada dua bentuk yaitu:
- Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
- Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara
keduanya maka akan semakin tinggi kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi
sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami keserasian, bahkan berebenturan
antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin tergelincir dari
fitrahnya yang hanif.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M.
Quraish Shihab dalam mendefinisikan fitrah manusia ada beberpa potensi yang
dimiliki oleh manusia diantaranya yaitu:
- Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki.
- Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu kesimpulan dari sejumlah premis.
- Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan sebagainya.
Dari
beberapa pendapat para ahli tentang macam-macam potensi manusia, maka dapat
diambil kesimpualan bahwa potensi manusia yang dibawa sejak lahir terdiri dari:
- Potensi agama
- Potensi akal yang mencangkup spiritual
- Potensi fisik atau jasadiah
- Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu.[12]
D. Hubungan Fitrah Manusia Dengan
Dunia Pendidikan
Dalam perspektif pendidikan Islam, fitrah
manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan
manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup, upaya mempertahankan dan
melestarikan kehidupannya, kekuatan rasional (akal), dan kekutan spiritual
(agama). Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan terkait secara integral.
Potensialitas manusia inilah yang kemudian dikembangkan, diperkaya, dan
diaktualisasikan secara nyata dalam perbuatan amaliah manusia sehari-hari, baik
secara vertikal maupun horizontal. Perpaduan ketiganya merupakan kesatuan yang
utuh.
Dalam pendidikan Islam harus mampu
mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya pada pola
pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang ada pada aspek jasmani maupun
rohani, intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta
didiknya. Dengan ini, pendidikan Islam akan mampu membantu peserta didiknya
untuk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif
pada semua potensi yang dimiliknya. Mampu teraktualisasikannya potensi yang
dimiliki manusia sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pada dasarnya pedidikan
berfungsi sebagai media yang menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan
potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai
‘abdillah maupun khalifah.
Fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia
memiliki kebutuhan. Menurut Zakiyah Drajat ada dua kebutuhan pesertadidik
yaitu:
- Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, bebas, mengenal, dan rasa sukses
- Kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pangan
Dalam pendidikan berupaya mengembangkan dan memenuhi
kebutuahn tersebut secara integral agar berkembang.[13]
Dalam
perkembngannya manusia ingin selalu dipenuhi kebutuhan hidupnya, secara layak
dan dapat hidup sejahtera. Tetapi kehidupan sejahtera sifatnya relatif, karena
selalu brubah dan berkembang sesuia dengan perkembangan sosial budaya. Semakin
maju suatu masyarakat, maka akan semakin beraneka ragam kebutuhannya.[14]
Kebutuhan pokok manusia antara lain yaitu:
1. Kebutuhan biologis
Kebutuhan biologis atau kebutuhan
jasmaniah, yang merupakan kebutuhan hidup manusia yang primer, seperti makan,
tempat tinggal, pakaian, dan kebutuhan sexsual. Setiap orang tentu akan
memenuhi kebutuhan biologis tersebut, namun cara pemenuhan kebutuhan tersebut
berbeda satu dengan yang lain, tergantung kemampuan dan kebutuhan
masing-masing.
2. Kebutuhan Psikis
Kebutuhan Psikis yaitu kebutuhan
rohaniah. Manusia membutuhkan rasa aman, dicintai dan mencintai, bebas,
dihargai, dan lainnya. Manusia adalah makhluk yang disebut “psycho-physik
netral” yaitu sebagai makhluk yang memiliki kemandirian jasmaniah dan rohaniah.
Dalam kemandirian itu manusia memiliki potensi untuk berkembang dan tumbuh,
untuk itu diperlukan adanya pendidikan, agar kebutuhan psikis dapat terpenuhi
dengan seimbang.
3. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan Sosial, yaitu kebutuhan manusia
bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain. Karna manusia merupakan makhluk
sosial yang memiliki keinginan untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk
sosial maka manusia memiliki rasa tanggung jawab untuk mengembangkan interaksi
antara masyarakat.
4. Kebutuhan Agama (spiritual)
Kebutuhan Agama (spiritual) yaitu
kebutuhan manusia terhadap pedoman hidup yang dapat menunjukkan jalan kearah
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Semenjak lahir manusia sudah membawa fitrah
beragama dan akan berkembang degan adanya pendidikan. Dengan demikian manusia
disebut dengan makhluk berketuhanan atau disebut juga dengan makhluk beragama,
karena dengan adanya agama manusia akan dapat ketenangan lahir dan batin.
5. Kebutuhan Paedagogis (intelek)
Kebutuhan Paedagogis (intelek) yaitu
kebutuhan manusia terhadap pendidikan. Manusia disebut homo-educandum, yaitu
akhluk yang harus dididik, oleh karena manusia itu dikategorikan sebagai animal
educable, yakni sebagai makhuk sebangsa binatang yang dapat dididik. Karena
manusia mempunyai akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengeahuan, di
samping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk dirinya
sendiri (self-formig).
Dengan demikian jelaslah bahwa manusia
dalam hidunya memerlukan pendidikan. Namun pendidikan yang bagaimanakah yang
dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia yang telah ia bawa
semenjak lahir. Karena fitrah manusia pada umumnya sama, hanya saja yang
membedakan mereka adalah pendidikan yang mereka dapatkan, sehingga terjadilah
beragam agama dan kecerdasan setiap individu.
Ada tiga alasan penyebab awal kenapa
manusia emerlukan pendidikan, yaitu: pertama, dalam tatanan kehidupan
masyarakat, ada upaya pewarisan nilai kebudayaan antara generasi tua kepada
generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat tetap berlanjut dan
terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai intelektual, seni, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam kehidupan manusia sebagai individu,
memiliki kecendrungan untuk dapat mengembnagkan potensi-potensi yang ada
dalamdirinyaseoptimal mungkin. Untuk maksud tersebut, manusia perlu suatu
sarana. Saran itu adalah pendidikan. Ketiga, konvergensi dari kedua tuntutan di
atas yang pengaplikasiannya adalah lewat pendidikan.[15]
Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya
sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada
konsepsi dasar tentang manusia. Ada dua implikasi penting dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam, yaitu:[16]
- Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistim pendidikan Islam harus dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan qaliyah sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral.
- Al-quran menjelakan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan tugas ini Allah membekali dengan seperagkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermamfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.
Kedua hal di atas harus menjadi acuan
dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pedidikan Islam masa kini dan
masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat
bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan
merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsivpenciptaannya
dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan Islam dijadikan
sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan
budaya Islami dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi
manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang
menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar
manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd.
Agar pendidikan umat berhasil dalam
prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam
semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan
Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuwan dan rasional filosofis.
Yang harus dipahami bahwa pendekatan keilmuwan dan filosofis hanyalah sebuah
media untuk menalar pesan-pesan Tuhan, baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat
tekstual (Qur’aniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual
(kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.
Dalam buku lain ditemukan bahwa
pendidikan merupakan gejala dan kebutuhan manusia. Dalam artian bahwa bilamana
anak tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan menjadi manusia
sesungguhnya, dalam artian tidak sempurna hidupnya dan tidak akan dapat
memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya.
Hanya pendidikanlah yang dapat memnusiakan dan membudayakan manusia.[17]
Untuk mengembangkan potensi/kemampuan
dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk
membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat
bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kehidupannya
kelak dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam,
seperti keadaan geografis, iklim dan lainnya. Sedangkan lingkunagan sosial
ialah lingkungan yang berupa manusia-manusia yang ada disekitar anak, yang
berinteraksi dengan mereka, seperti orang tua, saudara, tetangga dan lainnya.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka
dapat disimpulkan, bahwa fitrah yang dibawa oleh setiap manusia semenjak ia
lahir harus dikembangkan dengan pendidikan. Karena sifata manusia yang yang
selalu membutuhkan orang lain untuk perubahan dan perbaikan dirinya. Dan juga
perkembangan fitrah manusia itu akan di pengaruhi oleh lingkungan. Di
dalamfitrah manusia terdapatnya suatu kebutuhan-kebutuhan. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut maka perlu adanya bantuan dari orang laian tersebut.
Sehingga kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.
Dari penjelasan yang panjang lebar
tentang fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam, ada beberpa poin
pokok yang sangat penting, yaitu manusia (hakikat manusia, manusia dalam
al-quran, dan kedudukan manusia), fitrah (konsep fitrah manusia, macam-macam
fitrah manusia), dan hubungan manusia dengan pendidikan islam.
Akhirnya, dari beberapa penjelasan yang
telah penulis coba paparkan tentang fitrah dan dan potensi manusia dalam
pendidikan islam semoga dapat dipahami dan dimengerti. Penulis menyadari bahwa
masih banyaknya kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis berharap kritik dan
saran yang membnagun untuk pembuatan artikel kedepannya. Semoga artikel yang
penulis buat ini dapat diajukan sebagai salah satu tugas akhir dari filsafat
pendidikan dalam hal pengganti ujian semester.
E. Reference
- Samsul Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press: Padang
- Prof. H.M. Arifin, M.Ed., 1996, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta
- Prof. DR. H. Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta
- Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press: Jakarta
- Dra. Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta
- Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta
[1]Lalu Muhammad Nurul Wathoni, mahasiswa program Doktor Universitas
Islama Negeri Sulan Syarif Kasim Riau, NIM; 31694104589, Program studi
Pendidikan Agama Islam.
[2]
Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta.
Hal:74
[3]
Ramayulis, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta, hal:
1-2
[4] Samsul
Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press: Padang, hal: 13
[5]
Ramayulis, opcit, hal: 4-5
[6]
Samsul Nizar, opcit, hal:16-17
[7]
Ramayulis, opcit, hal: 5-6
[8]
Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan
Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press: Jakarta,
hal: 19
[9]
Ramayulis, opcit, hal: 9
[10]
Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 17-18
[11]
Samsul Nizar, opcit, hal: 36-45
[12]
Ibid, hal:42-44
[13]
Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
Gaya Media Pratama: Jakarta, hal: 135-138
[14]
Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 95-97
[15]
Samsul Nizar, hal: 85
[16]
Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 21-23
[17]
Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 92-95
0 komentar:
Posting Komentar